Melangkah

1.6K 302 71
                                    

Melangkah

"Jadi..." Dengan sedikit gugup, dia mulai mengguratkan tinta ke kertasnya. "Aku punya banyak masalah di sini. Kuliah, tugas, kerjaan, beasiswa..."

"Gak usah dianggep masalah. Toh, itu semua rutinitas kamu. Kamu harus belajar menyesuaikan," potongku.

"Ish, tapi mereka semua memberatkan!" keluhnya kesal, mulai mengacak-acak lembaran kertas di hadapannya. "Aku bingung dengan semua ini. Semua yang kusebut mimpi-mimpi ini."

"Kenapa bingung?" Aku menyesap kopiku perlahan. "Kau sedang menata ulang mimpi-mimpimu yang telah lama berserakan di ruang pemikiranmu yang sempit itu."

"Aku tak pernah berpikir kalau mimpiku sebanyak ini. Dan ternyata semua ini menyusahkan," dengusnya, "kupikir yaa..., hanya selesaikan kuliah, mencari pendamping hidup, cari kerja, punya anak, dan puf! Aku menghilang dari dunia! Kupikir sesimpel itu! Huh—dasar otak anak-anak, sulit dipercaya aku dulu senaif itu."

"Tapi, mimpi-mimpi itu yang membuat kamu menjadi seorang Angga," kataku pelan, sepelan mungkin, berharap dia tak mendengarnya.

"Mimpi ini?!" Ya, dia ternyata mendengarnya.

Aku menarik nafas berat. "Angga, kamu hidup dari sebuah brokenhome. Dan, tahukah kamu, ada berapa anak brokenhome di luar sana yang menjadi pemabuk? Yang menjadi anak 'tidak benar-benar'? Aku bukannya meremehkan anak brokenhome dan mencoba mengungkit masa lalumu, tapi lihatlah betapa beruntungnya kamu, Angga!" Aku membasahi bibir, mencoba merangkai kata di kepalaku.

Angga masih termenung diam.

"Kamu bisa berpikir, kenapa anak tolol yang suka main hujan-hujanan itu bisa pergi ke Amerika karena mendapat beasiswa? Anak yang bahkan dikasari oleh mamanya sendiri? Dengan semua ini, dengan mimpi-mimpi yang kamu gantung ini, kamu telah berhasil, Angga," jelasku, dengan mata sedikit berkaca-kaca, "Kamu berhasil. Sombongkan sana pada mamamu di Tokyo, yang tak pulang-pulang."

Angga sedikit terperangah, tetapi kemudian berusaha kembali menormalkan ekspresi saat pelayan datang membawa kopi pesanannya.

"Satu robusta low sugar untuk meja nomor sepuluh. Selamat menikmati," kata sang pelayan setelah menaruh cangkir itu, lalu pergi.

Orang yang duduk di hadapanku kemudian menyesap kopi miliknya. Pelan, seolah menikmati tiap aroma yang masuk melalui hidungnya, bersamaan dengan pahit yang menyentuh lidahnya.

"Naya," Suara Angga terdengar berat, setelah menelan kopinya. "Aku enggak tahu harus apa lagi kalau aku enggak ketemu kamu minggu ini."

Aku tersenyum kecil. Kuharap semua itu menyadarkannya. Berharap dia kembali fokus kuliah, kemudian nanti menjadi orang sukses setelah pulang dari Amerika.

"Aku selama ini selalu egois terhadap hidupku dan pilihan. Aku memilih untuk pergi Amerika, padahal sebenarnya hidup yang memilihku untuk itu. Aku selama ini hidup dengan tetangga di samping rumahku, padahal sebenarnya aku yang memilih untuk itu," entah apa maksudnya, tapi ini terdengar memusingkan di telingaku. Angga terlalu banyak merangkai kata yang sama dalam kalimatnya.

"Ugh, bertele-tele," dengusku.

"Aku hanya berkata yang sebenarnya." Kali ini Angga sedikit maju untuk merapikan lembaran-lembaran kertas yang berantakan. "Dan, Naya, kamu harus tahu: kamu lebih penting dari siapapun di dunia ini. Bahkan dari mamaku. Demi dosen galak di fakultas ekonomi, kamu lebih baik daripada orang itu."

Ya, aku hanya bisa terkikik kecil melihatnya. Dia benar-benar bangkit. Sinar mata sayunya menghilang. Kini, kulihat bola matanya mengilap-ngilap, seolah terisi oleh semangat yang membara. Aku senang bertemunya hari ini, di hari hujan tepat seminggu sebelum ke berangkatannya. Aku senang telah menyadarkannya.

Diam-diam, saat dia fokus mengerjakan tugasnya di hadapanku, aku menuliskan sesuatu di post-it yang selalu di bawa kemana-mana.

Untuk Angga, jangan pernah berhenti bermimpi. Kamu ingat siapa aku? Aku lah mimpimu. Aku yang membangunkanmu dari realita yang tak pernah kau inginkan. Kamu lihat semua? Mimpimu jadi kenyataan, dan aku kembali membuatmu tersentak dari mimpi dan menghadapi realita. Belajarlah menerima apa yang ada. Teruslah bermimpi, aku bersamamu.[]

T A M A T

Untuk Angga | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang