Bagian 3 - To Be Immortal

409 59 9
                                    

[Latar saat perang kemerdekaan, tahun 18-19an. Enjoy!]

.

Ada aroma bubuk mesiu disana, bercampur amis darah, suara bising orang berteriak dan senapan, personifikasi kerajaan Singasari itu merasakan ritme napasnya mulai kacau seiring dengan detik yang berlalu. Manik sewarna tinta miliknya melirik ke belakang, menembus pepohonan, menangkap beberapa tentara Belanda mengacungkan senjatanya ke hutan. Fokusnya berpindah dan ia menangkap 'saudara'nya, personifikasi kerajaan Kediri, bergerak tanpa suara di dedahanan pohon, melempar sebuah pisau yang langsung melubangi kepala seorang prajurit asing di depan.

Bergerak sambil ditutupi semak, Singasari bergerak maju, melompat menghindari tembakan yang ditujukan padanya, menebas satu orang prajurit dengan lihai. Tubuh tak bernyawa itu lalu ia gunakan untuk tameng dari tembakan lain yang menyusul. Waktu isi ulang senjata ia gunakan untuk bergerak maju, tubuhnya berputar untuk menebas dua prajurit berkulit putih sekaligus.

Saat ia menyadari bahwa satu prajurit menghilang, bagaimanapun, ia sudah terlambat. Dua netra jelaga itu membelalak saat menyadari bahwa satu prajurit itu mengarahkan senapannya pada seorang pria dewasa lain, sang kakak, personifikasi kerajaan Kutai. Mulut Singasari terbuka untuk menyuarakan peringatan, namun suara tembakan mendahuluinya dan ia melihat bagaimana tubuh Kutai terjatuh begitu saja ke atas tanah, darah menggenang di sekitar raga sang kakak.

Singasari menarik napas dalam-dalam. Mulutnya kembali terbuka—

"Kak Kutai Mati!"

—untuk menyuarakan kondisi saudaranya itu dengan lantang menggunakan Sansekerta.

"LAGI?!"

Dan mendapat balasan yang tak kalah lantang dari sisi sampingnya, Majapahit muncul dengan pedang dan noda darah di pipinya, mengernyit tidak percaya. Singasari mengangkat bahu acuh, gestur tangannya menunjuk mayat personifikasi kerajaan Kutai di atas tanah yang tidak jauh darinya, sebelum berlari menyerang lebih banyak prajurit musuh.

"Mas Taruma aku butuh penjelasan—" Di sisi lain, Sriwijaya mematahkan tangan seorang prajurit asing berseragam dan menusuk perutnya, "—abang kita kok begitu sih"

Tarumanegara, seorang pria berparas tampan dengan rambut panjang diikat kuda turun ke belakang, menembak seorang prajurit lain tumbang, sebelum melirik Sriwijaya dan menghela napas. "Apa boleh buat. Dia memang bodoh."

"Mbak Kalingga!" Kediri memanggil, tubuhnya memanjat menuruni pohon. Di sisi lain, seorang Wanita berambut panjang sepunggung mengangguk sebelum berlari menuju mayat Kutai, membawanya ke tempat yang lebih aman.

Semantara Kediri memeriksa luka di tubuh itu, Kalingga menembak prajurit yang mencoba mendekati tanpa gentar. Ia melempar lirikan pada si cenayang, bertanya diam-diam.

"Tembakan tepat ke jantung."

"Lagi—?!"

"........Gusti paringono....."

"Abang kita kok bego ya"

"Aku kayang deh kalau lusa nanti kak Kutai mati ditembak di jantung lagi"

Kadang mereka semua tidak paham kenapa seseorang yang menyatukan mereka dalam satu panji-panji untuk membela nusantara justru adalah orang yang terlihat paling bodoh di medan pertempuran.

(Kalau saja mereka tidak abadi; kalau saja tubuh mereka tidak bisa menyembuhkan diri sendiri dan membangkitkan mereka dari kematian dalam waktu dua puluh empat jam, tentunya mereka tidak akan sampai di titik sini, saat ini juga.

Mereka semua pernah mati setidaknya satu kali, kau tahu.)

MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang