2 |

36 1 0
                                    

Perpustakaan adalah ruangan yang paling aman di kampus, setidaknya itulah yang ada dipikiran Lily sekarang. Ia mengendap-endap dan langsung tertawa senang karena berhasil pergi dari mata-mata yang dari tadi tidak henti-hentinya memandangnya penuh curiga.

"Apakah kau selalu seperti itu?"

"Sh*t!"

"Wow, kau juga bisa mengumpat ya?"

Lily merasa begitu bodoh karena kepergok terkekeh-kekeh sendirian.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lily dengan ketus. Bola matanya yang coklat memutar, pertanda bahwa ia sedang kesal. Selain itu ia juga masih merasa malu karena kejadian semalam. Ia berpikir bahwa George ingin menciumnya, tetapi ternyata ia hanya ingin membisikkan sesuatu kepada Lily bahwa sebenarnya ia ingin berpamitan.

"Ini kan tempat umum. Kenapa sih orang-orang bertingkah aneh pagi ini?" gerutu George. Ia melanjutkan langkahnya dan mulai mencari diantara tumpukan buku.

Lily yang masih merasa penasaran mengikutinya dari belakang. Tanpa berpikir panjang ia meraih lengan George. "Apakah diam-diam kau menyukaiku?"

Tiba-tiba George merasa tersedak. "Karena aku mengajakmu kencan bukan berarti aku menyukaimu, kan?"

"Kalau begitu kenapa kau tiba-tiba mengajakku? Pati ada sesuatu yang mencurigakan. Dan jangan harap aku akan mengiyakannya," tukas Lily.

"Baiklah," kata George memelas. "Aku akan mengatakan yang sesungguhnya."

Lily tersentak kaget melihat apa yang ditunjukkan George. George menyodorkan ponselnya, menggeser foto-foto di galerinya. Ada begitu banyak foto Lily di sana.

"Dave ingin-bukan hanya itu-tapi sangat ingin mengerjaimu. Dia membuat taruhan siapa saja yang berhasil mengajakmu berkencan akan diberikan hadiah-duh bagaimana mengatakannya?" George menggaruk-garuk kepalanya. "Yang jelas aku tidak ingin mereka menyakitimu."

Mendengar kalimat terakhir George membuat Lily tersentuh. "Terima kasih." Lily mendekatkan tubuhnya ke George, tetapi bukan untuk merangkulnya. Matanya menatap curiga ke ujung lorong rak buku.

"Ada apa?" tanya George penasaran, yang kini ikut-ikutan menoleh ke belakang.

"Sepertinya aku melihat seseorang."

"Sekali lagi ini kan tempat umum," gumam George. "Seseorang bisa saja ada di mana-mana."

"Yeah, aku tahu. Tapi dia sangat berbeda. Wajahnya seperti orang Yunani, yang datang dari mesin waktu--"

"--hei, kau ini! Aku heran kenapa aku mau menyelamatkanmu. Seharusnya aku membiarkan kau--"

Merasa tersindir, Lily kembali menatap George dengan sinis.  Hanya dengan tatapan itu George berhenti berbicara, dan memilih untuk pergi dari sana.

***

"George, apakah kau benar-benar mau mencari sensasi?" tanya Dave, yang dari tadi sibuk mengunyah pizza sambil terus-terusan memandangi ponselnya. "Kuakui kau sangat hebat, sungguh."

Mendengar pertanyaan dari sahabatnya membuat George gusar. Ia merasa walaupun restoran ini sepi, ia tetap tidak bisa duduk dengan nyaman. "Sudahlah, aku hanya ingin menyelamatkannya."

"Menyelamatkan dari apa? Kita samasekali tidak akan menyakitinya, kan?" Dave tertawa. Ia meraih gelas sodanya, dan melambaikan tangannya begitu melihat Emma masuk. "Hei George, ini hanya taruhan biasa. Lagipula dia pasti akan merasa sangat beruntung karena ada yang mengajaknya pergi. Aku yakin dia tidak pernah pergi ke acara seperti ini sebelumnya."

"Dengar. Kalau dia mau pergi denganku, otomatis aku yang akan memenangkan taruhannya. Selebihnya, itu urusanku ingin mengambil hadiahnya atau tidak," jawab George dengan tegas.

Emma datang menghampiri mereka dan merangkul Dave dari belakang. Rambut panjangnya dikuncir kuda, membuat tulang pipinya terlihat jelas. Sebenarnya George paling malas bertemu Emma. Wanita itu yang paling gemar memperkenalkan George dengan teman-temannya, meskipun George sudah berkali-kali menolak.

"George, kau memang pria yang susah ditebak. Aku heran mengapa kau tidak mau mendekati Gina, dan sekarang, kau malah mengajak kutu buku itu pergi?" Emma mendesis tajam. Suaranya terdengar seperti dibuat-buat.

"Kita lihat saja nanti," jawab George, matanya beralih ke arah jendela. Seorang wanita berjalan tergesa-gesa. Hanya dalam hitungan detik George sudah berada di luar, berteriak memanggil nama Lily.

Lily menoleh, namun segera pergi begitu menyadari George yang memanggilnya.

"Hei, berhenti!" seru George sambil berlari. Ia menarik lengan Lily, perasaannya kacau begitu melihat wanita itu menangis. "A-Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Bukan apa-apa," jawab Lily, mata coklatnya basah. Ia menarik tangannya, berusaha pergi meninggalkan George.

George tidak bergeming. Ia tetap memegang lengan Lily dengan kencang, tangan kanannya mengguncang bahu Lily, memaksanya untuk mengatakan yang sebenarnya.

Seorang pria berbadan besar--kira-kira tingginya 6 kaki--secara tiba-tiba menarik tangan Lily. Tinjunya melayang ke arah George, membuat pria itu tersentak. Darah segar keluar melalui hidungnya. Tanpa banyak kata, pria itu kembali menarik Lily, membawanya pergi dari sana. George yang masih merasa pusing tidak dapat berbuat apa-apa.

Kini Lily berhadapan dengan pria itu, badannya yang kecil bersender di salah satu lorong di belakang restoran tempat George dan Dave bertemu. Matanya membelalak kaget, keringat membasahi dahinya, seolah-olah ia baru saja bertemu hantu.

"Si-siapa kau?"

Pria itu tersenyum. Rambutnya yang panjang sebahu terlihat berkilauan terkena sinar matahari. Sambil menggenggam tangan Lily dengan lembut, pria itu membalikkan lengan Lily, dan melihat tanda lahir berbentuk pohon cemara tepat di tengah pergelangan tangannya.

"Aku Ares, takdirmu."


Ares DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang