Part 1

739 23 9
                                    

Musim hujan tiba, jatuh dengan deras tepat pada permulaan Desember.

Kini setahun telah berlalu. Tepat pada hari ini, Luna jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Lucas. Pemuda yang selalu mengejarnya, tak peduli berapa lama pengejaran itu berlangsung. Pemuda itu pantang menyerah. Ia berjuang sekuat tenaga, juga menunggu hingga Luna membuka hati dan perasaannya.

Setelah sedemikian lamanya Lucas berjuang, gadis itu menerima apa yang pemuda tersebut upayakan. Mereka pun menjelma sepasang kekasih. Kekasih yang hanya berbalut perasaan palsu. Sepi, hampa, tanpa isi. Hanya berstatuskan ‘kekasih’.

“Akhir-akhir ini, aku tak bisa tidur, terjaga membayangkan kepergianmu. Di hari perayaan keberhasilanmu, bahkan tak sekalipun aku menghubungimu,” gumam Luna.

Saat ini, gadis itu merasakan kesepian. Sebab Lucas pergi meninggalkannya. Bukan karena ia pemuda kurang ajar, melainkan karena ia tahu bahwa perasaan Luna hanya berlandaskan kesemuan belaka. Dibayangi oleh kedustaan selama menjalin hubungan, namun tiada ketulusan di dalamnya.

‘Menyakitkan’, hanya kata itulah yang pantas untuk dikatakan.

“Penyesalan selalu datang terlambat. Ironis memang, ketika usahamu dalam membahagiakanku kuterima dengan perasaan palsu, tatkala kulepas dirimu justru kurasakan betapa aku mencintaimu.”

Luna merenungkan momen-momen kebersamaannya dengan Lucas di kala mereka masih bersama. Bersenda gurau, berswafoto, juga mengelilingi berbagai tempat dengan mengendarai sepeda. Mereka mengabadikan momen itu melalui hasil jepretan kamera.

Dilihatnya album foto itu dengan sedih. Walaupun saat itu Luna tak memiliki perasaan apa pun terhadap Lucas, namun setiap kegiatan yang mereka lakukan selalu membahagiakan gadis itu.

“Mengapa cintaku datang setelah aku kehilanganmu?!” Bulir-bulir air mata jatuh deras membasahi pipi Luna yang mulus.

Dilihatnya deretan nama yang tertera pada ponsel Luna. Rupanya ia masih memberi nama kontak Lucas dengan panggilan ‘Love’. Gadis itu sangat ingin mengungkapkan perasaannya melalui perantara ponsel. Ia merindukan suara Lucas—baik suaranya, cara tertawanya, juga tentang bagaimana pemuda itu memperlakukan dirinya dengan lembut sepenuh cinta.

“Apa kau akan kembali jika kunyatakan ‘cinta’ padamu? Akankah kau rindu saat-saat itu? Ketika aku kedinginan, tetapi kau berada di sampingku. Kau melepaskan jaket yang kau kenakan, lalu memakaikannya padaku, sehingga rasa dingin yang menusuk tulangku berakhir terlenyapkan. Kau sampai rela kedinginan, demi membuatku tetap hangat. Lalu bagaimana dengan malam itu? Ketika kau mengusap kepalaku dengan segenap cintamu di penghujung September, di mana, itu adalah pertama kalinya kau melihatku menangis. The first time you ever saw me cry, Lucas.”

Satu per satu foto dilihat dan direnungkannya. Entah sudah berapa foto yang dilihat, tetapi masih banyak sekali lembaran-lembaran album yang belum terbuka.

“Apakah kau tetap menyimpan foto kita berdua, walau kita tidak saling memiliki lagi? Ternyata kebebasan tiada artinya jika aku merindukanmu.”

Untuk beberapa saat, Luna mengenang kenangannya sewaktu dulu.

Tatkala siang menjelang sore, mereka berdua berencana mendaki sebuah bukit kecil. Pemuda itu meminta Luna menunggunya di sebuah halte bus. Gadis itu pun menyanggupi. Saat itu awan sudah menggelap, menyisakan secercah cahaya mentari. Awalnya, Luna berpikir itu hanyalah awan mendung yang tidak mengandung hujan. Sayangnya, tak berapa lama ketika dirinya sampai halte, hujan turun dengan deras.

Hingga satu jam berlalu, hujan yang turun deras masih setia membasahi jalanan, hingga Luna kedinginan dibuatnya. Ia kesal, juga kecewa kepada pemuda itu. Semestinya ia tak mengindahkan pintanya.

Karena seseorang yang ditunggunya tak kunjung datang, ia pun berputus asa, tak mau lagi bertemu dengan sang kekasih. Di saat itulah, tiba-tiba Lucas sampai sembari mengayuh sepedanya, dengan kondisi basah kuyup.

“Luna, maafkan aku.” Dengan napas tersengal, pemuda itu mengutarakan permohonan maafnya secara lantang.

“Huh! Aku tak mau pergi denganmu. Mau ke bukit, gunung, atau apa pun itu.” gerutu Luna.

“Maafkan aku, tapi, izinkan aku memberimu … ini.” Pemuda tersebut menyodorkan sepuluh tangkai mawar biru yang dibungkus rapi dalam keranjang kotak yang diletakkan di dalam keranjang sepedanya.

“Mawar biru?!” Luna terkesima, beserta matanya yang memancarkan kekaguman. Betapa gadis itu menyukai bunga, juga warna biru.

“Ini sebagai permintaan maafku. Mau kan?”

“Kau ini dari mana? Bukankah kau sendiri yang memintaku untuk menunggu di halte?” Luna mencecar kekasihnya dengan jengkel.

“Apa kau menyukai mawar biru yang kupetik?” Pemuda itu berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Kau memetiknya … secara langsung?”

Lucas tak menjawab. Hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Aku mau pulang.”

“Eh?! Aku sudah minta maaf, kan?”

“Tiada maaf untukmu. Aku memang menyukai mawar biru perjuanganmu, tapi jangan harap aku akan meredakan amarahku. Kau pikir tidak lama, menunggu selama satu jam?”

“Baik, kalau itu maumu. Tapi, tolong biarkan aku mengajukan dua syarat.”

“Apa?”

“Pertama, aku akan bertanggung jawab. Kau kuantar pulang, karena kau rela ke sini demi memenuhi permintaanku. Kedua, sebelum pulang, aku akan membawamu pergi ke suatu tempat.”

“Aku mau pulang, Lucas. Apa kata-kataku masih belum jelas?”

Lagi-lagi, Lucas tak menjawab. Dengan cekatan, ia menggamit lengan Luna dan menawarkan gadis itu dua pilihan; bonceng depan atau belakang.

Sesaat setelah kekasihnya memilih, tanpa sepatah pun kata, ia langsung bertolak pergi dari halte, menuju ke tempat yang dimaksudkan.

Musim Hujan pada bulan DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang