3rd Person POV
Sebuah handuk mendarat di wajah Bella yang masih sibuk berjelajah di mimpinya. Sial, padahal sebentar lagi ia menemukan jalan keluar dari goa itu.
Tanpa memedulikan getaran hebat yang berasal dari kasur, Bella mencoba masuk kembali ke dalam mimpinya. Dengan memegang tongkat ia melawan satu per satu kelelawar yang terbang ke arahnya.
“Kelelawar sialan,” gumam Bella. Satrya memutar bola matanya melihat tingkah Bella.
“Bangun rubah, anak cewe kok jam sembilan masih sibuk ngurusin kelelawar,” cibir Satrya.
Bella hanya menggumam tidak jelas. Satrya yang kesal pun langsung menarik tangan Bella. Bella yang terkejut pun membuka matanya, merasa bingung mengapa ia terduduk sekarang.
“Saha eta!” teriak Satrya sambil meletakkan telapak tangannya pada dahi adiknya. Bella berdecak kesal dan mencubit pinggang kakaknya. Lalu ia melangkah pergi tanpa memedulikan jeritan kesakitan kakaknya. Mampus dah lo.
Butuh sepuluh menit bagi Bella untuk membilas seluruh tubuhnya. Waktu yang cukup singkat untuk mandi bagi remaja seusianya. Jangan merasa heran, setiap ia berada di rumah Gisel akan berteriak seperti orang kesetanan jika ia berlama-lama menghabiskan waktu di kamar mandi—tentu saja saat mereka bersiap menuju ke sekolah. Gisel akan menghabiskan waktu selama 30 menit untuk mandi setiap paginya. Entah apa yang dilakukan gadis itu disana.
Melihat Satrya sedang mengunyah roti, Bella langsung mendekat dan menyambar roti yang kakaknya genggam. Sambil memasang cengiran andalannya Bella memasukkan roti yang tinggal setengah itu secara utuh ke dalam mulutnya. Satrya menggeram dan menjitak adiknya.
“Tadi malam kamu pulang sama siapa?”
Pertanyaan Satrya terasa sangat asing di telinga Bella, “Tumben banget peduli tentang aku pulang sama siapa?”
‘Kalau Kajo nggak di sana juga aku nggak bakal ribet-ribet nanyain itu,’ batin Satrya. “Tinggal jawab apa susahnya sih? Kamu tuh dari pagi nantang aku banget kayanya.”
Bella mengangkat salah satu alisnya, “Yang cari ribut siapa sih sebenernya?”
“Fine, sorry,” ucap Satrya. “Jadi, kamu pulang sama siapa?”
“Sama anak Indo,” ceteluk Bella. Sudut bibirnya terangkat, memberi tanda-tanda senyuman.
“Dilihat dari muka kamu sekarang, kayanya doi nggak zonk yah?”
Bella tersenyum lebar sambil menggelengkan kepalanya. Kakaknya memang sukar ditebak, tapi Satrya adalah orang yang paling mengenal Bella.
Terkadang saat Bella sedang termenung, entah mengapa wajah kakaknya selalu muncul di benaknya. Dan tentu saja saat itu juga Bella merasa bersyukur karena Tuhan memberikan lelaki sebaik Satrya untuk menjaganya. Daddy who?
“Satrya,”
Satrya mendongak sambil mengangkat salah satu alisnya bermaksud meminta penjelasan. Namun Bella malah cemberut dan kembali duduk di kursi makan. Oh tolong, Satrya paling benci saat anak ini merajuk. Ia pasti akan berakhir menuruti permintaan gadis kurang ajar ini.
“LETS CATCH SOME FRESH AIR!” pekik Bella sambil menyatukan kedua tangannya di pipi Satrya. Satrya menepis tangan adiknya. Satu kata pun tidak kunjung muncul dari bibirnya. Dengan kata lain, ia sedang berpura-pura tuli.
“Satrya-kun, can you hear me?” kata Bella sambil menopang dagu dengan kedua tangannya. Sungguh sebuah usaha yang sia-sia untuk terlihat cute.
Satrya menggulung koran yang sedang ia pegang, lalu memukul dahi adiknya berkali-kali. “ADUH BAU BAWANG!”
🐾🐾🐾Seperti biasa, pada akhirnya Satrya akan menuruti permintaan Bella. Mereka sedang menikmati udara musim semi Vancouver. Sepuluh menit mereka habiskan untuk berdebat café mana yang akan mereka kunjungi sore ini. Dan lagi-lagi seperti biasa, pendapat Bella selalu menang.
Tapi sepertinya Brioche Urban tidak terlalu buruk, buktinya Satrya kini sedang sibuk menyelesaikan tugas akhirnya dengan, um, sedikit santai? Tidak seperti saat di apartemen. Lelaki itu akan terlihat sangat stress, seakan hidup dan matinya bergantung pada laptop di depannya.
Bella menarik napas panjang, berusaha menghirup udara segar Vancouver sore ini. Kemudian ia menghembuskannya dengan perlahan. Menikmati detik demi detik kepergian karbondioksida dari lubang hidungnya.
Tanpa Bella sadari, sebuah tangan mendarat pada pundaknya. Bella yang tadi sedang sibuk melepas kepergian CO² dari hidungnya pun terkesiap dan menoleh ke arah pemilik tangan itu.
Dilihatnya seorang lelaki tampan dan beralis tebal sedang tersenyum menatapnya. Dan sepertinya lelaki ini berkebangsaan Filipina.
“Magandang gabi?”
“Kayaknya kamu cuma tau kata-kata itu di bahasa tagalog ya?” ujar lelaki itu sambil menatap Bella dengan tatapan mengejek.
“Ngapain lu, jo?” ujar Satrya dengan wajah keheranan.
Kajo tersenyum sambil menarik kursi di sebelah Bella. Bella masih mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menunggu keputusan akhir dari otaknya. Bella bukan pikun, ia hanya memiliki kemampuan mengingat yang sedikit-kurang. Hanya sedikit.
“Mau catch some fresh air bang.”
Bella membulatkan matanya saat otak kanannya menyerahkan laporan hasil akhir ke otak kirinya. Bukankah lelaki di sebelahnya adalah orang yang ia temui di Rex Orange County Concert? Dan menyelamatkannya dari bule berhidung berlang? Kemudian secara sukarela mengantarkan Bella secara utuh ke apartemen Satrya? Benar bukan?
“Hi, Aphrodite?” ujar Kajo dengan senyuman semanis madu. “People said ‘sometimes you meet strangers more than once, but it turns out that its just a casual coincidence’. Tapi kata orang juga, kalau ketemu orang sampai tiga kali, itu berarti jodoh.”
🐾🐾🐾
KANGEN KAJOOOOOO BANGET😭
kayaknya aku bakal sering update nih, covid-19 is killing me. I mean bosen is killing me......
um btw, nga tau kenapa deh aku up foto pacar aku—i mean tom holland sorry guys. yaudah buat seger-seger aja deh🤪
KAMU SEDANG MEMBACA
raggle-taggle
Teen FictionJacey Bellamy, remaja ini hidup dibawah tekanan dari ayahnya sendiri. Bella dituduh bahwa ialah penyebab dari kematian ibunya. Ia tumbuh menjadi seorang remaja yang buruk. Sampai ia bertemu dengan seorang lelaki bermata hijau yang membuatnya meragu...