Serpihan 1
Senyuman, kadang hanya sampul penutup luka. Jangan langsung percaya dengan lengkungan palsu itu selalu merepresentasikan kebahagiaan dan keadaan baik-baik saja. -Via-
***
Seoul - 15.24
"Miranda Savia..."
Gadis berwajah Asia dengan kulit kuning langsat itu menoleh. Ia yang awalnya datang ke ruang guru untuk mengumpulkan lembar kerja milik siswa ke meja guru, langsung menuju ke meja guru BK tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Ne, seonsaengnim..."
Guru BK memanggilnya, itu pertanda bahwa harus ada yang dilakukannya besok. Guru itu selalu saja meminta bantuan untuk masalah-masalah kecil yang sulit diurusnya. Dan sudah bukan rahasia lagi jika ia selalu meminta pertolongan itu pada murid teladan SMA Hanlim.
"Oh Sehun, apa dia datang hari ini?"
"Ne. Dia datang, tapi tak mengikuti pelajaran sama sekali."
"Bisa aku minta tolong?"
"Apa itu?"
"Buat dia untuk selalu menghadiri kelas. Entah itu hanya untuk sekedar duduk di sana tanpa mendengarkan. Yang jelas aku butuh dia untuk datang ke kelas tiap hari." Guru wanita usia 40an itu berucap dengan hati-hati.
"Poin miliknya sudah hampir habis. Dan jika poin pelanggarannya melebihi yang sudah ditentukan, maka surat pengeluarannya dari Kepsek akan segera keluar. Jika dia pindah lagi, sudah tidak ada harapan."
Via mengangguk tanpa banyak kata. Yang harus dilakukannya hanyalah membuat lelaki yang duduk di sebelahnya itu untuk datang ke kelas tiap hari. Keliatannya mudah, tapi ia pun tak tahu. Dia tak pernah melakukan pembicaraan dengan seorang bernama Oh Sehun itu. Dan dia tidak tahu perintah mudah tadi apakah akan tetap menjadi mudah atau malah setara dengan menguras Danau Seokchon.
***
Seoul - 07.23
Informasi yang didapat Via dari guru BK, bahwa lelaki itu akan pergi ke gerbang belakang setelah meletakkan tas nya di bangku. Dan disinilah Via, berlari kencang mengejar lelaki yang masih belum sadar akan keberadaannya.
"Kau mau membolos lagi?" ucap Via sesaat setelah ia berhasil mengatur nafasnya. Tepat saat kaki panjang itu hendak meraih pijakan pagar yang bisa digunakan untuk naik.
Dia menoleh. Satu yang Via simpulkan dari lelaki itu. Dia tinggi. Dan juga tampan. Bibirnya kecil tak terlalu tebal. Via juga bisa menangkap samar-samar lingkaran hitam di bawah matanya. Alisnya lebat. Tapi kulitnya pucat. Entah karena dia memang terlalu putih atau itu karena penyakit. Via tidak tahu.
"Kamu tahu kan sekolah kita pakai sistem poin?" Dia bersedekap. "Kalau kau melanggar peraturan sekolah, poinmu otomatis akan berkurang. Dan membolos adalah pengurangan poin terbanyak di antara pelanggaran lainnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dalam Almari
FanfictionSatu. Dua. Tiga. Empat. Aku menghitung dalam hati. Detak jantungku yang melaju kian kencang tiap detik terlewat. Pada suatu hari, yang tak pernah aku kira akan berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kutemui hatiku tertambat pada satu hati. Patung ya...