Bab 3

22 1 0
                                    

"Jangan coba-coba bertindak bodoh ya!" Bisik gadis itu.
"Enggak kok enggak. Sumpah."
Aku dan gadis itu telah sampai di daerah sekitar rumahku. Kami bersembunyi di sebuah warung yang berjarak dua rumah dari rumahku. Aku tidak bisa membiarkan gadis itu berkeliaran di depan rumahku jadi aku menahannya disini.
"Aku punya rencana ya kalau kamu macam-macam! Aku bakalan cari seseorang, minta diperkosa sama dia sampai aku hamil, terus aku datang ke rumah kamu dan ngaku-ngaku habis diperkosa sama kamu! Aku bakalan teriak-teriak sampai kebohonganku terlihat senyata mungkin!"
"Heh! Jangan gitu! Aku enggak bohongin kamu kok! Aku enggak akan macam-macam, serius!"
Setelah memastikan bahwa gadis itu yakin kepadaku, aku bergegas menuju rumahku. Sebelum akhirnya tanganku ditahan kembali oleh gadis itu.
"Tunggu, nama lengkap kamu siapa? Aku harus tahu agar lebih bisa menyusun rencana kalau kamu bertindak bodoh."
"Andri Raha. Itu kan ada di bet nama kemejamu."
Gadis itu menunduk melihat kemeja yang dipakainya.
"Oke, dan jangan lupa buat ambilkan aku makanan juga ya!"
"Iya aku bakalan bawa semua yang aku bisa bawa. Kamu tunggu saja disini dengan tenang."
Akhirnya gadis itu melepaskanku dan membiarkanku masuk ke rumah. Perjanjiannya adalah aku masuk ke rumahku dan mengambil pakaian dan makanan sebanyak mungkin untuk gadis itu. Lalu mengantar gadis itu kembali ke kolong jembatan.

Aku masuk ke dalam rumah dengan menyelinap. Aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan ibuku, kelihatannya aku tidak akan mendapatkan masalah kali ini. Aku mempersiapkan segala sesuatunya secepat mungkin. Untuk makanan, aku mengambil beberapa biskuit dan roti tawar. Aku sedikit bingung dalam hal pakaian, jadi aku bawa saja pakaian-pakaian yang aku pikir pas untuknya, dan tentu saja beberapa selimut. Aku juga tidak lupa untuk mengambil sendal, aku kan tidak bisa membiarkan dia berjalan dengan kaki telanjang seperti tadi. Dia memang terlihat memanfaatkanku tapi bukan berarti aku bisa membiarkan dia kesakitan seperti itu. Setelah lengkap, semuanya aku masukkan ke dalam tas lalu aku bergegas kembali ke warung dimana dia menunggu.
"Andri! Kok pergi lagi?" Suara ibuku tiba-tiba mengejutkanku. Dia sedang menyapu di pintu keluar, aku tidak bisa menghindarinya kali ini. Aku harus mengarang alasan.
"Ada kerja kelompok nih di sekolah, ini pulang dulu buat ngambil barang-barang yg diperlukan. Yaudah aku berangkat ya, buru-buru!" Aku langsung pergi setelah mengatakan itu, tanpa memperdulikan ibuku. Syukurlah aku berhasil lolos.

"Sudah semua?" Tanya gadis itu begitu aku sampai.
"Sudah semua. Bahkan aku membawa sesuatu yang lain." Aku mengeluarkan sendal yang kuambil tadi dari tasku dan menyerahkan kepadanya.
"Wow, untuk ukuran seorang anak yang cupu, kamu cukup bisa diandalkan ya."
"Ya setidaknya anak cupu sepertiku bukanlah orang yang memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan keperluan pribadinya."
Tiba-tiba sebuah sendal melayang ke kepalaku, mengenai tepat di hidungku.
"Kamu tahu kan, bagi seseorang yang terlantar dan hanya memiliki satu orang untuk bergantung, kata-katamu barusan agak sensitif untuk didengar."
Gadis itu mengambil sendal yang dilemparkannya kepadaku dan kemudian melangkah pergi dengan membawa tas yang aku bawa tadi.
"Heii! Kamu marah kepadaku?"
Gadis itu berhenti, lalu menjawab tanpa menoleh ke belakang.
"Mana mungkin aku marah kepada satu-satunya orang tempat aku bergantung."
Gawat, dia marah. Aku benar-benar kelewatan, seharusnya aku tidak mengatakan itu. Meskipun dia terlihat seperti orang yang tidak peduli dengan sekitarnya, aku lupa kalau dia tetaplah seorang gadis. Perasaannya sensitif, dia tidak pantas kuperlakukan seperti tadi.
"Akuu... minta maaf." Pintaku sambil terus berjalan di belakangnya mengikutinya. Gadis itu tidak menjawab. Bila dia masih marah, maka ini tidak akan berakhir baik. Aku bukanlah seseorang yang mahir meredamkan amarah seorang wanita. Berada dalam situasi seperti ini saja sangat jarang. Tapi setidaknya aku harus mencoba.
"Ehm.. aku.."
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, gadis itu berhenti. Kali ini dia menoleh, melihatku.
"Daripada kamu jalan dibelakang, lebih baik kamu bawakan tas ini, jalan disampingku. Aku enggak mau kelihatan seperti pemandu jalan orang depresi dengan kamu terlihat lesu dibelakang seperti itu. Ayo!"
Gadis itu menyerahkan tasnya kepadaku dan aku bergegas berjalan di sampingnya. Syukurlah dia sudah tidak marah lagi, setidaknya ekspresi wajahnya menunjukkan seperti itu.

ImigranWhere stories live. Discover now