PROLOG

82 4 1
                                    

Sekitar dua puluh elf mengendap-endap di bawah pepohonan oak, berharap tidak ada sesuatu yang terjadi. Mereka menunggu dalam diam, bahkan bisa tersentak kaget hanya dengan mendengar suara ranting jatuh. Suara derapan kaki kuda terdengar, hingga beberapa saat kemudian pasukan Ares terlihat. Ia datang bersama prajurit dan para troll, dwarf, ogre yang mendampinginya.

"Dimana kau para elf mungil yang tidak tahu diri!" seru Ares, gema suaranya membuat beberapa elf jatuh tersungkur di tanah.

Merasa dirinya ketahuan, dua orang elf bangkit berdiri, saling berpelukan dengan mata yang terpejam rapat. "Ka-kami mi-minta ma-maaf, Ares Agung, keturunan Dewa Perang Ares yang Mulia dan Perkasa."

Ares tertawa. Tawanya terdengar sampai ke ujung hutan, hingga ranting-ranting pohon didekatnya bergetar. Kali ini para elf berpegangan erat pada ranting, berharap mereka tidak terjatuh.

"Bisakah kau mengulang lagi ramalan yang kau sampaikan pada pelayanku?" tanya Ares, melepaskan topi besinya dan menyampirkannya. Rambutnya yang keemasan tertiup angin, membuat wajah tampannya terlihat jelas. Dua bola matanya yang sebiru batu zamrud mengkilat tajam. Ia menggosok-gosok hidungnya yang tinggi, dan tangan kanannya itu kini bertumpu pada pinggang.

"Ka-kami ti-tidak berhak me-mengata-kan hal itu ji-jika bu-bukan Einar sen-sendiri yang me-mengatakannya," jawab kedua elf itu gugup. Tubuh mungil mereka hampir tidak terlihat, tertutup rumput-rumput yang dari tadi membuat tubuh mereka gatal karena serbuk bunga yang menempel.

Kali ini Ares sudah marah sekali. "EINAR!"

Seorang elf pria dengan ukuran tubuh sedikit lebih tinggi dari teman-temannya, kira-kira tiga puluh centimeter muncul, merosot dari batang pohon oak dihadapan Ares. Ia berjalan perlahan, naik ke atas dahan tumbuhan kecil yang ada, berharap ia lebih mudah terlihat dari sana. "Maafkan saya, tuan Ares yang Agung. Apakah Anda ingin mendengar sekali lagi ramalanku?"

"Aku ingin tahu apakah kau sedang mengajakku bercanda," jawab Ares, mengingat para elf adalah makhluk jenaka bertelinga panjang, dengan ujung-ujung yang runcing.

"Tetapi ramalan itu benar adanya, tuan. Anda akan jatuh cinta dengan manusia, dan memiliki keturunan dengannya. Bahkan Anda akan menamai anak-anak dengan nama Chale, yang berarti kuat dan jantan. Sedangkan untuk anak gadis, Anda akan menamainya dengan nama Andria, yang berarti cinta--"

"--kau pikir aku akan mendengarkanmu membual?"

"Takdirpun dapat berubah, tuan. Anda tidak boleh berpegang teguh, karena bisa saja ramalan salah. Masa depan memiliki banyak kemungkinan, dan Anda bisa me--"

"DIAM!"

Dua orang troll yang mengawal Ares melangkah maju, membuat suara gaduh di sana. Ares mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka berhenti. Dengan geram Ares menaiki kudanya, kembali memberi aba-aba dan melanjutkan perjalanannya. Ares dan pasukannya berkelana ke Timur Bumi, nama daerahnya saat itu, untuk menemukan pemukiman manusia. Ia mengumpulkan kembali pasukannya, dan membuat suatu perjanjian dengan mereka.

"Siapa saja yang dapat menemukan wanita dengan tanda pohon cemara di tangan kanannya, bunuh dia dan bawa tubuhnya di hadapanku. Aku akan memberikan gelar kehormatan padanya, mempercayainya sebagai pendampingku dalam berbagai perang."

Sejak saat itu mereka berpencar, mencari wanita dengan tanda seperti itu. Beberapa dari mereka didapati berbohong, membuat sendiri tanda itu, merajah tubuh wanita-wanita tidak bersalah dengan alat pemukul dari kayu dan duri tajam. Ares memerintahkan prajuritnya untuk membunuh para penipu dan membuangnya ke pulau terpencil.

Suatu saat, pasukan berkuda dari Barat Bumi menyelinap masuk ke daerahnya. Mereka mendengar Ares akan mudah tumbang karena keputusasaannya mempertahakankan darah dewa yang mengalir di tubuhnya. Mereka mengutus seorang peri sungai yang dapat menjelma menjadi wanita berparas cantik. Ia masuk ke dalam kemah Ares, berpura-pura tersesat.

Ares terbangun, mendapati seorang wanita berdiri dihadapannya, merintih minta tolong karena ia kelaparan dan hampir mati di hutan. Ia mendekati wanita itu, dan tersentak ketika melihat sebuah tanda di pergelangan tangannya. Dengan cepat ia bergerak, mundur beberapa langkah dan mencabut pedangnya dari sabuk. Wanita itu terisak-isak, memohon pengampunan darinya.

Amarah yang meluap-luap membuat Ares tidak dapat menahan diri. Ia menusukkan pedangnya tepat ke jantung wanita itu. Dengan perlahan wanita itu berubah wujud, menjadi peri sungai dengan pakaian dari kain sutra berwarna biru. Ares memeluk wanita itu, menyadari ia telah berbuat kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Siapapun yang membunuh dewi sungai, akan mengalami berbagai malapetaka dan kemalangan.

Kini peri itu tersenyum, dan menghilang dari dekapan Ares. Walaupun peri itu berhasil melarikan diri, tetapi Ares kini menjadi ketakutan karena dewi sungai dan jelmaannya menjadi wanita yang diramal oleh elf.


Itulah alasan mengapa Ares, untuk pertama kalinya kalah dalam perang melawan dewa dari Barat Bumi. Para prajurit dan pengawalnya berguguran. Gavin, yang berarti elang putih, dewa Barat Bumi menghunuskan pedangnya. Saat itu petir menyambar-nyambar, meruntuhkan pohon-pohon besar disekelilingnya. Suara gemuruh menambah kengerian yang terjadi malam itu. Pasukan Barat mundur, memilih menyelamatkan diri dari alam yang mengamuk dan menghilang dari balik pepohonan.

Dengan berlumuran darah Ares merangkak, berusaha pergi dari tempat berbahaya itu. Seakan-akan maut akan mendekatinya, ia merintih kesakitan, menangis di bawah derasnya hujan yang membanjiri hutan.

"Aku tidak akan mengingkari takdirku." Suaranya kini hanya terdengar seperti bisikan. "Tetapi karena aku kalah dalam peperangan dan mengotori nama leluhurku, Dewa Perang Ares Yang Agung, aku akan memilih mati malam ini."

Mulai malam itu hujan tak berhenti turun hingga berhari-hari kemudian. Tidak ada yang tahu apakah Ares sudah tiada, tetapi semua makhluk hutan bergembira, mengingat Ares yang jahat, pemarah, dan pembunuh itu kini telah menghilang ditelan bumi.

Ares DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang