Tik tok, tik tok, tik tok.
Lihat! Sudah lama sekali ternyata.•Oxford Street, sambil menghela napas.•
*
Nadine's POV
"Gimana obatnya?" Aku menatap pria di depanku malas, memilih menorehkan pensil pada sketchbook di pangkuanku. "Nadine." Panggilan lembutnya membuatku menghela napas panjang.
"Aku udah gak butuh itu lagi." Ujarku pelan. Saat melihat pria itu ingin membuka suara, aku dengan cepat langsung memotongnya. "Aku udah teratur sekarang. Olahraga gak cuman kalau inget, makan udah tepat waktu, makanannya juga yang selalu kamu ingetin. Salmon, tuna, daging kalkun juga aku coba. Buat makan siang nasi putihnya udah aku ganti sama beras merah. Brokoli yang aku benci banget juga aku makan. Coklat hitam juga aku coba. Terus setiap jadwal minum teh, aku juga minumnya teh hijau. Gausah khawatir lagi." Pria itu tampak menghela napas panjang lalu memperlihatkan senyumnya padaku.
"Pertahanin itu terus. Kalau kamu ada apa-apa, langsung cerita. Jangan pernah disimpen sendiri dalam hati. Aku peduli sama kamu." Ujarnya lagi, aku hanya menanggapinya dengan mengangguk pelan. Jangankan bercerita masalahku dengannya, memberi tahukan pada Sean saja aku malas.
Tujuh tahun sudah aku disini, tinggal dirumah papa yang dulu, bersama Sean. Juga ada perempuan bernama Reva. Reva adalah asistenku, dia membantuku dalam menyusun segala jadwal agar aku tidak terlalu kerepotan. Itu ide Sean, karena Sean tidak ingin aku terlalu sibuk dan lupa dengan kesehatan.
Saat Sean menawarkan asisten, aku langsung meminta orang Indonesia. Sean menyanggupinya, beruntung Reva menerima. Kami tinggal bertiga dan sudah benar-benar seperti saudara. Aku bersyukur bahwa perempuan yang lebih muda dua tahun dariku tersebut bersifat sangat professional. Selain rekan kerja, Reva juga merangkap sebagai teman.
Selain itu, sebenarnya aku sudah lama meminta pada Sean untuk pindah, namun Sean menolak keras. Sean mengajarkanku untuk tidak menghindari masalah. Keinginanku pindah karena meninggalnya Mrs. Anna. Kepergiannya menghantamku keras, aku tidak bisa menerima itu. Mrs. Anna sudah seperti nenek untukku. Dia mengajarkanku banyak hal, terlebih memasak. Disamping itu, aku dan Reva lebih sering tinggal dan menghabiskan waktu bersama Mrs. Anna dirumahnya.
Selama ini, hubunganku dengan keluarga di Indonesia masih terbilang baik, entahlah. Walaupun aku hanya memberi kabar pada mama dan papa. Itu sudah cukup menurutku. Pun aku memilih untuk memutuskan kontak dengan Aqila.
Tidak hanya Aqila, teman-teman semasa SMA hanya Kiya yang aku biarkan mengetahui bagaimana aku sekarang. Semua sosial media milikku dulu, aku memilih menghapusnya. Membuat sosial media baru dengan nama lain. Temanku pada sebuah aplikasi chat hanya terdiri dari mama, papa, Sean, Kiya, lelaki cerewet tadi yang namanya Satria, dan beberapa kenalanku disini.
Aku memilih menutup diri dengan orang-orang dulu. Rasanya kembali sakit mengingat bahwa aku hanya dianggap robot yang sepertinya tidak memiliki emosi serta perasaan. Jika mereka lupa, aku adalah manusia.
Disini, aku berusaha bersikap senormal mungkin. Dekat dengan siapapun, bertegur sapa dengan siapapun, dan mencoba membuka diri. Tapi ternyata sulit, semuanya membutuhkan usaha keras. Aku tidak semudah itu dekat dengan orang-orang. Alhasil, aku hanya berinteraksi sekenanya lalu sudah. Masa lalu ternyata masih berusaha menjajahku, membuatku takut memulai semuanya dari awal. Puncaknya saat kepergian Mrs. Anna. Saat itu, kondisiku memang berada di titik terbawah. Hingga Sean meminta Satria untuk menanganiku. Juga hanya papa dan mama yang aku biarkan untuk tau bagaimana keadaanku. Selebihnya? Tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Way
Romantizm[SEQUEL of BETWEEN US] Lagi, ini tentang mereka. Tentang mereka dengan berbagai kisah perjalanannya. Tentang mereka dan pilihan hidupnya. Takdir ternyata kembali memilih mereka untuk menyecap kisah demi kisah. Takdir kembali membuatkan mereka sebua...