Salju di Awal Desember

101 10 7
                                    



Emily dan Alice melonjak gembira. Salju akhirnya turun! Mereka membuka jendela, dan mengulurkan tangan ke luar, menyentuh serpihan-serpihan putih lembut yang terjatuh dari langit. Angin kembali berembus dengan hembusan khas bulan Desember. Dingin, dan membuat hati Emily terasa bergetar. Membayangkan bahwa dunia kembali putih, bagai tanah sedang dilapisi selimut putih yang tebal. Bahwa telaga kembali beku, bahwa badai akan terjadi setiap malam dan angin akan melolong. Bahwa perapian kembali menyala, dengan api hangat yang membuat bayangan di ruang keluarga, dan ranting pohon mapel bergemeretak. Dan mereka akan menjawab panggilan udara musim dingin!

Emily dan Alice mengikuti aroma masakan dan menghampiri meja makan. Di sana, sudah dipenuhi beberapa makanan! Sup kelinci rempah buruan Pa, sup lobak kesukaan Em, serta kue jahe untuk penutupan! Juga susu hangat perahan sapi mereka. Dan setiap anggota keluarga pun mengelilingi meja, nyaman di tengah kehangatan perapian.

"Ma, apakah kami boleh keluar untuk bermain?" Alice bertanya, mengerling jenaka. Pa dan Ma tertawa geli. Tapi kemudian ia bersin. Cattley—kucing kecil yang mereka temukan di anak sungai menggosok-gosokkan kepalanya manja di kaki Alice. Tampak seperti gadis dengan gaun oranye dan rompi putih. Bulu oranye di punggung dan seputih salju di bagian perut.

"Tentu saja. Tapi, setelah supnya ludes, dan kalian kenyang, Alice." Ma mengambilkan sup kelinci rempah untuk Alice dan Emily. Juga sup lobak. Mereka semua gembira dan hangat di dalam rumah, walau udara dingin membekukan telaga di luar.

Emily dan Alice menghabiskan makanan pembukaan, makanan utama, dan penutupan mereka. Lalu tertawa gembira dengan banyak lelucon dan obrolan di sana. Ah, musim salju menjadi musim paling indah dari keempat musim lainnya.

***

Emily dan Alice memakai mantel, jaket, syal, sarung tangan, kaos kaki tebal, dan topi musim dingin. Hujan salju telah berhenti, dan mereka akan ikut Pa melihat Cowy dan Jo—kuda mereka di kandang.

"Pa, apakah aku boleh memerah susu sapi?" tanya Emily berharap, melonjak-lonjak di samping Pa. Ia tak pernah mencoba sebelumnya, dan dia ingin sekali, sepertinya menyenangkan.

"Ya, Pa! Oh, bolehkah?" sahut Alice, melonjak-lonjak di sampingnya.

Pa hanya tersenyum. "Sayangnya tidak. Kalian masih terlalu kecil untuk itu. Cowy akan menyepak jika kita tak hati-hati," jelasnya. "Dan kita tidak akan memerahnya siang ini juga. Karena masih ada seember susu di gudang penyimpanan."

Pa mengatakan bahwa ia hanya akan memberi minum sapi dan kuda. Emily mengerti. Dia lalu berlari ke luar kandang dengan Alice. Mereka mengajak James yang berumur dua tahun untuk bermain-main di beranda.

***

Emily berlari menghampiri Ma, seperti kijang dikejar harimau. Ia memasuki rumah tanpa menutup pintu kembali. Terburu-buru melepas alas kaki. Bahkan, gadis kecil itu lupa melepas mantel, dan membiarkan serpihan salju memenuhinya, terjatuh ke lantai kayu dan mencair.

Emily memasuki dapur yang hangat.

"Em?" Ma menyambut anak perempuannya dengan bingung. "Ada apa, Sayang?"

"Al ... Alice ..." Dengan tergeragap, Emily berkata sambil menggigil.

"Ada apa dengan Alice? Ceritakan pada Ma, Emily!"

Emily menarik tangan Ma, membawanya ke bukit kecil. Dari atas, mereka bisa melihat seorang gadis kecil duduk bersimpuh di dekat batu. Sedang di kejauhan, terlihat kereta luncur menabrak pohon besar.

"Alice!" Ma lekas menuruni bukit, menghampiri anak perempuan tanpa topi musim dingin itu.

Gadis kecil berkepang dua itu meringis kesakitan.

"Ya ampun! Di bagian mana kau merasa sakit, Alice?"

