A Piece

141 8 0
                                    


Pagi di hari Sabtu yang cerah tiba esoknya. Aku berangkat dengan semangat membara karena masih merasa senang akibat kejadian kemarin. Karl sendiri sampai heran dengan apa yang terjadi denganku. Sebenarnya, aku ingin bercerita padanya. Tapi, aku teringat kalau Elsa tidak membolehkanku bicara dengan orang lain tentang dirinya. Saat pulang sekolah, aku pergi ke kelas 1-1 untuk menemui Elsa.

"Wah, sayang sekali. Kalau Sabtu begini, Elsa tidak ada di sekolah. Dia sudah pulang sedari tadi," kata seorang gadis di kelas Elsa usai kutanyai tentang keberadaan Elsa di kelasnya.

"Oh, begitu," balasku dengan nada kecewa.

Aku lupa, dia kemarin bilang akan pergi ke tempatnya Shena. Sudah jelas dia akan pulang cepat untuk bersiap-siap.

"Eh, tunggu. Tadi kau bilang 'sabtu begini'? Memangnya Elsa selalu pulang cepat?" tanyaku kaget, baru menyadari hal yang janggal.

"Iya. Alasannya sih macam-macam. Lagipula, karena biasanya usai makan siang di hari Sabtu hanya perwalian, Pak Guru tidak terlalu mempermasalahkannya. Tapi, entah itu hanya perasaanku atau kenyataannya memang begitu, hanya setiap di hari Sabtu siang saja Arianna tampak benar-benar bahagia," jawab cewek itu.

"Itu karena dia menemui Shena," kataku dengan lirih dan sedikit bercampur nada syok.

"He? Siapa itu?" cewek itu tampak terkejut.

"Lupakan saja apa kataku barusan. Apa kau punya nomor teleponnya Elsa?" tanyaku dengan nada terburu-buru.

"Tidak. Elsa tidak pernah membagikan nomor teleponnya pada orang lain. Ah, aku baru sadar. Meski dia baik dan terkenal, dia tidak punya teman baik, ya," balas cewek itu.

"Thanks, ya. Aku balik dulu," pamitku lalu berderap pergi.

Seninnya, aku segera menemui Elsa di kelasnya. Dari sepanjang aku mengenalnya, di hari itulah wajahnya paling cerah. Tapi, tanpa menanyakannya, aku sudah tau apa alasannya. Kemarin, dia pasti bersenang-senang dengan orang yang disukainya itu. Meski begitu, ada hal yang masih membuatku penasaran. Kenapa dulu dia terlihat sedih ketika kutanyakan tentang hal itu?

"Kau habis bersenang-senang dengannya kemarin, ya?" tebakku pada Elsa.

Saat itu, kami sedang berada di kebun Elsa dan menyirami tanaman bersama. Awalnya, Elsa melarangku ikut ke rumahnya, tapi kemudian dia mengizinkan setelah kudesak berkali-kali. Maaf, ya, El.

"Tentu saja! Kami menginap di apartemennya, menikmati seharian penuh bagai keluarga, dan bermain semalam suntuk. Paginya, kami pergi berlibur ke taman bermain dan menonton film bersama. Menyenangkan sekali!" cerita Elsa dengan berseri-seri.

"Sepertinya kau lebih bahagia bersamanya daripada bersamaku," komentarku dengan sedih.

"Tentu saja begitu!" jawab Elsa dengan penuh semangat. "Nah, sekarang ayo kita turun ke bawah. Ibu pasti sudah menyiapkan makanan untuk kita. Jangan sampai membuat Ibu menunggu. Itu tidak baik."

Kami pun turun ke bawah sambil bercerita-cerita menuju ruang makan. Tapi, sebelum itu, aku mampir dulu ke toilet. Setelah ke toilet, aku melewati sebuah kamar yang kutebak itu adalah kamarnya Shiina. Dengan memupuk keberanian, aku melangkah masuk ke dalamnya.

Wah, kamarnya betul-betul rapi. Dia benar-benar mencerminkan sosok primadona sekolah. Meskipun aku yakin tak aka nada yang peduli dengan kamarnya seperti apa, tapi dia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Dinding kamar Elsa dipenuhi kertas berisikan materi tentang ilmu pelajaran, gambar yang membuat orang yang melihatnya merasa tenang dan sebuah foto berukuran 50x70 cm. Aku langsung diam ketika melihat foto itu.

Foto itu memperlihatkan dua orang yang berfoto setelah upacara perpisahan sekolah. Aku bisa tau akan hal itu karena di belakang mereka terlihat sekali bahwa baru saja di sekolah itu diadakan upacara kelulusan. Lagipula, dua orang yang sedang berfoto itu menunjukkan sebuah tabung yang pasti ada ketika pepisahan sekolah dengan cerianya.

Yang paling penting adalah orang di foto itu. Di sebelah kiri, ada seorang pemuda dengan wajah tampan tersenyum dengan lembut dan serasa menyihir yang melihatnya untuk selalu menatapnya. Entah apa tapi aku mendapat firasat kalau pemuda itu adalah Shena. Sementara di sebelah kiri, ada seorang gadis berambut kuning dengan beberapa helai semburat merah sedang melempar senyum ceria yang mengesankan kalau dia itu anak nakal. Kurasa itu bukan Elsa. Separah apa pun Elsa dulunya, gadis di foto itu sepenuhnya tidak seperti dirinya. Tapi, di foto itu, mereka berdua tampak begitu dekat dan senang.

"Reita!" Elsa yang tiba-tiba berteriak memanggilku membuatku tersadar dari lamunanku akan foto itu dan langsung menyahut seruannya.

"Iya! Aku akan segera ke sana!" sahutku lalu segera kembali menuju ruang makan dengan perasaan sakit karena sadar kalau aku jelas kalah telak dari pemuda si teman kecil Elsa, Shena.

Terimakasih sudah membaca! Tunggu lanjutan ceritanya ya!

A Fake RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang