Daily Life [Hindu-Buddha Part 2]

461 49 25
                                    


"Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera."

Kata Kediri, selesai membaca sebuah laman dari buku sejarah untuk SMA di tangannya, lalu menatap si personifikasi kerajaan Sriwijaya, yang leha-leha boboan di atas sofa sambil makan keripik singkong. Si 'bungsu' menunggu jawaban, atau komentar. Ini hal yang biasa bagi keluarga mereka, nostalgia namanya. Mereka akan berkumpul bersama di ruang keluarga. Masing-masing dari mereka akan membacakan sejarah yang lain, biar tahu apa pikiran manusia dan sejauh apa mereka sudah belajar. Sekalian biar nggak lupa masa lalu dan jadi lebih semangat hidup, kata Kutai. Sayangnya, Kutai sedang tidak ada.

"Males." Sriwijaya lalu menjawab, setelah membalas lirikan si bungsu, simpel. Beberapa detik hening sebelum melanjutkan, "Aku nggak suka pamer atau jumawa ke seluruh dunia, kayak si anu,"

'Anu' (n) kata ganti untuk semua hal, kamus besar bahasa Sri. Si pemuda melirik pemuda yang lain di sofa seberangnya, Majapahit, yang lalu merasa tidak nyaman dan berdeham.

"....Kok Sri jahat sih," Majapahit, merajuk, "Tapi Sri, kamu 'kan yang nyuruh buat Candi Borobudur. Kamu tuh sampai nggak  bisa tidur dua hari karena kesenengan karyamu jadi tujuh keajaiban duni--"

Sriwijaya melempar keripik singkong di tangannya ke Majapahit--yang dihindari dengan pekikan horror. Merasa akan ada pertarungan sengit antara dua personifikasi paling kuat di antara mereka, Kediri memutuskan untuk melanjutkan.

"Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda."

"Ih bandar." Singosari, nyeletuk dengan tidak tahu diri, mengundang tatapan tajam dari yang merasa disebut. Singosari membalasnya dengan tersenyum mengejek, "bandar narkoba ya, jay?"

Jay (n), kependekan dari Jijay alias bahas gaul dari Jijik, kamus besar bahasa modern Sing.

Sriwijaya menatap Singosari sengit. Ini sih, jelas Singosari ngajak berantem namanya.

"Yang tujuh turunan tawuran mulu diem aja."

OOOOOOOOOOHHHHHHH! --adalah pekikan Kalingga dan Majapahit, dalam hati, keduanya mengambil cola dan popcorn entah darimana. Lalu menggeret Kediri yang masih bengong agar bisa ngerumpi bareng sambil menikmati pertandingan pencaksilat yang akan segera terjadi. Semoga bisa sampai sepuluh menit, sebelum Mas Taruma datang dan mereka berdua mati, pikir Kalingga dan Majapahit kompak.

"Udah jual berapa ton narkobanya?"

"Udah kelar tawuran?"

"Udah sadar?"

"Udah punya berapa istri, jay?"

"Udah punya berapa makam, ngos?"

"Cuma satu," Singosari tersenyum jumawa, dagunya diangkat bangga, "punyamu doang."

Sriwijaya lalu bangkit dari sofa, dan tanpa aba-aba, membanting Singosari ke lantai dan membuat Majapahit dan Kediri melotot horror. Kediri karena khawatir, Majapahit karena mengingat pengalaman pribadinya yang kena banting mirip seperti itu oleh Sriwijaya. Kalingga di sisi lain, gadis itu bersorak girang.

Singosari membalas cepat, tangannya menumpu tubuhnya yang berputar dan menendang kaki Sriwijaya hingga yang lebih tinggi terjatuh--yep, pertarungan silat pun, seperti yang Majapahit dan Kalingga prediksi, dimulai.

Keduanya masih ngambek bahkan setelah dibanting dan digantung terbalik di pohon nangka belakang rumah oleh Tarumanegara. Masih cemberut (Singosari) dan mengernyit (Sriwijaya) kesal saat digebuk bagaikan kasur oleh pemuda personifikasi kerajaan tertua kedua setelah Kutai itu.

Sungguh, hari-hari yang (cukup) biasa.

.

.

"Kak, ada surat,"

Gadis itu memberikan beberapa surat yang diberikan tukang pos padanya, kepada Tarumanegara. Pemuda yang duduk di kursi teras itu menerima surat dari si adik, kalem, lalu memisahkan satu dan membiarkan yang lain di atas meja. Kalingga lalu duduk di samping kakaknya, kepalanya miring mencoba membaca surat di tangan si kakak, penasaran.

Tarumanegara membuka surat di tangannya. Maniknya bergulir membaca tulisan di atas kertas tersebut. Beberapa menit berlalu dan surat itu ia taruh di atas meja. Diambilnya surat yang lain, membuat Kalingga sang adik mengernyit bingung. Ha, emang boleh ya langsung buka-buka begitu? Kalau ternyata surat itu punya Bang Kutai atau Sriwijaya gimana coba?

Penasaran, Kalingga mengambil salah satu surat yang sudah dibaca dibaca si kakak-

-dan ia bengong melihat bahasa di surat tersebut.

"Bang, kok bahasanya begini sih--" Keluhnya, bingung.

"Itu mandarin," kata si abang, masih kalem.

"Mandarin?" Kalingga makin nggak paham, "emang abang punya temen dari Cina? Ini semua surat buat abang?"

"Iya, dari Dinasti Sui sama Tang. Sebenernya ini untuk Kutai juga, sih."

Kalingga diam. Ternyata si abang jones-jones dan wajah datar begini juga terkenal di mancanegara.

"Lingga, panggilin Sri sana. Yang ini buat dia soalnya."

Oh? Buat adiknya yang senewen tiap hari juga ada ternyata. Kalingga mengumpat pelan, lalu masuk ke dalam dengan wajah masam. Dia juga mau kali punya relasi dari mancanegara. Huh.

.

.

.

.

Btw readers, maaf ya :"D
Saya bilang mau nulis dai pilihan itu, tapi terus saya nemu file ini and be like, ya udah yang ini upload aja dulu yak gitu. MAAFKAN! *sungkemin*

Bagi yang ga gerti referensinya:

1. Sriwijaya adalah kerajaan berbasis maritim, basis operasinya di pelabuhan, makanya dibilang bandar
2. SIngosari dan keris empu gandring yang terkutuk! *jengjeng* Sesama keturunan saling bunuh makanya Sri bilang tawuran tujuh turunan hahaha

3. Majapahit invasi sampai Myanmar untuk menyebarkan 'kearifan' Majapahit makanya dibilang narsis 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang