Prologue (Hindu-Budha)

369 49 9
                                    


Terkadang, Kutai merasa kalau 'keluarga'nya ini terkumpul dengan cara yang aneh, kalau bukan tidak biasa. Sebagian besaar dari mereka tidak bertemu dengan cara yang baik-baik, kecuali Kutai dan Tarumanegara, yang secara kebetulan bertemu di pesisir pantai jawa, dua pasang manik jelaga bersibobok dan keduanya sadar kalau ada yang lain yang sama seperti mereka, para personifikasi kerajaan. Pembicaraan pertama terasa sangat canggung, terutama karena Tarumanegara ternyata adalah seseorang yang luar biasa terus terang, dan Kutai masihlah pemuda yang cukup sensitif dan naif. Tarumanegara mendebat kalau sampai sekarang pun Kutai masih naif; tapi itu cerita untuk di lain waktu.

(Tapi di tengah hembusan angin, burung camar yang sibuk menari dan desir ombak di depan sana, keduanya sama-sama mengerti kalau mereka sudah pernah mati dan runtuh, sepaiannya hilang terbawa angin dan kini hanya tertinggal nama. Kemudian keduanya menjadi teman baik; waktu berlalu dan Kutai menganggap Tarumanegara sebagai adiknya sendiri, dan Taruma sama sekali tidak keberatan dengan itu.)

Kutai dan Tarumanegara bertemu setelah mereka runtuh, jadi tidak ada peperangan dan pertumpahan darah di antara mereka. Berbeda dengan yang lainnya. Sebut saja, Sriwijaya dan Majapahit, mereka tidak bertemu dengan cara yang mulus; Majapahit menjalankan invasi ke utara, berkali-kali, (itu menyakitkan, Sriwijaya mengernyit tiap mengingatnya) hingga akhirnya Sriwijaya runtuh dan Majapahit mengambil wilayahnya.

(Sriwijaya berpikir seorang personifikasi seperti dia mungkin akan segera menghilang, karena serpihannya telah hilang dan ia tidak meninggalkan apapun, bahkan bayangan sekalipun. Lalu maniknya bertemu dengan sepasang manik lain yang terlihat luar biasa teduh, penuh pengertian, dan Sriwijaya menyerah pada rasa sakit di sekujur tubuhnya.)

Kutai yang mengetahui hal ini bergerak cepat, membawa sang personifikasi kerajaan maritim dan mengobatinya sampai pulih. 'Kenapa kau membantuku?' Sriwijaya berkata, angkuh, sisa-sisa arogansi kekuasannya belum luntur sama sekali. Kutai tidak menjawab, ia justru tersenyum dan menepuk puncak kepala Sriwijaya perlahan, penuh kasih sayang, dan saat Kutai menariknya ke dalam sebuah pelukan, tangis Sriwijaya pecah. Tiba-tiba, ia bukanlah Sriwijaya, personifikasi kerajaan maritim yang dipaksa runtuh dan digerogoti musuh dari kekuasannya, tetapi hanyalah seorang pemuda berpenampilan delapan belas tahun yang melihat dan membendung terlalu banyak hal; ini adalah pertama kalinya ia melepaskan.

(Keruntuhan terasa sangat pahit dan menyakitkan, Sriwijaya baru mengerti, seperti bagaimana Kutai dan Tarumanegara mengerti. Lalu Sriwijaya diajarkan soal kerendahan dan keikhlasan untuk melepaskan; bahwa ia memiliki dua orang kakak dan tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan, bersenang-senanglah.)

Singosari dan Kediri memiliki cerita yang lebih menyakitkan, mungkin. Tarumanegara ingat saat dimana Singosari tetap angkuh tidak mau melepaskan atau pun mengakui Majapahit sebagai suatu eksistensi yang nyata. Bahkan ketika Kutai selesai mengobati luka-lukanya akibat keruntuhan, binarnya masih menunjukkan kebencian yang amat sangat untuk membalas dendam; Singosari tidak mau diajarkan untuk menyerah. Majapahit menusuknya dari belakang dan Singosari tidak akan pernah bisa menerimanya. Sudah sekian lama sejak Singosari runtuh tetapi kebencian masih bersinar di dalam maniknya. Namun, Tarumanegara pun begitu Kalau ia harus memukul 'adik'nya untuk kembali ke dunia nyata, maka memukul dengan keras adalah apa yang akan ia lakukan. Sekeras apapun, sebanyak apapun, asalkan ia kembali pada dunia nyata pada akhirnya, Tarumanegara tidak keberatan. Toh, kemampuan bela dirinya belum berkurang sama sekali.

(Kutai ingat bagaimana Tarumanegara meminta Kutai untuk mengizinkannya 'mengajari' Singosari, berdua saja. Dan setelah ia memberi izin, beberapa jam berlalu dengan suara gebukan, Singosari dan Tarumanegara kembali muncul dengan beberapa luka lebam di wajah Tarumanegara dan lebam-lebam di sekujur tubuh Singosari. Tapi tatapan Singosari yang berubah menandakan kalau Tarumanegara berhasil meyakinkannya dan Kutai hanya meringis melihatnya. 'Habis jatuh ke jurang mana?' Sriwijaya berkata, dan Singosari harus ditahan agar tidak mengamuk lebih jauh. Singosari tidak mau mengaku tapi ia sudah menganggap mereka semua keluarga; bahkan sejak awal.)

Lalu ada Majapahit, yang hancur karena dirinya sendiri; perang saudara berkepanjangan membuatnya hampir gila dan ia berpikir apakah ini yang disebut karma setelah sekian lama memperluas kekuasaan dan memandikan senjatanya dengan darah. Ini bodoh, ia pikir. Kepalanya menjadi sakit dan sakit seiring berjalannya waktu hingga pada suatu titik dimana ia hanya duduk bersimpuh, sekelilingnya runtuh dan ia bertanya kapankah dewa kematian menjemput.

(Lalu tawanya yang hambar dan kosong terdengar saat melihat Sriwijaya, berdiri menjulang didepannya dengan senyuman asimetris seolah mengejek, 'hei, apa kabar, bagaimana rasanya runtuh?' Tapi bukan itu yang ia dengar. Ia justru mendengar langkah kaki yang mendekat dan maniknya bertemu dengan manik teduh sayu pengertian dalam dan Majapahit terdiam sejenak.)

Kutai tersenyum sedih saat melihat personifikasi dari Majapahit itu terlihat luar biasa kacau. Kehancuran dari dalam memang selalu terasa lebih menyakitkan dari luar, Kutai tidak menyangka kalau akan ada hari dimana salah satu dari 'adik'nya mengalami hal seperti ini. Kutai membantunya berdiri, perlahan, tubuhnya berguncang dan ekspresinya kosong.

(Majapahit merasakan kehangatan di sekujur tubuhnya dan air matanya mengalir, rasa sakit menggigit hingga masuk ke tulang dan 'ssh, kerja bagus, tugasmu selesai, beristirahatlah.' Sebuah tepukan di kepala dan Majapahit tertidur; saat ia terbangun, ia mendapat keluarga yang baru.)

Kalingga dan Kediri ditemukan di tengah peradaban islam yang berkecamuk. Kalingga gadis yang kuat, sudah lama semenjak ia runtuh tapi gadis itu bisa bertahan sendirian, walau akhirnya menyerah juga saat Tarumanegara mengelus rambutnya dan berkata selamat datang, ini rumahmu. Kediri datang dengan penuh luka, bersama Singosari yang mengalihkan pandangannya seolah tidak melihat. Tidak banyak yang tahu bagaimana Kediri merasa kesal melihat Singosari, penyebab keruntuhannya itu, atau bagaimana Singasari merasa bersalah dibalik topeng ekspresi tidak pedulinya. 

Tarumanegara beranjak untuk 'mengajari' Singasari sementara Kutai mengobati luka Kediri. Pemuda yang lebih tua itu sempat bingung, di depannya seorang pemuda mungil berparas manis tetapi kedua maniknya terlihat jernih sekilas. 'Terima kasih,' katanya, pengobatan selesai dan Kediri tersenyum padanya. 'Tidak perlu membendung semuanya sendiri,' Kutai tersenyum, pengertian, mengacak-acak rambut si personifikasi Kediri pelan. 'Terima kasih lagi,' jawabnya, 'tapi aku baik-baik saja.' Setitik air mata di sudut pelupuk mata dan saat maniknya bertemu dengan milik Kutai, ia sadar bahwa ia telah menemukan rumah yang baru. Kediri runtuh sudah sejak lama dan ia berjalan menapaki bumi seorang diri; mengulas senyum dan menjadi kompas bagi sisa-sisa rakyatnya selama generasi berlalu menyusuri waktu, dan ini adalah pertama kalinya ia merasakan hembusan napas lega karena akhirnya, ia bisa beristirahat.

Ya, itu masa lalu.

"Sri, bisa bernapas?"

Pemuda itu melempar tatapan tidak senang pada si 'kakak,' menahan batuk yang mendesak keluar dari mulutnya, "......Maja, nyumpahin?"

"NGGAK GITU MAKSUDNYA--"

Singosari mendengus, "Heh, mati juga ga ada yang peduli, kal--ADUDUDUH IYA MAAF!"

"Kediri, kita keluar aja yuk."

"Tapi mbak Lingga--ah, kak Kutai? Kok melamun?"

Tapi toh semuanya sudah berakhir. Kini hanya ada dia dan keluarganya. Dan tawa yang mengisi hari-hari mereka.

MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang