“Aku pulang dulu, ya. Ingin membawa kembali barang bawaanku. Lalu setelah itu kita bisa kembali lagi,” ujar Lucas seraya mengusap kepala Luna dengan lembut.
“Iya. Jika kau lelah, langsung tidur saja, biar besok kita bertemu lagi.”
Setelah berpamitan pada Luna, beserta kedua orangtuanya, akhirnya Lucas pergi. Meninggalkan Luna yang tersenyum merona karena momen yang terjadi hari ini.
Di tengah musim hujan pada bulan kedua belas ini, kisah mereka kembali terajut, seolah bunga-bunga kehidupan tumbuh pada gurun pasir nan tandus, layaknya mimpi indah yang menghiasi ruang nurani yang kemarin sibuk bermuram durja, kini menghangat bak tersiram kebaikan mentari.
Luna mengirim Lucas pesan, sebab gadis itu ingin merangkai kembali hubungan asmaranya melalui hal-hal sepele.
Lucas, kalau sudah sampai rumah, jangan lupa meneleponku ya? Tetapi setelah kau puas beristirahat.
Sehabis mengiriminya pesan, tak lupa Luna memberi makan sepasang kura-kuranya yang bernama Coury dan Powes, lalu mengerjakan beragam macam kegiatan lainnya. Pokoknya, setiap nasihat Lucas ia ikuti dengan baik. Kadang kala, ia tersenyum saat membayangkan wajah dongkol kekasihnya yang sebal ketika nasihatnya malah diabaikan.
Luna kembali ke dalam kamarnya, memeriksa isi ponselnya, kalau-kalau Lucas sudah membalas pesannya. Namun, tatkala ia menyalakan layar ponsel, tak ada pesan apa pun. Yang ada hanyalah sekumpulan pesan iseng dari para laki-laki kurang kerjaan yang berjejal memenuhi kotak masuk ponselnya.
“Kau ke mana, Lucas? Kau membuatku kepikiran,” gumam Luna.
Daripada tenggelam dalam kekalutan, gadis itu hanya bisa berharap kekasihnya akan meneleponnya. Minimal memberinya kabar melalui pesan singkat.
Tak lama kemudian, Luna pun terlelap, sebab kelelahan menunggu. Dalam tidurnya, gadis itu sempat merasakan usapan Lucas. Usapan yang terasa nyaman, tenang, namun dingin. Rasanya seperti berendam air hangat kala Subuh.
“Luna …”
Luna terbangun sambil terperanjat, ketika ia mendengar bisikan lembut nan halus yang memanggil namanya.
“Suara itu … terdengar familier,” bisiknya.
Lagi-lagi, Luna mengambil ponselnya, kemudian menelepon Lucas. Rasa kantuknya menguap lenyap, digantikan kecemasan dan kekalutan yang luar biasa.
Sayangnya, tak ada jawaban dari seberang sana. Berulang kali operator menyampaikan bahwa nomor tersebut tak bisa dihubungi.
Luna langsung bangkit dari tempat tidur, lalu keluar kamar. Ia menghampiri kedua orangtuanya di bawah, berusaha untuk menenangkan dirinya.
“Ayah, Ibu!”
“Ada apa, Nak? Mengapa kau berkeringat?” respons sang ayah sambil membetulkan posisi kacamatanya.
“Sini, Luna! Ibu memasak cumi-cumi dengan saus tiram favoritmu, lho!” ujar sang ibu dari balik dapur.
Luna memegang pergelangan tangan ayahnya, menariknya untuk bangkit dari sofa. “Ayah, kumohon antarkan aku ke rumah Lucas.”
“Ada apa, Sayang? Rilekslah. Sekarang kan sudah jam sembilan malam. Biarkan Lucas beristirahat. Ia pasti akan kembali untukmu. Lagi pula, setiap laki-laki butuh privasi, kan?”
“Biar kujabarkan. Pertama, aku tidak merasa lebih baik semenjak terakhir kali kami bertemu. Kedua, dia sama sekali tak memberiku kabar. Kami sudah menjadi sepasang kekasih seperti dulu, seharusnya ia mengabariku walaupun hanya satu pesan saja. Aku mengerti dia lelah, tapi tidak begini.”
“Ayah hafal betul bagaimana tabiatmu kalau khawatir begini. Minta izinlah kepada ibumu sekarang, katakan padanya kalau kita akan ke rumah Lucas. Kasihan dia, sudah memasak dan merayakan kebahagiaan hatimu, tapi malah kau tinggalkan.” Ayah Luna memerintah seraya mengambil kunci mobil.
Setelah mendapat persetujuan dari sang ibu, Luna dan sang ayah pun langsung tancap gas menuju rumah Lucas. Sepanjang perjalanan, tiada hentinya gadis itu menggenggam kedua tangannya yang dipenuhi keringat dingin. Sementara ayahnya tetap fokus berkendara.
Perjalanan menuju rumah sang kekasih memakan waktu selama tiga puluh menit lamanya. Sialnya, kondisi jalanan yang biasa dilewati sedang dalam perbaikan. Mau tidak mau, mereka harus menempuh jalan memutar dan lebih jauh agar bisa segera sampai tujuan.
Ponsel Luna bergetar secara tiba-tiba, pertanda adanya panggilan masuk. Begitu ia nyalakan layar, berharap bahwa yang meneleponnya adalah Lucas, ternyata bukan. Yang meneleponnya adalah sang ibu. Tanpa ragu, ia pun mengangkat telepon tersebut, namun dalam sekejap dirinya pingsan.
“Luna …” panggil sebuah suara yang terdengar familier.
“Lucas?! Kita … berada di mana?” tanya Luna yang terkejut.
“Luna …” ujar Lucas sambil mengusap lembut kepala Luna. “Aku akan selalu mencintai dan menyayangimu. Bagaimanapun, kau harus tetap semangat menjalani hidup, ya.”
“Jadi … yang disampaikan ibuku merupakan kebenaran? Kau kini sudah—”
“Pergilah, Luna. Ini bukan tempat di mana seharusnya kau berada. Terkadang, beberapa hal yang terjadi memang tidak sesuai dengan rencana kita.”
“Tidak mungkin …” Luna tak kuasa menahan tangisnya.
“Aku meninggalkan sebuah surat pada salah seorang petugas di bandara. Di situ, akan kau temukan pesanku padamu. Apa yang kita alami tadi sore memanglah hal fana. Aku pun berusaha sekeras mungkin menyampaikan setengah pesanku. Sisanya bisa kau temukan di bandara. Maafkan aku, Luna. Kumohon, ingatlah selalu perasaanku untukmu.” Secara perlahan Lucas menghentikan gerakan tangannya.
Dalam hitungan detik, sosoknya memudar bersamaan kabut tebal yang sekejap menghilang layaknya asap.
“Luna! Kau sudah terbangun, Sayang?!” tanya sang ayah yang khawatir dengan keadaannya.
“Ayah!!!” pekik Luna, lalu memeluk erat sang ayah.
“Lucas sudah—”
“Jangan katakan apa pun padaku! Aku tak mau mendengarnya! Bagiku, neraka kehidupan memang nyata adanya …” ujar Luna sesenggukan. Ia terduduk lemas, tak mampu melakukan apa pun, kecuali membiarkan air matanya turun dengan deras.
“Sayang,”
“Cukup. Aku tak mau mendengar ucapan apa pun.”
“Ayah paham bahwa kau sangat terpukul karena semua ini. Tapi, biar bagaimanapun, kau perlu mengetahui isi surat ini, Sayang.” Sang ayah mengelus bahu Luna, sambil memegang secarik kertas yang ditinggalkan Lucas.
“Tinggalkan aku sendiri. Kalau perlu, buang dan bakar saja surat tak berguna itu. Aku tidak memerlukan kertas bodoh itu.”
Luna, kekasihku. Maafkan aku yang harus meninggalkanmu pergi ke Houston. Bukan karena aku ingin berpisah darimu, melainkan karena aku ingin merayakan kebahagiaan saudaraku yang akan wisuda.
Memang sih, awalnya aku ingin memulai kehidupan yang baru di sana. Akan tetapi, semenjak kau mengutarakan perasaanmu, aku langsung mengurungkan niatku untuk menetap di sana. Betapa konyolnya diriku, ya? Asal kau tahu, semua ini kulakukan karena aku masih mencintai dan menyayangimu. Tidak mudah untuk melupakan segala yang pernah terjadi di antara kita, Sayang. Aku pasti akan kembali untukmu. Tunggu saja.
P.S: Kutinggalkan surat ini pada petugas bandara agar bisa meninggalkan kesan romantis padamu.
Sang ayah membacakan isi surat Lucas sambil menahan sedih. Bahkan beberapa kali tenggorokannya sampai tercekat ketika membaca. Teringat di benaknya, beberapa menit sebelum Luna sadar, tersiar berita tentang sebuah kecelakaan pesawat yang menewaskan seluruh penumpang, sesaat setelah kendaraan terbang itu lepas landas.
Mendengar isi surat tersebut membuat Luna semakin hancur. Tiada sepatah kata pun yang terucap. Tiada surga terasa, justru tergantikan neraka.
Cinta mereka memang kembali, tetapi bersifat fatamorgana. Tiada lagi yang tersisa. Mimpi buruk seakan menjelma kenyataan. Bulan Desember yang terasa sangat kelam dan dipenuhi keterpurukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Hujan pada bulan Desember
RomanceLuna, gadis yang tak mensyukuri lelaki yang mencintainya dengan tulus. Menjalin hubungan kekasih hanya sebagai status belaka. Kini, ia menyesali apa yang telah dilakukannya. Bagaimanakah kisahnya?