"Pergelangan kakiku sakit sekali, Ma ..." Alice terisak, dan menggigil kedinginan. Emily menggigit kuku, meraih topi kembarannya yang tergeletak di tanah. Kemudian ia mengambil kereta luncur mereka.

Tak butuh beberapa menit, mereka sudah nyaman di tempat tidur. Ma memberikan segelas susu hangat dan kue jahe. Kemudian menanyakan apa yang terjadi, setelah mengobati kaki Alice yang terkilir.

Emily menggigit bibir. Ia tahu setelah ini Ma akan memarahinya karena dialah penyebab semua ini.

Alice memandang wajah kakak kembarnya yang ketakutan yang berkata, "tadi kami bermain seluncur."

"Lalu?"

"Dan ini hanya kecelakaan," ujar Alice pelan.

Em menatap wajah Alice. Lalu menayadari bahwa gadis kecil itu harus mengaku.

Emily tertunduk. "Maafkan aku Ma. Ini kesalahanku. Aku mendorong kereta luncur Alice dengan kencang. Padahal Alice belum siap meluncur," ucapnya. "Aku tak bermaksud membuatnya seperti ini. Aku lupa ada batu yang lumayan besar. Dia nyaris menabrak batu. Untung saja keretanya melenceng ke arah kanan, dan Alice terjatuh, tapi kereta yang masih barunya rusak karena terus melaju menabrak pohon besar." Emily menatap Ma dengan perasaan bersalah. Kalimat itu diakhiri dengan desahan, mengingat bagian depan benda yang selama ini diinginkannya.

Yah, Pa pasti bisa memperbaiki kereta luncur mereka.

"Ini bukan tentang kereta luncur baru, Em. Tapi ini tentang keselamatan adik kembarmu! Coba bayangkan jika Alice menabrak batu itu!" Ma menggeleng.

"Emily Corrales! Minta maaf kepada Alice, atau kau tak akan boleh bermain seharian besok!" Ma berpikir, ini hukuman paling ampuh untuk gadis kecilnya yang jahil. Ia menatap mereka yang saling menjabat tangan dan berpelukan.

"Maafkan aku Alice."

"Ya, aku juga."

Kemudian, mereka menuju ke ruang keluarga untuk waktu minum teh. Tapi teh kali itu berbeda. Seperti ada rasa lain.

Ya, jahe! Rupanya Ma membuat teh jahe. Rasanya sungguh nikmat di sertai kue jahe yang masih sepiring penuh, membuat perut hangat. Mereka menikmati manisan plum yang dipetik Emily dan Alice di musim gugur juga setoples manisan apel. Tapi tak boleh banyak-banyak karena gula akan merusak gigi mereka.

***

Malam itu, setelah kejadian sore hari, Emily membaringkan tubuh di ranjang, setelah mencuci muka dan menaruh botol berisi air panas di sekitar kaki. Angin melolong di luar rumah, dan badai salju terjadi sekali lagi. Ia melirik Alice yang tengah menarik selimut sampai leher. Dan James yang berlari memasuki kamar loteng, melompat ke tempat tidur sebelahnya yang mungil.

Ma menghampiri mereka bertiga, untuk membacakan dongeng seperti biasanya. Kali ini menyedihkan. Tentang seorang gadis kecil penjual korek api yang berkeliling di tengah musim dingin dengan kelaparan.

"Kacian ya Ma," James berkata muram, setelah Ma menutup sampul buku. .

"Aku tak ingin jadi anak yang malang itu!" ucap Alice ikut berkaca-kaca.

"Bisa-bisanya ya punya kisah tragis seperti itu ..." Em menyahut, "dan aku hanya ingin menjadi diriku sendiri."

Setelah itu, Ma mengecup kening, dan mengucapkan selamat tidur. Emily bersyukur masih punya keluarga, terutama ibu yang sangat baik seperti Ma.

Malam itu, ia tersenyum, mendengarkan badai yang melolong. Ia heran, kenapa angin selalu mengamuk pada malam musim dingin. Dan membayangkan seluruh kisah menyenangkan sesaat sebelum terlelap. Ia belum tidur juga saat mendengar senandung Ma yang sedang membuat adonan roti di bawah.

Ah, hari yang indah, dan gadis kecil bermata hazel itu bahagia telah dilahirkan, memandang dunia yang menyimpan sejuta keindahan.

***

-To be continued-

(Bab 3 : Rencana Ma)

Adventure of Emily dan Alice-Mengarungi Samudera-Where stories live. Discover now