Day - 20

30.2K 2.9K 39
                                    

"Biiii! Masak apa lagi hari ini?" Teriak Axel yang berjalan menuju ke dapur, mengagetkan seorang wanita tua disana.

"Si Aden bikin kaget bibi aja hobinya. Gak ada hobi lain apa, den?" Gerutu Bi Siti, pembantu rumah tangganya pada sang majikan, Axel.

"Bibi masak apa lagi? Masak yang dari buku resep lagi, kan?" Tanya Axel, mengabaikan gerutuan Wanita itu.

"Iya, den. Habisnya gampang den, cepat dan sehat juga. Den Axel mau bungkus lagi? Den Axel emang piknik dimana sih? Kok tiap hari gini pikniknya? Gak bosen, den?" Tanya Bi Siti kepingin tahu.

"Bawel, Bi! Bungkusin aja. Teman gue suka sama masakannya." Gerutu Axel. Bingung kenapa pembantunya bisa sekepo ini.

"Cewek ya, Den? Bawa pulang dong, den. Kenalin ke bibi. Nanti bibi masakin setiap hari deh." Pinta Bi Siti. Axel tergelak dan menggeleng.

"Masakin tiap hari dulu, nanti kalau jadi, aku baru bawa pulang. Kalau gak jadi, bibi deh tuh yang makan masakan bibi sendiri." Sungut Axel. "Udah, gue mau mandi dulu. Bungkusin ya, Bi! Yang banyak." Seru Axel sambil berjalan keluar dari dapurnya.

Langkah Axel berhenti ketika melihat Aditya yang baru keluar dari kamar tidurnya, juga menatapnya sambil tersenyum.

"Papa mau bicara sama kamu, Max. Bisa?" Tanya Aditya yang di jawab anggukan oleh Axel.

Axel berjalan, mengikuti langkah Aditya menuju ke ruang keluarga yang jarang terjamah lagi oleh kedua orang tersebut semenjak peninggalan sang istri dan ibu tercinta mereka.

Aditya duduk di salah satu sofa, diikuti oleh Axel yang duduk bersebrangan dengan Aditya.

"Papa harus ke Jerman akhir bulan nanti." Aditya membuka suara, "mungkin sampai sebulan, papa baru bisa kembali ke Jakarta." Sambungnya.

"Oh."

"Papa mau natal nanti, kamu menemani papa makan malam dirumah sebelum papa ke Jerman. Kamu mau, kan?" Tanya Aditya, was-was mendengar jawaban dari sang anak.

Axel terdiam, ia sudah berjanji pada Alexa untuk menemani perempuan itu ke panti. Dan Axel sama sekali tidak mau mengingkari janji itu.

"Saya gak bisa, pa. Saya sudah ada janji dengan teman." Teman? Axel mendengus.

"Oh." Aditya tersenyum getir, ia tahu dan ia memang tidak mengharap banyak kalau pembicaraan singkat itu akan membuat dirinya menjadi prioritas bagi sang putra.

"Kalau papa ada waktu, tanggal 26 saya bisa." Ujar Axel. Matanya menatap kearah lain, menghindari bertatapan dengan Aditya. Baginya, mengatakan hal ini sudah merupakan bagian ia menekan egonya sendiri.

Aditya tersenyum lebar dan mengangguk, "Baik. Tanggal 26 papa akan luangkan waktu untuk kamu." Seru Aditya senang. Meskipun Axel masih menunjukan aura dingin padanya, tapi ini sudah merupakan sebuah kemajuan. "Lalu, bagaimana dengan teman kamu yang kata kamu sakit? Sudah merasa lebih baik?" Tanya Aditya, berusaha membangun topik dengan sang putra.

Axel tersenyum simpul dan menggidikkan bahunya, "Sepertinya."

Aditya tahu jelas sorot mata anaknya itu. Orang yang sudah makan asam garam kehidupan, akan dengan mudah menebak kalau Axel sedang dilema akan rasa cinta.

Baru Aditya hendak mengatakan sesuatu dari bibirnya, namun ponsel miliknya berdering terlebih dahulu. Tanpa pilihan, ia menjawab ponselnya setelah mengkode Axel untuk menunggu.

"Halo?"

Axel memperhatikan ayahnya yang sedang bertelepon. Kemudian ia kembali diam, memikirkan Alexa. Apa ia sudah lebih baik? Atau malah tidak? Axel tidak tahu. Karena yang Axel pedulikan adalah melihat tawa gadis itu dan memastikan Alexa tidak melewatkan waktunya untuk memakan obat. Axel bahkan tidak pernah membahas perihal penyakit Alexa semenjak Gadis itu setuju untuk di operasi.

30 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang