2-Tentang Pertemuan

53 2 0
                                    

Kalau jodoh pasti tidak kemana, itu perumpamaan tentang jodoh yang sering sekali kita dengar. Tapi bagaimana jika perumpamaannya berubah menjadi, kalau jodoh pasti bertemu? Terdengar aneh, namun, itu yang sedang Afreen alami.

Lusa yang lalu, dia mendapat sepucuk surat dari laki-laki asing yang dia sendiri tidak mengenalnya. Ada sebuah kalimat yang membuat Afreen merinding tiap mengingatnya. Kalimatnya, jika kita bertemu lagi besok untuk yang kedua kalinya berarti kita jodoh. Afreen berusaha melupakannya, berusaha tidak memikirkannya, namun, tetap saja, semakin dia berusaha melupakannya, semakin dia mengingatnya.

Untuk pertama kalinya Afreen memikirkan hal mengenai cinta dan perasaan.

Langkah Afreen terhenti saat mendapati seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak berdiri tegap di depannya. Laki-laki itu tersenyum hingga lesung pipinya begitu jelas terlihat. Afreen mematung. Dia begitu mengenali laki-laki di depannya, si pemberi surat cinta.

Afreen hendak pergi, dengan gerakan yang cepat, laki-laki itu menahan tangan Afreen dengan tangan kekarnya. Afreen merasakan jantungnya yang berdegup kencang. Baru kali ini dia merasakannya, baru kali ini.

Afreen berusaha melepaskan tangan laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu tak mau kalah, terus mencekal tangan Afreen. Afreen menyerah. Afreen mulai berbalik ke arah laki-laki yang dia belakangi. Afreen membiarkan laki-laki itu mencuri waktu berharganya untuk berbicara dengannya.

"Sekarang apalagi yang lo mau? Nggak cukup ya udah ngeganggu hidup gue yang tenang dengan surat nggak bermutu lo kemarin?" Afreen menatap tajam laki-laki di depannya

Tak ada amarah, tak ada rasa sedih ataupun kesal di wajah laki-laki itu, dia justru tersenyum seakan tak pernah melakukan apapun pada Afreen. "Kamu boleh panggil saya Gian. Kalau kamu sudah baca surat saya, kamu pasti mengingat nama saya yang tertera di paling bawah.."

Afreen memutar bola matanya malas. "Ya terus? Penting gitu buat gue tau nama lo?"

Laki-laki itu--Gian--menatap mata Afreen intens. Afreen mulai risih dengan tatapan aneh Gian. Gian terus melancarkan aksi tatapannya pada mata Afreen.

"Mata kamu indah. Akan terlihat lebih indah, jika kamu tidak menatap seorang laki-laki dengan tatapan seakan ingin menerkam. Itu yang membuat laki-laki terkadang malas bahkan tidak bisa bertahan jika bersama kamu. Tapi tidak dengan saya." Gian menekan kata tidak pada kalimat terakhir yang diucapkannya.

Afreen sudah tidak bisa berbicara lagi. Kalimat Gian yang diucapkannya sebelum berlalu meninggalkan Afreen seakan menusuknya. Afreen menempatkan tangannya tepat di dadanya, detak jantungnya berdetak sangat cepat. Wajah Afreen pucat pasi, kedua tangannya dingin, kedua kakinya seketika lemas. Afreen kalah. Dia kalah. Kalah dari makhluk bernama laki-laki yang sedari dulu amat dia benci keberadaannya.

Afreen melangkahkan kakinya cepat memasuki rumahnya. Panggilan dari sang mama bahkan tak di hiraukannya. Hari ini kacau, sangat kacau. Afreen bahkan tak bisa berpikir jernih setelah kejadian di kampus tadi. Kenapa dia bisa sebodoh itu? Afreen terus saja merutuki dirinya.

Afreen membuka laci meja belajarnya, dilihatnya amplop berisi surat itu (lagi). Kali ini bukan untuk dibaca, melainkan, Afreen meremas surat itu dan membuangnya sembarang.

"Afreen? Makan dulu yuk, nak.." suara Mamanya terdengar cukup keras dari lantai bawah rumahnya

Afreen memejamkan mata berusaha meredam amarah yang menggebu. Dengan sedikit paksaan, Afreen turun ke lantai bawah memenuhi panggilan Mamanya.

Sebenarnya, Afreen sudah tidak nafsu makan sejak pulang dari kampus tadi. Bahkan untuk melihat nasi di depannya saja dia merasa enek.

"Ayo dimakan, sayang. Jangan dimainkan nasinya, nanti jadi mubazir.." tegur Mamanya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang