Ponsel Luna bergetar, dalam sekejap lamunannya terbuyarkan. Hati gadis itu pun berdesir, tatkala ia mendapati alasan ponselnya bergetar adalah karena sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Lucas.
Dengan degup jantung yang tak keruan, ia membuka isi pesan tersebut.
Luna, bagaimana kabarmu, juga kedua orangtuamu? Kuharap kalian semua baik-baik saja. Sejujurnya, tidak ada sesuatu yang bisa kukatakan, selain ingin memberitahumu dua kata: ‘selamat tinggal’. Walau kupikir kata-kata pamitku tak penting bagimu, namun, izinkan aku menyampaikan perpisahan kepadamu secara baik-baik. Aku pun turut berterima kasih atas satu tahun yang dulu pernah kita lalui. Pastikan kau mengingat, bahwa aku akan selalu mendoakan kebaikanmu; agar kau selalu tenang, bahagia, dan menikmati hidupmu. Sekali lagi, terima kasih untuk segalanya, Luna.
Seketika, akal sehat Luna membeku—terkejut bercampur resah, bingung, juga takut. Tak lain tak bukan, ia tak ingin kehilangan Lucas. Mengapa pemuda itu tiba-tiba memutuskan pergi? Lalu apakah kepergiannya hanya sementara, ataukah selamanya? Mungkinkah yang dia lakukan adalah demi menghapus kenangannya bersama Luna sewaktu dulu? Memulai lembaran baru bersama seseorang yang lain, yang mencintai dan menyayanginya setulus hatinya?
Tak terasa, Luna kembali menitikkan air mata. Sebab ia tak sanggup membiarkan pemuda itu pergi. Ia sama sekali tidak ingin kehilangan Lucas.
“Lucas, apa semudah itu kau meninggalkanku? Secepat itukah kau menghapus kenangan kita? Aku tahu luka di hatimu masih membekas kuat, tapi aku ingin tahu, apakah masih ada harapan bagiku menjadi kekasihmu? Penyesalan memang selalu datang terlambat, dan kuakui …, saat ini aku seperti itu. Kembalilah padaku, Lucas.” Luna berucap sembari menggenggam fotonya bersama pemuda itu.
Dengan tangan yang bergetar, gadis itu memegang ponselnya. Ia membuka kontak yang bertuliskan ‘Love’, lalu menghubungi nomor tersebut. Baginya, tidak ada yang namanya kode-kodean perihal cinta. Di mana, cinta itu butuh keberanian. Bila ada yang ingin diungkapkan, maka ungkapkanlah. Tak perlu memberi tanda maupun kode. Sudah tentu, pemikiran tersebut didapatnya dari Lucas.
“Halo, Lucas.” Luna mengawali percakapan, ketika ia dapati suara seorang pemuda di seberang sana. Jantungnya kini berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
“Hai, Luna. Kira-kira ada apa, tiba-tiba meneleponku?”
“Kau akan pergi?” Luna bertanya dengan tenang. Seiring kerinduan yang termunculkan tatkala ia mendengar suara penuh kasih itu.
“Mmm … betul. Pesanku sampai dengan lengkap kan?”
“Bisakah kita bertemu?”
“Bertemu? Untuk apa?”
“Akan kuulangi sekali lagi. Bisakah kita bertemu?”
“Kapan?”
“Kau bisa sekarang?”
“Sekarang aku benar-benar sedang sibuk mengurusi berbagai persiapan untuk keberangkatanku. Bagaimana kalau besok?”
Seketika hati Luna berdesir kala mendengar pernyataan Lucas.
“Baiklah. Jadi besok, ya. Jangan lupa.”
“Akan kupegang kata-kataku.”
Perbincangan singkat mereka pun berakhir.
Sesaat setelah telepon dimatikan, ingatan Luna terlintas pada saat-saat di mana hubungan mereka akan berakhir.
Di suatu masa ketika mereka berdua pergi ke taman. Kala itu, Luna sudah tak kuasa ingin mengatakan yang sebenarnya. Karena tidak ingin menyakiti hati Lucas, gadis itu menahan diri untuk jujur kepadanya. Beberapa menit setelah mereka sampai, secara mendadak, hujan turun deras, membasahi rerumputan taman yang menari indah akibat terkena terpaan angin, menambah volume air kolam yang membuat para ikan tampak lebih asyik berenang. Sayangnya, kesemua itu tak sesuai dengan perasaan Luna. Alasannya, karena ia mesti jujur, walaupun pahit. Mau tidak mau, pertemuan sepasang kekasih yang diiringi hujan tersebut menjadi momen yang menyedihkan nan menyakitkan.
“Lucas …” Gadis itu berujar.
“Iya, Sayang?”
“Sudah lama ingin kukatakan ini. Walaupun menyakitkan, cepat atau lambat aku mesti mengatakannya.”
