raggle-taggle II

2.9K 249 36
                                    

3rd Person POV


          “Terimakasih atas hukumannya, Pak. Saya harap saya dapat menjadi pribadi lebih baik lagi untuk kedepannya.”

          Pak Bambang tersenyum menang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Bella melangkahkan kaki menuju bangku miliknya. Pojok sebelah utara barisan paling belakang, tanpa teman sebangku tentunya.

          Oh tunggu, jangan merasa kasihan. Bella memang bukan tipe anak yang suka menggerombol layaknya domba. Itu nggak Bella banget. Seekor singa selalu berjalan sendirian, bukan?

🐾

          Bel sudah berbunyi semenjak 30 menit yang lalu, tapi perempuan itu masih terlihat enggan untuk beranjak. Oh ayolah, kelasnya berada di lantai 3. Ia terlalu malas untuk menuruni tangga.

          Matanya menjelajah menatap kendaraan yang berlalu lalang di depan sekolahnya. Dia menghembuskan nafasnya kasar lalu beranjak dari duduknya.

          Mulutnya tidak berhenti mengunyah permen karet yang sudah terasa pahit. Ia bersandar sambil mengetukkan kakinya ke lantai halte. Saat bus yang ia tunggu sudah datang, buru-buru ia meludahkan permennya dan masuk kedalam bus.

          Ia membuka tasnya dan mengambil sebatang rokok yang ia sembunyikan di pencil case-nya. Setelah menyalakan rokoknya, dengan santai ia mengisap gulungan tembakau itu dan menghembuskan perlahan.

          Beberapa pasang mata melihatnya dengan tatapan ngeri seakan-akan mereka menatap seorang narapidana. Bagaimana tidak? Bella sedang merokok didalam bus dengan masih menggunakan seragam SMA-nya. Ia menatap tajam satu per satu orang yang terlihat mencibirnya.

          “Kenapa?” desisnya dengan nada menantang.

          Setelah 15 menit berada di dalam bus, ia pun turun dan berjalan menuju rumahnya. Rumah dengan pagar tinggi berwarna hitam itu terlihat sepi. Dengan kasar ia membuka gerbang dan masuk ke dalam tempat yang ia anggap sebagai neraka.

          Diana tersenyum saat melihat Bella, “Kakak laper nggak? Mau mamah masakin makanan?”

          “Bisa nggak berhenti pura-pura peduliin aku?” ujar Bella dengan nada dingin. Diana hanya tersenyum tipis menanggapi putrinya.

          Bella menutup pintu kamarnya dengan kasar dan menguncinya. Ia menjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur. Pikirannya menerawang menatap langit-langit kamarnya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah senyum terukir di wajahnya saat menatap layar ponsel yang menunjukan nama seseorang.

          “Halo, Je?” sapa seseorang dari telepon.

          “HOW’S LIFE?” pekik Bella saking antusiasnya. Terdengar kekehan dari seberang sana.

          Its so-so, gimana tiket Rex Orange?”

          Bella mendengus, “Ini lagi ngejek yah? Aku sampai nggak tidur lho kak, tetep aja nggak dapet.”

          “Kalo aku bilang aku dapet 1 tiket kamu mau dateng?” ujar laki-laki itu. Ia pun menambahkan, “Soalnya aku nggak bisa dateng, buat kamu aja kali ya?”

          Bella membelalakkan matanya, tidak percaya dengan apa yang kakaknya ucapkan berusan. Ia mencoba mencubit lengannya, dan... sakit. “KAK REALLY?! NGGAK LUCU YA KALO CUMA PRANK!”

          “Serius, concert-nya lusa, berarti kamu ke sini besok. Bisa kan?”

          Bella mengangguk-angguk, masa bodoh kakaknya tidak bisa melihat anggukannya. “APA YANG GABISA BUAT REX ORANGE!? I'LL BOOK THE FLIGHT TICKET TONIGHT!”

          Setelah berbincang beberapa saat, Bella pun memutus panggilannya. Ia segera memesan tiket menuju Vancouver, Canada. Tempat dimana konser Rex Orange County akan berlangsung. Ia tidak bisa menahan senyumannya. Masih merasa setengah percaya atas apa yang kakaknya katakan barusan.

          Sementara di seberang sana, Satrya—kakak sepupu Bella yang barusan menelfon— sedang duduk bersama seorang laki-laki. Ia tersenyum lebar seakan baru saja memenangkan lotre. “Aman kalau sama aku bang.”

🐾

author nga ngerokok kok guys😥

raggle-taggleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang