Daily Life (Islam Kingdoms)

409 47 32
                                    




"Jangan main gaple terus," Samudra Pasai berkata kepada adik-adiknya yang mengaku ada di geng paling syariah dan paling kekinian, IslamSquad, beranggotakan Cirebon, Malaka, Aceh, dan Demak. Palembang? Palembang si gadis manis, bless her soul, Cuma senyam-senyum saja ketika keempat pemuda tidak tahu malu itu mengklaim Palembang sebagai manajer mereka. (Kadang Pasai Tidak mengerti kenapa adik-adik laki-lakinya yang kelahiran Jawa itu bisa sengklek begini) Biasanya Pasai akan langsung marah atau ngomel, tapi mereka sama keras kepalanya seperti ia, maka ia menghela napas halus, "main uno boleh deh."

"Poker deh banggg," Demak berkata, sarung yang melingkar di pundaknya disingkap ke belakang, berusaha negosiasi dengan si abang.

Pasai menghela napas (lagi), disusul pekikan lima remaja ababil saat ia merampas setumpuk kartu gaple di tengah karpet milik mereka, lalu membakar kartu-kartu itu dengan korek api.

"ABAANGGGGG," Malaka meraung, pilu.

"ABANG TEGAA," Pekik Demak, kopeah hitam di tangannya terabaikan.

"ITU KARTU BELOM LUNAS BAAAANGGG." Cirebon menyusul.

"AMPUN BANGGG," Aceh monang alias mao nangis melihat si abang sudah marah pake banget. Sementara Palembang elus-elus dada.

"Allah lebih tega sama kalian kalau kalian melanggar perintahnya. Minta ampun sana sama Allah."

Dan dengan itu Pasai pergi, meninggalkan lima adiknya yang merasa luar biasa berdosa.

(Backsound: Kalian semua suciiii aku penuh dosaaahh)

.

.

"Demak?" Samudra Pasai mengernyit halus saat melihat adiknya, Demak, sudah rapih dan wangi. Padahal matahari sudah terbenam dan biasanya saat jam segini Demak main gebuk sarung dengan saudara-saudaranya yang lain dalam geng Islam Squad, tapi sekarang ia justru terlihat mau pergi. Bahkan rambut hitamnya yang biasanya berantakan sudah rapih begitu. Pemuda yang didaulat sebagai kakak tertua itu melanjutkan, "Mau kemana kamu?"

Demak memperbaiki peci hitam yang ia kenakan sambil tersenyum ganteng, dadanya dibusungkan ke depan, "Mau jadi wali sepuluh, bang."

"Ooh," Pasai manggut, "Ya udah, tapi jangan pulang malem-malem ya."

'KOK ABANG PERCAYA AJA SIH?!?!??!?!?' Adalah pekikan batin Malaka dan kawan-kawan yang menguping dari ruang tamu.    

.

.

Suatu hari, pemuda personifikasi Republik Indonesia itu memberikan sebuah board-game kepada kakak-kakaknya (sebenernya kakek-kakek, sih, tapi yang bersangkutan nggak pernah mau ngaku tua so). Sebuah monopoli dengan nama-nama negara yang diganti dengan nama kerajaan lampau. Permintaan Demak tempo lalu.

"Nih gue beli elu nih," Demak berkata, uang mainan dia berikan pada Palembang, gadis yang tersenyum manis di ujung, kali ini berperan sebagai bank, kalem menerima uang yang diberikan dari si abang.

Cirebon manggut pada Demak, tampak khidmat, "Ya udah, tapi lo jangan bangun diskotik, perbanyak bangun masjid sama pesantren kalau bisa, gereja juga boleh, sama—"

"Cirebon."

"—sekolah jangan lupa, biar rakyat gue pinter-pinter, padepokan pencak silat juga boleh biar rakyat gue jago lawan si Portu-asu itu, mall juga boleh tapi jangan banyak-banyak—"

"Cirebon!"

"Naon?"

"Nggak bisa goblog ga ada tandanya."

Untung aja saudara, kalau tidak, Demak sudah melempar bogem mentahnya ke cengiran pemuda personifikasi Cirebon di depannya ini.

.

.

"BANGUN!" Aceh mendobrak pintu kamar saudara-saudaranya; pintu itu membanting tembok dengan suara retakan dan debuman yang keras namun anehnya, keempat pemuda yang ada di atas karpet itu tidak bangun sama sekali. Pemuda itu mendecak tidak senang. Halah, kebluk memang.

Tapi tentu saja, pemuda personifikasi Aceh itu tidak habis akal. Smabil nyengir, ia keluar kamar dan masuk ke kamar mandi. Saat ia keluar lagi, ada dua botol air di kedua tangannya.

"BANGUN! BANGUN! ADA API! RUMAH KITA KEBAKARAAAN!" Aceh menjerit, menyiram air di dalam botol di tangannya kemana-mana.

Cirebon, yang terciprat oleh air itu di mukanya, segera duduk, disusul oleh Malaka dan Demak. Bahkan Demak sudah berdiri, tengok kanan-kiri dengan wajah pucat yang membuat Aceh mati-matian menahan tawa.

"Dimana apinya jing?!" Demak bertanya, emosi, Aceh baru ingat kalau saudaranya yang itu punya trauma dengan api, "Kagak ada juga!"

Menghadapi tatapan membunuh dari ketika saudara laki-lakinya, Aceh tidak gentar. Ia justru memberikan tatapan seriusnya dan berkata, "Ada, di neraka. kalau kalian nggak sholat subuh sekarang. Dasar kafir kalian."

Spontan wajah Demak, Malaka, dan Cirebon memucat, sebelum ketiganya kompak melihat jam yang meggantung di dinding ruang tamu. Melihat jarum jam pendek menuju angka enam dan jarum jam panjang menuju angka dua belas, ketikanya kompak berlari keluar ke kamar mandi.

.

.

[ Yang ini Setting Jaman Penjajahan ]

"Jangan berantem sama Portugis melulu."

Pasai berkata, terkesan datar dan kalem, jari jemarinya lihai menotol herbal pada kapas, membersihkan luka-luka kotor dan berdarah  di tangan demak. Pekikan sakit dari Demak yang sesekali terdengar dari pemuda personifikasi Demak di depannya itu ia abaikan.

"Dia tukang monopoli, bang."

"Iya."

"Berasku semuanya dia ambil."

"Iya."

"Dia nggak adil."

"Iya."

"Rakyatku menderita karena dia."

"Iya."

"Terus dia ganteng, lagi. Kan ga adil banget. Masa ada orang seganteng dia. Aku juga mau seganteng itu bang. HATIKU SAKIT, SAKIT!"

Dan Demak menjerit kolosal saat si kakak menekan kapas berbalut ampas daun obat ke luka di dahinya.

.

.

.

.

A/N

Halo! Udah satu tahun dan saya baru update heheheheh maaf

btw saya bingung mau nulis yang mana duluan jadi saya ngasih pilihan aja lah ya. Pilihlah, readers tersayang:
1. Islam Squad The Prologue

2. Islam Kingdoms The Prologue

3. Pasai and Aceh

4. The Twins - Ternate dan Tidore

Pilihan dan dukungan kalian sangat saya apresiasi lho, terima kasih banyak semuanya!

MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang