[5] jujur dan pertemuan

12.3K 1K 21
                                    

Jika saja aku boleh memilih,
hatiku dengan cepat akan berteriak,
kamu.

Jika aku dilarang,
akan kulakukan banyak cara,
agar pilihan akhirku,
tetap kamu.

-tepat di seberangmu.

Nadine's POV

Kekagetanku ternyata tak bisa disembunyikan saat melihat pria ini. Seorang yang dulunya pecicilan ternyata tumbuh menjadi pria dewasa. Dan takdir memberiku kesempatan untuk bertemu dengannya disini. Tingginya sama denganku -sepengamatanku- dan tidak akan ada yang tau bahwa pria di depanku adalah sosok menyebalkan yang dulunya sering membuatku naik darah. Tidak akan ada yang curiga bahwa pria ini dulunya adalah seorang bocah gila dengan segala cara-cara ajaibnya untuk membuatku luluh. Karena sekarang, dia terlampau mengagumkan. Dalam balutan jas hitam dan kemeja putih yang tampak pas di badannya.

"Bener gue gak salah orang." Pria di depanku kembali bersuara. Kutatap ia yang kini berjongkok dan kembali berdiri dengan ponselku di tangannya.

Kugenggam erat tanganku sambil menatapnya ragu. Kugigit bibir karena perasaan takut yang dari awal menyerang. Aku membuang pandangan pada Reva yang kini meminta penjelasan. Aku berdehem, berusaha menghilangkan kegugupan.

"Apa kabar, Nad?" Aku kembali menatapnya, lalu menunduk. Aku benar-benar hanya ingin keluar dari sini dan segera berpisah dengan pria di depanku. "Udah lama banget, Nad. Dan gue sama sekali gatau lo pergi kemana. Lo tinggal di Singapore tujuh tahun ini?"

Untuk kesekian kalinya aku membuang muka, menatap Reva meminta pertolongan.

"Maaf sebelumnya, tapi perkenalkan nama saya Reva. Saya asisten pribadinya mbak Nadine."

Pria di depanku tampak bingung, tapi sepertinya dia tetap berusaha agar terlihat biasa. Dibalasnya uluran tangan Reva dan tampak tersenyum. "Saya Leo, temennya Nadine." Dan aku hanya dapat menghela napas.

"Sorry." Aku -dengan tangan bergetar- kembali merebut ponselku. "Ayo, Rev." Aku memilih untuk segera keluar, meninggalkan Reva dan pria itu di belakangku.

Tidak. Aku belum siap.

Oh Tuhan.

Dan aku hanya dapat menghela napas kasar. Ayolah, Nad. Itu resikonya. Hadepin, Nad. Otakku berkali-kali menekankan kalimat tersebut.

***

"Gila panas banget. Angin sih, tapi tetep aja." Aku terus saja menggerutu. Setelah dari hotel, kami memilih untuk makan di luar karena Reva berulang kali memaksaku. Dan inilah yang di dapat, panas berangin.

"Kangen gak sih, mbak?" Aku langsung saja berhenti mengibaskan tangan di sekitar leher ketika Reva bertanya. "Orang-orangnya, udaranya, budayanya, makanannya, semuanya."

Aku mengerjapkan mata, kutatap sekeliling. "Hm." Aku benar-benar merindukan segalanya. Makan di tepi pantai sambil menatap ramainya orang berlalu lalang. Aku menyukainya. Terlebih apabila sunset turut menemani. Aku memejamkan mata beberapa saat, menghirup udara disini sebanyak mungkin.

Aku menatap berbagai macam makanan di depanku, sambal yang sering membuatku berkeringat ketika memakannya tertata rapih di samping es teh manis pesanan kami.

"Aku pikir ni kaus tipis gabakalan pernah kepake mbak, eh taunya." Aku terkekeh menatap Reva yang sudah mulai makan.

"Sama. Di rumah nanti kayaknya semua mantel, beanie, sarung tangan, mesti disimpen. Gabakalan kepake juga disini." Aku membuka ponsel sebentar berniat mengecek sesuatu. "Rev, besok abis meeting kita langsung tancap ke Ubud ya."

Our WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang