10. Train to Kyoto

297 28 15
                                    

"Aika-chan, kau tidak apa-apa?" Dazai masih saja melambai-lambaikan tangannya didepan wajah Aika. Beberapa detik kemudian, akhirnya gadis itu kembali menuju alam sadarnya. Dia terdiam beberapa saat, kemudian tersenyum kepada Dazai. "Maaf, aku tadi melamun." Dia menoleh kelangit, yang sudah mulai berubah warna menjadi jingga. Lalu, dia melanjutkan perkataannya. "Senpai, ada tempat teakhir yang ingin kukunjungi, sebelum hari ini berakhir."

"Baiklah. Kemana?"

Aika kembali menoleh pada Dazai, dan memberikan senyuman yang biasa ia berikan. "Bianglala."

•••

"Tempat ini adalah tempat paling cocok, untuk melihat matahari terbenam. Yah, meskipun tidak seindah jika di pegunungan sih." Aika bersandar dikursinya. Dazai yang berada didepannya, hanya menatap Aika dengan biasa. "Tidak kusangka, kau menginginkan naik bianglala."

Seketika, Aika menjadi teringat ketika ia bermimpi (mungkin?) tentang hancurnya kota Yokohama. "Entahlah... Aku hanya ingin merasakan tempat yang tinggi. Bianglala-lah yang paling cocok untuk keinginanku ini." Bianglala yang Aika dan Dazai naiki, mulai berjalan naik secara perlahan-lahan.

Dazai menatap Aika dengan lekat. Aika balas menatapnya dengan tatapan risih. "Bisakah senpai berhenti menatapku seperti itu? Kalau boleh jujur, tatapanmu membuatku jijik."

"Aika-chan, kalimatmu membuatku tertusuk."

"Oh ya? Jadi sebaiknya, apakah kau mau aku tusuk menggunakan pisau asli? Ah, aku membawa pisau lipat loh."

"Aika-chan selalu begitu. Aku jadi susah memahami, perkataanmu. Sebuah ancaman kah, atau sebuah lelucon. Benar-benar sulit dipahami."

Aika membuang muka, kearah jendela. Bertepatan dengan melihat matahari yang mulai terbenam. "Teserahlah."

Dazai menyilangkan tangan dibelakang kepala, sambil berleha-leha. "Mou... Wanita itu memang sulit dipahami."

"Kalau begitu, tidak usah berusaha memahami wanita."

"Tapi, kalau mereka tidak dipahami oleh pria, nanti mereka malah akan marah."

Aika menoleh pada Dazai. "Apakah aku pernah marah, jika tidak dipahami olehmu?"

"Ehm... Entahlah. Sepertinya pernah... Mungkin?"

Aika menghela nafas. "Yah, kalau membahas siapa yang paling tidak peka, Atsushi-senpai lah juaranya."

Dazai tertawa. "Ahahahah! Kau benar! Atsushi-kun itu memang terlalu naif."

Aika kembali menoleh pada jendela. "Lihat, kita hampir mencapai puncak, dan matahari juga hampir tenggelam sepenuhnya."

Dazai ikutan menoleh pada jendela. "Kau benar. Menurutku, akan lebih indah jika melihat matahari terbenam di pantai. Langit bewarna jingga, burung camar berterbangan, dan pantulan sinar matahari akan semakin membuat kesannya lebih indah."

Aika melirik Dazai, dengan tatapan heran. "Bukannya kesannya akan menjadi romantisme?" Dazai menatap Aika, sambil terkekeh. Aika menyipitkan matanya, kemudian melanjutkan perkataannya. "Memangnya, apa yang diketahui oleh maniak bunuh diri sepertimu, mengenai romanisme?"

"Hmmm... Kau terlalu meremehkanku, Aika-chan. Kau sendiri, terlihat seperti tidak pernah peduli dengan romantisme bukan?"

"Kau yang terlalu meremehkanku. Begini-begini, aku pernah mencintai seseorang tau!"

"Oh ya??? Siapa?" Dazai menatap Aika, meremehkan.

"Yang jelas, manusia." Aika kembali menatap matahari terbenam. Kurang sekitar beberapa detik lagi, sampai mereka tepat berada dibagian paling atas bianglala.

Sun Flower in the DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang