3 |

25 1 0
                                    

Sebelumnya hidup Lily berjalan dengan normal: pergi kuliah, mengerjakan tugas, meliput kegiatan di kampus, pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya dengan mendekam di dalam kamar. Ia tidak pernah mengharapkan sesuatu apalagi memohon adanya pria hadir dalam hidupnya. 

"Hi," sapa Lily dengan senyuman lebar yang menghiasi wajahnya.

George yang menyadari ada seseorang menyapanya memilih untuk menghindar. Ia menarik ranselnya, dan pergi seolah-olah tidak mendengar Lily berbicara padanya.

Keadaan bertambah buruk ketika pria yang mengaku takdirnya, Ares, tiba-tiba datang ke kampusnya dan mengejarnya. "Lily? Tunggu, aku mau menjelaskan sesuatu padamu."

Sebenarnya Lily sudah ingin lari dari sana, tetapi ia berpikir kembali apakah ia akan terlihat konyol dengan bertingkah seperti itu.

"Apa?" tanya Lily sambil memegang erat tasnya, takut kalau pria itu melakukan sesuatu diluar dugaan.

"Maafkan aku kalau membuatmu takut kemarin," kata Ares, "aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku hanya ingin menceritakan sesuatu padamu."

"Ceritakan sekarang, kalau begitu," tukas Lily. Ia membetulkan kembali posisi kacamatanya sambil berpikir apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

Ares kini tampak bingung. Tetapi ia segera meraih tangan Lily, dan memohon padanya. "Tidak mungkin aku menceritakannya di sini. Bisakah kita berbicara di tempat lain?"

"Baiklah," kata Lily sambil melepaskan tangannya, karena beberapa orang mulai memperhatikannya. "Ayo ikuti aku."

***

Setelah berjalan menuju sebuah kedai kopi di dekat kampus, Ares dan Lily memilih tempat duduk di dekat jendela dan memesan dua cangkir kopi kesukaan Lily karena Ares berkata tidak tahu harus memesan apa.

"Sekarang kau bisa bicara," kata Lily sambil menatap mata pria yang ada di hadapannya dengan serius. Ia memperhatikan kembali Aren, dan mengumpat dalam hati begitu menyadari bahwa Ares adalah pria yang ia lihat di perpustakan kemarin.

 "Aku akan menjelaskan dari awal. Aku adalah Ares, keturunan dewa perang Ares Yang Agung. Aku telah mengembara selama ratusan tahun untuk memenuhi takdirku, dan kini aku telah bertemu denganmu. Mereka bilang kalau kau adalah takdirku. Dan aku yakin karena telah melihat tanda lahir di pergelangan tanganmu."

Mendengar penjelasan dari Ares membuat Lily melongo. Ia heran mengapa pria setampan Ares bisa mengalami gangguan kejiwaan, atau mungkin ia adalah bagian dari skenario yang dimainkan oleh Dave. Tetapi Lily juga bertanya-tanya mengapa ia menghajar George kemarin.

"Aku tidak punya banyak waktu," kata Lily. "Terima kasih atas leluconmu."

"Lily, katakan padaku apa yang bisa membuatmu percaya padaku," mohon Ares, yang kini menggenggam erat kedua tangan Lily.

Untuk beberapa saat Lily menatap dalam-dalam mata Ares. Sepasang mata itu tampak menyedihkan. "Baiklah,"

"untuk saat ini kita berteman, tapi aku penasaran, jika kau memang dari masa lalu--entah kapan--apa pekerjaanmu sekarang?"

Ares tersenyum lebar. "Aku seorang seniman. Memahat adalah keahlian utamaku, kemudian aku juga melukis, tidak terlalu sering, sih. Kau bisa datang ke galeriku kapanpun kau mau."

"Apa kau melakukannya dengan sedikit sihir? Kau kan dewa, bisakah kau tunjukkan padaku?" tanya Lily serius. Ia lebih tertarik dengan hal itu dibandingkan dengan pekerjaannya.

Tawa Ares memenuhi ruangan. "Aku pikir kau manusia modern, kenapa masih ada orang yang menanyakan hal itu?"

Mendengar hal itu Lily hanya menggerutu. Ia merasa agak bodoh, dan menyesali apa yang baru saja dikatakannya.

Tiba-tiba saja ada pesan masuk.

Aku minta maaf atas apa yang dilakukan teman-temanku padamu kemarin.

Lily melayangkan pandangannya, dan berusaha untuk fokus dengan pria yang ada dihadapannya kini.

"Apakah selama ini kau mengembara atau menetap di suatu negara?"

"Hanya beberapa puluh tahun. Setelah itu aku menyadari bahwa aku harus menetap dan berbaur. Mencari tahu apa bagaimana caranya hidup dengan cara manusia di jaman sekarang."

Lily tahu apa yang dibicarakan Ares, tetapi jemarinya mengetik dengan cepat kata demi kata di handphonenya.

Aku baik-baik saja. Aku bisa mencetak semua foto itu dan memasangnya kembali. Aku juga minta maaf atas kejadian kemarin.

"Kau punya teman? Apakah mereka menyadari bahwa kau abadi? Sebagai bukti bahwa kau memang seperti yang kau ceritakan."

Menyadari Lily menyinggung hal itu, Ares memutuskan untuk mengalihkan pembicaraannya. "Bagaimana kalau kita pulang? Ibumu pasti mencarimu."

"Kau pikir aku anak kecil, huh?"

Tetapi Ares benar juga. Ia harus pulang untuk mengerjakan tugasnya. Mereka berjalan menelusuri jalan setapak, dan berhenti di parkiran sepeda.

"Ada lagi yang ingin kutanyakan. Kenapa kau memukul pria yang bersamaku kemarin?"

Ares meraih tangan kanan Lily dan berbisik, "aku tidak tahan melihat wanita menangis karena pria. Ia layak mendapatkannya."

Untuk beberapa saat Lily merasa nyaman. Perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya ketika bersama seorang pria. Ia menatap mata Ares dalam-dalam, tersenyum kecil dan melepaskan genggaman tangan Ares. Ia mengambil sepedanya, mengucapkan salam dan pergi meninggalkan Ares di sana.



Ares DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang