1 |

37 3 0
                                    

"KENA KAU!"

Kate menepuk bahu Lily dari belakang. Ian menyusul dari belakang, ikut merangkul Lily dan mengacak-acak rambutnya.

"A-Apa yang kalian lakukan?" Lily merapihkan kembali rambutnya yang pirang sebahu. Jam istirahat hampir saja selesai, ketika Kate dan Ian memergokinya memandangi foto para pemain baseball di majalah dinding. Mereka tahu betul bahwa Lily hanya memandangi batter tim favoritnya, George, yang disukainya sejak semester pertama.

*FYI: batter-pemukul bola dalam baseball

Selama ini Lily hampir tidak dikenal dikampusnya, kecuali tulisan atau foto-fotonya di majalah kampus. Ia tidak terlihat menarik, begitu anggapan teman-temannya, bahkan sedikit aneh. Selain ia selalu terlihat kusam, wajahnya yang lugu dibingkai dengan kacamata besar berwarna orange membuatnya jadi bahan tertawaan di kelas.

Setelah memastikan Kate dan Ian menghilang dari lorong kampus, Lily kembali  tersenyum memandangi wajah George yang sedang memegang pemukul dengan gagah. Setidaknya hal itulah yang ada dipikiran Lily begitu melihat George di lapangan.

Secara tiba-tiba seorang pria menunjuk ke wajah George, badannya hampir menempel dengan Lily.

"Apakah kau sedang memperhatikanku?" tanya George sambil tertawa. Mata birunya menatap Lily dengan tajam.

Dengan gugup Lily berusaha menghindar, namun ia tertahan oleh badan Geroge yang besar.

"Bukan," jawab Lily berbohong.

George membalikkan badan Lily, memegangi bahunya. Kini mereka berdiri berhadapan. Suara nafas George terdengar jelas di telinganya. "Kalau begitu, kenapa kau selalu mengirim fotoku untuk majalah kampus?"

"Itu karena... kau pemain hebat."

"Selain itu?"

"Para wanita pasti juga senang melihatmu."

Mereka terdiam. Beberapa anak sengaja memfoto mereka, menujuk-nunjuk dan tertawa. Secara cepat foto mereka tersebar luas, memenuhi timeline sosial media. Rambut pirang Lily yang acak-acakan dengan sweater abu-abu dan jeans tua berwarna biru tampak kontras dengan penampilan George yang sangat rapi dan menarik. Jaket baseballnya terlihat agak ketat memang, tapi banyak wanita tidak mempermasalahkannya karena ototnya yang nampak membuatnya semakin memikat. Rambut pirangnya berdiri seperti landak.

"Sangat kusayangkan kalau begitu," kata George muram. "Aku hanya ingin memastikan, karena kalau kau mengiyakannya, aku ingin kau menjadi pasanganku di acara ulang tahun Gina."

Sadar kini dirinya menjadi perbincangan, Lily mendorong keras George, membetulkan posisi kacamatanya dan menatap George dengan tajam. Ia berusaha tetap tenang meskipun kini jantungnya berdegup kencang.

Tanpa perasaan bersalah George mengangkat bahunya, sambil bergumam tanda ia akan pergi dari sana. Mata birunya tampak mengkilat tajam. Ia menjejalkan secarik kertas ke dalam genggaman tangan Lily dan mundur perlahan.

Lily yang masih kaget dengan perlakuan George memutuskan untuk menghindar. Ia menerobos kerumunan mahasiswa yang sedang berkumpul, sambil menundukkan kepalanya.

***

Hubungi aku.

Tidak ada hal yang membuatnya lebih bahagia selain membaca tulisan tangan George. Dengan cepat Lily mengetikkan beberapa kata di layar ponselnya, memikirkan apa yang harus diketik dan bagaimana tanggapan George nanti. Di sisi lain, ia merasa takut bahwa George hanya ingin mengerjainya atau menjadikannya bahan olokan di kampus.

Lampu tidur di kamarnya terlihat lebih muram dari biasanya. Sambil menggaruk-garuk tengkuk Lily mencoba mencari posisi nyaman di tempat tidurnya, dan memejamkan mata dengan erat sambil menekan tanda 'send'.

George. Ini aku, Lily.

Hanya beberapa menit kemudian, seseorang membalas chatnya.

Hai, aku tahu kau akan menghubungiku. Well, darimana kau tahu id ku?

"Sial." Gumam Lily dalam hati. Ia berusaha bernafas normal untuk meredam suara detak jantungnya yang berdegup kencang. Tentu saja balasan George membuatnya semakin tidak tenang. Ia merasa semua orang pasti tahu id George, mengingat kepopulerannya.

Kalau kau ingin menjadikanku bahan ledekan, sepertinya kau ketahuan.

Lily menghela nafas. Ia tahu ia membalasnya dengan tepat.

Aku akan kesana.

Hanya beberapa menit kemudian suara bisikan terdengar dari halaman depan rumah Lily. Seseorang memanggil namanya. Dengan mengendap-endap sesosok pria menerobos masuk, dan mengetuk jendela kamar Lily. Mereka memang tinggal berdekatan, karena itu George tahu meskipun mereka hampir tidak pernah menyapa satu sama lain.

"George!" seru Lily. Ia membantu membukakan jendela kamarnya, dan dengan cepat George masuk ke dalam kamarnya.

"Hi, Lily," sapa George sambil memandang ke sekeliling. "Maaf kalau aku mengagetkanmu."

"Tentu saja," jawab Lily dengan sinis. Ia berjalan mundur, kakinya mengenai meja belajarnya. "Apa maksud kedatanganmu kesini, George?"

"Aku ingin memastikan apakah kau mau ikut denganku." George memohon, wajahnya tampak sedih. Sepertinya sebuah keharusan mengajak Lily kalau ia mau pergi ke pesta Gina.

"Well, pertama-tama, aku mau tahu apa tujuanmu mengajakku. Kedua, hal menarik apa yang akan kudapatkan jika mau ikut denganmu. Ketiga, karena aku sering mengirim foto timmu bukan berarti aku menyukaimu. Aku reporter majalah kampus, kalau kau belum tahu samasekali."

Mendengar perkataan Lily, George mengangguk-angguk. Ia menghela nafas, dan mendekati Lily sambil berbisik, takut jika orang tua Lily mendengar ada suara pria di kamar.

"Pertama, aku ingin berteman denganmu. Kedua, jika kau mengiyakan permintaanku, aku akan berjanji membuatmu bahagia di malam itu. Ketiga, maafkan aku kalau aku terlalu percaya diri. Tetapi secara keseluruhan, aku hanya mau kita sama-sama menikmati masa-masa kuliah. Aku mau orang-orang tidak selalu berpikir kalau aku hanya ingin kenal atau bahkan berkencan dengan wanita populer, seksi, atau apapun sejenisnya. Aku lihat kau juga selalu absen dari acara pesta, jadi menurutku, kalau kau ingin menjadi reporter sejati, kau harus melihat dunia luar. Kau harus menjadi bagian dari semua kejadian yang ada. Bagaimana menurutmu?"

Lily hanya terdiam. Ia berusaha mencerna perkataan George dengan baik. Sepertinya ia tidak menyangka bahwa seorang pria seperti George tahu betul hidupnya.

Tiba-tiba suara dari luar terdengar sangat jelas, seolah-olah yang berbicara kini sedang berdiri di balik pintu kamar Lily. "Sayang? Aku sudah menyiapkan pancake kesukaanmu."

Seketika Lily menarik dan mendorong George ke belakang pintu, takut jika ibunya tiba-tiba membuka pintu kamarnya.

"Aku akan keluar sebentar lagi, Mom," sahut Lily, terlihat sedikit panik. Terbukti kini ia memegang erat bahu George, takut kalau pria itu bergerak sesenti saja dari tempatnya.

Mereka saling berpandangan. George tersenyum, deretan giginya yang rapi terlihat dari bibirnya yang kemerahan. Ia memiringkan kepalanya, mendekati wajah Lily yang sekarang terlihat pucat.

Sedikit lagi hingga bibir mereka hampir bersentuhan.

*haii...
Yang bingung dimana Aren, tokoh utamanya sabar yaa...
Ini baru kisah permulaannya 😆

Scroll down dan lanjutkan membaca. Thanks! 😊

Ares DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang