Prolog
Tak perlu beribu atau berjuta alasan. Aku hanya butuh satu. Dan itu kamu. –Sehun-
***
-Sehun pov-
07.23
Aku menenangkan hatiku yang kesepian lagi. Sendiri, masih ku tak mengenali serupa apa remaja yang hidup dalam diriku. Aku bagai patung yang belum rampung dipahat. Aku luka yang belum sepenuhnya terobati.
Seniman yang memahatku mungkin sudah kelelahan. Atau dia sudah mati. Aku masih saja terombang-ambing. Kuselesaikan hari tanpa tujuan yang pasti. Abu-abu. Semuanya masih abu-abu. Hariku selalu berakhir dengan nafas berat dan lelah.
Si seniman yang seharusnya memahatku, sudah tak lagi bekerja. Hidupku tak berbentuk. Dan aku mulai rapuh dan hancur. Aku tak bisa membedakan mana menapaki jalan setapak dan mana menapaki jurang.
Angin berhembus. Orang lalu lalang dengan pikiran mereka. Dan aku, masih di sini dengan segala kebencian akan hidup. Semuanya masih abu-abu. Patung yang belum selesai dipahat itu tersingkirkan. Luka yang belum sepenuhnya terobati mulai bernanah
“Kau mau membolos lagi?”
Seorang yang asing, menyapa diriku. Hari ini, sama seperti hari sebelumnya. Beberapa menit sebelum kelas dimulai, aku menyendiri di taman belakang sekolah. Siap menerobos gerbang belakang dan membolos lagi.
Tapi, hari ini berbeda dengan hari biasanya. Aku tak lagi sendiri. Seorang gadis, kini tengah berdiri tak jauh dariku.
“Kamu tahu kan sekolah kita pakai sistem poin?” Dia bersedekap. “Kalau kau melanggar peraturan sekolah, poinmu otomatis akan berkurang. Dan membolos adalah pengurangan poin terbanyak di antara pelanggaran lainnya.”
Mukanya terlihat tak asing. Alisnya tebal tertata. Bibir pucatnya terpoles lipgloss tipis. Rambutnya hitam kelam sepanjang bahu jatuh sempurna. Kulitnya putih bersih. Tapi dari bentuk wajahnya, aku bisa menyimpulkan dia bukan orang Korea.
“Dan poin milikmu sudah hampir habis karena terus saja membolos.” Tanpa babibu, dia langsung utarakan apa alasannya mendatangiku.
Aku masih bungkam. Terlalu sibuk mengingat atau meneliti penampilannya. Hingga sekelebat aku tahu bahwa dia adalah salah satu teman sekelasku.
“Lalu?” Aku menjawab –atau lebih tepatnya bertanya- dengan datar.
Jujur, ini adalah pertama kalinya kita berdua membuka sebuah pembicaraan. Meski kenyataannya aku baru berucap satu kata. Kata orang, aku ini introvert. Tak banyak yang aku ungkapkan tentang diriku.
Aku orang yang tertutup. Aku tak suka mencampuri urusan orang lain. Begitu pun saat orang lain mencampuri urusanku. Anehnya, aku tak terganggu saat gadis yang belum kuketahui namanya itu dengan gamblang membicarakan poin milikku.
“Aku tak tahu apa masalahmu. Dan itu juga bukan hak ku untuk mencampuri urusan orang lain.”
Senyum tipis otomatis tercetak di bibirku. Aku tak tahu kenapa, tapi aku suka jawabannya. Meski yang dilakukannya sekarang ini bisa masuk kategori mencampuri urusanku.
“Aku ke sini karena salah satu wali kelas meminta pertolonganku… Kau baru seminggu pindah di sekolah ini, tapi kau sudah hampir menghabiskan poin milikmu. Kau tak pernah sekali pun masuk ke kelas sejak hari pertamamu di sini.”
Senyumku semakin lebar. Atau lebih tepatnya menjadi sebuah seringaian sekarang. Gadis itu terlihat lucu saat berbicara. Alis tebalnya bergerak-gerak. Dan itu membuat diriku tak sekali pun menangkap apa yang dia bicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dalam Almari
FanfictionSatu. Dua. Tiga. Empat. Aku menghitung dalam hati. Detak jantungku yang melaju kian kencang tiap detik terlewat. Pada suatu hari, yang tak pernah aku kira akan berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kutemui hatiku tertambat pada satu hati. Patung ya...