Debu-debu yang tadinya hinggap di atas karpet perlahan terangkat masuk ke dalam pipa penyedot debu yang dipegangnya. Alunan musik menghentak samar terdengar dari headset yang dikenakannya. Sesekali ia berdendang, menyanyikan lirik dengan suaranya yang terdengar jauh lebih pelan daripada deruman mesin yang didorongnya ke sana-sini. Tak menangkap bunyi ketukan di pintunya.
Mengerjap, ia melepaskan headset-nya, dan memasang telinga baik-baik. Ah, lagi-lagi suara ketukan itu menggema memanggilnya. Mendesah pelan, ia melangkahkan kakinya ke pintu yang tertutup, mengintip dari lubang kecil di pintunya. Menemukan sesosok pemuda dengan wajah lelah menahan tubuhnya dengan satu tangan.
Ia segera membuka selot pintu, menarik pintu itu hingga menampakkan sosok pemuda berkemeja kusut yang tersenyum lebar. "Hei, aku Kris, tetangga sebelah. Aku baru pindah sejak seminggu yang lalu." Orang itu beberapa centimeter lebih tinggi darinya, dan senyumnya seperti matahari yang menyinari bumi di pagi hari—terang, menjadi sumber energi, tapi tak memanggangmu sampai kemerahan dengan panasnya.
"Oh," pemuda itu mengangguk pelan berusaha menemukan suaranya yang sepertinya lenyap bersamaan dengan kerlingan di mata tajam milik sang penyapa. "Aku Tao, ada yang bisa kubantu?" tawarnya berbasa-basi, agak sedikit waspada mengingat ia hanya pernah melihatnya sekilas ketika pemuda itu datang membawa barang-barang bersama beberapa orang yang mungkin adalah temannya.
Pemuda itu menggaruk belakang kepalanya dengan senyum kikuk. Tao menahan diri untuk tak tertawa melihat tingkahnya yang tadinya penuh dengan percaya diri berubah seratus delapan puluh derajat dalam waktu beberapa detik. Tawa kecil terlepas saat Kris membuka mulutnya lagi.
"Maaf, aku tidak punya penggorengan, boleh aku meminjamnya?" tanyanya malu-malu. Apalagi mendengar tawa Tao yang membuat suaranya naik dua oktaf. Terdengar lucu sekaligus menambah rasa malu darinya. Ah, andai saja ia memeriksa dapurnya terlebih dahulu, dan tak langsung membuat adonat pancake yang kini berdiam di atas meja dapurnya, menunggu untuk dituang ke atas penggorengan panas hingga memadat. Mengisi perutnya yang terasa kosong setelah semalaman menghabiskan seloyang mac and cheese juga sebotol besar cola.
"M-maaf," ucapnya kikuk, lagi-lagi menggaruk tengkuknya yang tak gatal sementara matanya menyusuri wajah tetangganya yang terbilang unik, dan tak menampik fakta bahwa ia tertarik untuk mengenal pribadinya lebih jauh.
Tao menggeleng, meredakan kekehannya. "Baiklah, kau bisa menunggu di ruang tamu, Kris." Mempersilakan Kris masuk, Tao berjalan menuju dapurnya, mengambil sebuah penggorengan bergagang yang berukuran lumayan.
"Terima kasih, Tao, aku akan mengembalikannya nanti," ujarnya lega. Tao hanya melambaikan tangannya pelan, dan dari sanalah Kris mengenal sang tetangga. Dengan tawa yang menjadi candunya, senyum lebar dengan jajaran putih giginya juga rambut cokelatnya yang kemerahan ditimpa cahaya matahari. Kulitnya yang keemasan terlihat sesuai bersandingan dengan langit musim gugur dengan daun maple berguguran yang tiap kali mengingatkannya pada rambut lembut diterpa angin. Nyatanya langit sendu di musim dingin terlihat membawa dirinya lebih kontras di tengah ranting tanpa daun, juga salju yang menumpuk di sepanjang jalan.
Tangannya yang tak bersarung menarik koper merahnya sementara di bahunya menggantung tas berukuran besar, tersaruk di antara trotoar berlumur lumpur juga salju yang terciprat di boots cokelatnya. Tao terbatuk keras, terantuk batu saat pandangannya terhalang syal merah tebalnya sebelum sepasang lengan menahannya. Pemuda itu menjejakkan kakinya di aspal yang licin, menengadah memandang pemuda dengan senyum sehangat cahaya mentari pagi mengernyitkan dahi, cemas.
"Ah," serunya pelan. Memisahkan diri dengan canggung. "Terima kasih," ucapnya perlahan menjauh dari Kris.
"Tunggu," seru Kris tiba-tiba. Yang dipanggil pun menoleh dengan bingung. "Sepertinya barangmu berat, mau kubantu?" Entah dari mana kepercayaan diri itu berasal. Tak sampai semenit yang lalu ia berada di seberang jalan bersama dua orang temannya yang tengah mengobrol. Matanya yang tajam menangkap sosok yang kerap kali menjumpai di tengah lamunannya. Mengabaikan kedua temannya, Kris melesat menyebrang jalan berniat mengulurkan tangan sampai limbungnya Tao membuatnya bersyukur berada di waktu, dan tempat yang tepat.
YOU ARE READING
Peach
Fanfic13 chapters. On going. Some prompts has been posted as private posts. Follow me to read further. Prompts compilation. Every prompt has different pairing and theme. AU. Tao-centric. Bottom!Tao Because Tao is too beautiful for his own good.