“Katakan saja.” Lucas menyahut dengan dingin.
“Sebelumnya, aku minta maaf terlebih dahulu—”
“Aku siap menerima kenyataannya,” potong Lucas.
“Aku …,”
“Katakanlah.”
“Aku tidak mencintaimu.”
Hujan yang tengah deras tiba-tiba terasa hening.
“Maksudnya, belum. Aku belum mencintaimu. Belum saatnya—”
“Dari awal hingga sekarang?”
“I-iya. Tapi aku selalu berusaha untuk mencintaimu.”
“Sudah kuduga—beginilah kenyataan sebenarnya. Ternyata benar apa yang teman-temanku katakan.”
“Teman-temanmu?”
“Berulang kali mereka mengatakan bahwa kau tak mencintaiku. Namun semua kuabaikan, sebab aku bersikeras kalau kau betulan cinta padaku.” Pemuda itu menghela napas sejenak. “Meski begitu, aku berterima kasih padamu, karena telah berkenan untuk menerimaku menjadi kekasihmu. Terima kasih juga, karena telah jujur padaku.” Ia kemudian berujar sembari tersenyum. Tapi Luna tahu, di balik senyumannya itu, bersemayam kepedihan yang amat mendalam.
Gadis itu merasa sangat bersalah. Ia menyesali perkataannya, namun juga lega karena kegelisahan yang selama ini menghantuinya telah hilang.
“Bagaimana … kita sekarang, Lucas?”
“Maaf, kita putuskan hubungan ini.”
Luna sudah menduga jawaban ini. Seolah ribuan palu yang menjadi wujud kesakitan Lucas memukul telak ke ulu hatinya. Walaupun dirinya tak mencintai Lucas, ia sama sekali tidak menginginkan hubungan itu berakhir. Pada kenyataannya, Luna selalu berusaha untuk mencintai Lucas.
Hujan pun mereda, menyisakan kesunyian rintik-rintik air yang turun secara konstan.
“Bisakah … kita memulai semuanya dari awal?”
“Apanya? Kau ingin mengulangi lagi perasaan palsumu? Tidakkah kau merasa bersalah dengan segala yang kau lakukan selama ini? Pentingkah status buatmu? Kalau iya, jangan lakukan itu bersamaku. Carilah orang yang sama, yang menginginkan status ‘kekasih’ sepertimu,” jawab Lucas yang kini tengah menundukkan kepalanya.
Tanpa disadari, air mata keluar membasahi pipi Luna. Napasnya serasa tercekat, tanpa bisa mengucapkan sepatah pun kata. Bagaimanapun, gadis itu tak ingin hubungannya berakhir.
“Apa yang kau tangisi?” Lucas yang menyadari tangisan Luna, menatap kedua mata itu dengan lekat.
“Aku menyesal terhadap segala yang kulakukan.”
“Penyesalan memang selalu datang terlambat. Maka ketika penyesalan berakhir menghantuimu, kau harus melakukan sesuatu untuk melenyapkan keberadaannya. Meskipun penyesalan akan sulit terhapuskan, namun tetap bisa dihilangkan untuk menenangkan kegelisahan hati.”
“Apa yang seharusnya kulakukan?”
“Dengan mengakhiri hubungan ini, itu sudah menjadi jalan terbaik untuk menyelesaikan semuanya.”
“Apa kita tidak bisa mencoba—”
“Tak bisakah kau pahami perasaanku? Tak tahukah dirimu betapa terlukanya hatiku? Apa yang mau kau pertahankan dari hubungan tanpa landasan rasa? Luna, jujur kuakui, aku bangga karena kau telah jujur padaku. Memang menyakitkan harus seperti ini, tapi kau juga tak boleh egois.”
“Maafkan aku. Aku sangat menyesal. Tapi, jika ini memang yang terbaik untuk kita, aku tidak akan egois lagi.” Luna menanggapi dengan suara yang bergetar. Ia tak sanggup menahan tangisnya, hingga meledaklah tangisan yang memecah suasana kala itu.
Blar! Duar!
Gelegar petir membuyarkan lamunan Luna akan kenangan tidak mengenakkan itu. Tatkala gadis itu memeriksa jam di ponselnya, ternyata hari sudah memasuki waktu petang. Dan ketika ia menyaksikan langit di balik jendela, kegelapan tampak menyelimuti atap bumi.
Gadis itu pun berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Hatinya tengah berdebar kencang, sebab esok ia akan menemui pemuda yang pernah sangat mencintainya, yang kemungkinan besar, sekarang tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Hujan pada bulan Desember
RomanceLuna, gadis yang tak mensyukuri lelaki yang mencintainya dengan tulus. Menjalin hubungan kekasih hanya sebagai status belaka. Kini, ia menyesali apa yang telah dilakukannya. Bagaimanakah kisahnya?