Prompt 12A - Goody Two Shoes

555 60 32
                                    

Berlari di koridor, ia memegangi backpack-nya erat-erat, berbelok menuju kelasnya yang berada di paling ujung hingga berhasil menyusup melewati gurunya yang masih menunduk meletakkan bukunya, belum sempat memeriksa daftar absensi. Duduk di barisan kedua dari belakang, ia mengeluarkan bukunya juga tempat pensilnya, memasang wajah tanpa dosa begitu sang guru membuat kontak mata dengan murid-murid yang balas menatapnya penuh antisipasi. Sapaan selamat pagi, dan nama yang dipanggil satu per satu untuk mengumpulkan tugas esai yang diberikan minggu lalu memulai pelajaran di pagi yang cerah tersebut.

Merapatkan blazer sekolahnya, ia meringkuk di sudut perpustakaan, duduk di lantai kayu selagi memangku buku besar berisikan jenis tumbuhan, dan habitatnya. Kakinya menekuk merapat dengan pahanya, sweater-nya terasa menggelitik di ujung lengannya. Napasnya teratur mengingat ia sempat berlari dari kelas sesudah menyantap roti selai strawberry yang dibawanya demi melarikan diri dari seseorang yang paling enggan ditemuinya. Bersyukur bila perpustakaan selalu sepi pengunjung dengan rak menjulang yang membuatnya leluasa beringsut ke salah satu sudut matinya, menenggelamkan diri dalam buku yang bisa dijangkaunya. Kali ini ia berada di rak ketiga dari belakang, di jajaran flora, dan fauna dengan tangannya yang menghangatkan diri di balik bukunya, sesekali membenarkan letak kacamatanya.

"Rupanya kau di sini," sebuah suara berat mengagetkannya yang tak mendengar langkah kaki itu mendekat.

Sial. Dia terpojok, dan kernyitan tak suka muncul di dahinya. Rasanya ia ingin lari dari sana, merasa kalah sebelum mulai perang, tak mampu melompat ke luar dari kungkungan rak-rak dipenuhi jajaran buku. Ia berdiri, masih dengan memegangi bukunya yang tebal. "Apa mau Anda?" tanyanya sengit.

Tangan itu meraih lengan bajunya. "Kenapa kau lari, hmm? Kau takut padaku?" ia balik bertanya dengan alisnya yang naik sebelah.

"L-laoshi..." ucapnya lirih. Di hatinya berkobar api pemberontakan, tapi matanya memohon pengampunan. Memohon sedikit kelonggaran untuk dirinya yang kini mau tak mau duduk di sebuah meja di salah satu sudut perpustakaan sementara pria di hadapannya menumpuk sebundel esai yang belum dinilainya sejak kemarin. Mendesah panjang, ia menyiapkan frixion merahnya, dan mulai memeriksa sesuai petunjuk gurunya yang juga turut memeriksa tumpukan esai kelas dua belas.

Keheningan yang hanya diwarnai bunyi goresan pena di atas kertas, juga gemerisik kertas digeser. Pemuda itu menunduk dalam. Sesekali membenarkan kacamatanya sebelum melanjutkan mencoret tata bahasa yang salah, menulis skor minus di samping paragraf tak berinti, hingga akhirnya meletakkannya di tumpukan yang sudah selesai. Tugasnya hanya mencari kesalahan, dan tugas gurunya mencantumkan nilai yang pantas untuk diberikan. Pantas yang diberikan dalam standarnya adalah kurang dari delapan puluh delapan, dan lebih dari nol. Jika boleh jujur, sangat jarang murid yang bisa mendapatkan angka delapat puluh delapan dalam esainya kecuali dirinya.

"Kau sudah makan?" tanya suara berat tersebut meski matanya tak beralih dari kertas yang dipegangnya, penuh coretan merah di sana-sini, dan mendapat nilai naas berupa angka tujuh dari delapan puluh delapan. Menyedihkan, mengenaskan.

Pemuda itu mengangguk, tak menghentikan laju tangannya mencoret satu kalimat yang tak efektif, hanya memutar-mutar informasi yang ditulis tanpa inti yang jelas. "Sudah kok," jawabnya acuh tak acuh. Siapa juga yang senang jika hampir tiap hari dipaksa membantu mengoreksi yang notabene adalah pekerjaan gurunya? Memangnya guru itu tak becus memberikan nilai sendiri sampai butuh uluran tangan muridnya sendiri?

"Berhenti," titahnya pada muridnya yang masih menggerutu meski tangannya sudah berhenti menulis. Matanya menatap tajam ke wajah pemuda berkacamata, dan bersurai kemerahan tersebut. Ia menjulurkan tangannya, mengusap puncak kepala yang kini tertunduk.

"Anak pintar, jangan marah ya," ucapnya lembut sembari menepuk-nepuk kepalanya pelan.

"La-laoshi," ia terbata, memegangi tangan besar berurat milik gurunya yang masih menyunggingkan senyum. Wajahnya pias, bibirnya bergetar, jantungnya berpacu sedikit lebih cepat. "Ja-jangan menjambak saya," pintanya lirih. Sedikit ketakutan menyaksikan kilatan aneh di mata gurunya tersebut.

PeachWhere stories live. Discover now