3. KENANGAN

6 1 0
                                    

8 Agustus 2015. Aku dan Romi bersantai di kamarnya. Sejuknya udara AC meringankan suasana terik matahari yang sudah mulai menembus sisi ruang kamar dan membuatku hampir terbuai dengan rasa kantuk ini. Untungnya, suara Romi dapat memadamkan buaian ini.

" Ki. Aku kangen sama makanan Jogja e !"

" Yowes. Tuku wae lah."

" Tapi aku senang yang citarasa asli."

Aku gelengkan kepala sambil tersenyum simpul. Saat melihatnya bicara, ia memasang paras seperti badut. Dengan mulut yang dimajukan dan paras disimpulkan, aku teringat dengan sosok Limbuk yang sedang cemberut. Lucu tapi cukup bermakna. Bermakna, karena ada pesan yang ingin disampaikan namun tidak ada respon.

" Doakan saja biar kita ada waktu luang ke Jogja. Piye?"

" OK. Semoga bisa kesana." Harap Romi dengan semangat. " Ki. Kalau boleh, aku minta sesuatu ndak?" tanya Romi alihkan topik.

" Apa, Rom?"

Romi beranjak dari tempat tidur. Ia lalu memintaku beranjak dari tempat tidur. Saat aku menolak permintaannya, ia tetap memaksaku dan akhirnya, aku harus memenuhinya.

" Tutup matamu!"

" Ada apa sih?" tanyaku heran.

" Sudah tutup saja!"

Aku tutup mataku. Seperti menunggu sebuah kejutan. Ia mendadak melakukan seperti yang Randi lakukan padaku. Aku langsung mendorongnya dan menjauh.

" Kenapa?" tanyaku heran dan panik.

Romi tersenyum simpul. Ia lalu menjelaskan perbuatan yang pernah dilakukan Randi demi menganyam simpul persahabatan ini.

" Maaf kalau kulakukan ini. Aku tahu, kamu merindukan seorang teman yang bisa menenangkan saat alami perasaan galau."

" Tapi bukan ini yang kamu lakukan, kan?"

" Iya. Aku tahu. Memang aku tidak inginkan hal ini. Bahkan ular akan menunggu waktu untuk melilit mangsanya."

Untaian kata dan perilakunya seperti anak panah yang siap menuju sasaran. Aku mulai mencoba membela diri sambil membelakanginya.

" Ular akan menunggu waktu yang tepat untuk menangkap mangsanya. Tapi ia akan menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk melakukan aksinya." ucapku saat ia berjalan dan berhadapan lagi denganku.

Romi diam dan sesekali melempar senyum. Aku tahu, Romi sangat senang memiliki sahabat sepertiku. Sejak kuliah sampai sekarang, aku selalu dengannya. Tapi aku tidak pernah curiga kalau ia punya rasa. Apa karena sering berinteraksi di tempat itu hingga seperti itu?

" Ki. Sebuah sumur tidak akan diketahui ukuran kedalamannya kecuali bisa diukur. Apa kamu tahu, bagaimana keadaan dasar sumur itu. Meski dari atas terlihat kotor dan gelap, namun ia selalu memberikan air bersih bagi orang yang memakainya. Mungkin saja ada organisme yang bisa hidup di dasar sumur."

" Lalu, bagaimana bila air sumur itu membuat penggunanya sakit. Sedangkan ia terlihat bersih?"

Romi diam sembari mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaanku. Aku langsung memberi komentar tanpa berbalas kata panjang lebar.

" OK. Aku takkan bahas itu. Sekarang aku to the point saja. Kamu punya rasa padaku?"

Saat aku bertanya itu, Romi hanya terdiam sambil terus menatapku. Aku hanya menatap matanya. Aku tahu, ia tidak jujur. Tapi aku belum siap jika harus hadapi kenyataan ini. Aku tidak rela jika ia memiliki rasa padaku. Aku yakin, ia tahu akibatnya.

Sandyacandra Di Langit PengasinanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang