LITD *5*

46 17 11
                                    

Satu bulan telah berlalu, Jean masih saja merasakan gundah yang teramat sangat. Ia merasa sedih, marah dan bersalah karena menyalahkan takdir. Ia tau takdir yang telah di gariskan tidak akan pernah salah. Namun ia merasa sudah lelah dengan semua drama di kehidupan nya.

Matahari mulai memamerkan cahaya yang memukau, burung-burung berterbangan dengan riang nya. Jean sudah terbangun dan membuka gorden kamar nya. Di lihat nya pemandangan kota dari balik kaca kamar nya. Jean menarik nafas perlahan-lahan, dan mulai beranjak dari tempat nya untuk mandi.

Setelah ia sudah siap, di ambilnya tas yang berada di atas kasur berukuran king size itu. Jean lalu berangkat menuju kantor nya, pikiran nya terus melayang-layang entah kemana.

***

"

Aku tak bisa melakukan ini ya tuhan." kata jean lirih, dia sangat tidak bisa membayangkan bagaimana hal seperti ini dapat datang ke kehidupannya. Selain rasa kemanusiaan Jean, Jean juga menyimpan rasa pada Shawn.

Namun apa dayanya, takdir sama sekali tak bersahabat dengan nya. Bahkan ketika ia mulai ingin memperbaiki kehidupannya.

Akhirnya Jean sampai di kantor, ia langsung menuju ruangan bos nya, Shawn. Ketika ia sampai, ia di sambut dengan senyuman Shawn yang membuat nya makin gundah.

'Jika aku membunuhnya, itu akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupku.' batin Jean.

Shawn menautkan alisnya, ia merasa aneh dengan raut wajah Jean yang tampak begitu lesu. "Apa kau sakit?" tanya Shawn lembut, yang di tanya hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum yang di paksakan.

'Apa mungkin karena itu?...' tanya Shawn pada dirinya.

"Hm Jean, apa kau sedang ada masalah?" Jean menoleh sambil menunjukkan ekspresi keterkejutan nya. "Ti... Tidak, aku tidak apa-apa. Sungguh." Jean kembali melanjutkan pekerjaan nya, "Aku tau kau bohong, karena kau selalu saja bersikap seolah dunia baik kepada mu. Namun nyatanya tidak."

'Deg'

Kata-kata Shawn barusan menampar keras-keras dinding hati Jean, ia menengadahkan wajahnya berusaha untuk menahan bulir air matanya tumpah. "Maaf pak, sepertinya saya harus ke toilet?" ucap Jean singkat.

"Untuk apa Jean? Untuk menangis? Menangislah disini, di bahu ku. Sebanyak dan selama yang kau mau, aku tidak mau membiarkan mu merasakan sakit sendirian lagi Jean. Sudah cukup sandiwaranya." Shawn menghembuskan napas panjang nya.

Jean yang kini kebingungan, "Ma.. Maksud mu apa Shawn? Sandiwara? Sandiwara apa?". Shawn mendekati posisi Jean, "Tugas mu untuk membunuhku adalah sandiwara. Aku tau semua tentang mu, bahkan masa lalu mu yang perih. Apa kau ingat bocah lelaki yang berkacamata dan selalu di ejek teman-teman nya? Apa kau ingat Peter?" suasana mendadak hening, Jean sungguh tersentak dengan apa yang barusan Shawn katakan.

"Jadi kau adalah Peter? Sahabat kecil ku?" shawn mengangguk pelan, Jean lalu memeluk Shawn erat. Jean selalu merindukan Peter sejak hari dimana Peter menghilang, dia tak pernah bosan untuk merindukan lelaki itu. Tidak pernah bosan, sekalipun hari nya di penuhi oleh kebahagiaan. Dia tetap saja merasakan rindu itu.

Shawn tersenyum ketika merasakan pelukan hangat Jean, "Rasanya aku seperti de javu. Apa kau ingat sehari sebelum aku menghilang Jean?" Shawn kini mengelus rambut Jean lembut. "Ya aku ingat itu, tapi kemana saja kau selama ini? Aku, aku merindukanmu." kata Jean lalu melepaskan pelukan nya dan merunduk.

"Aku akan memberi tahu mu semuanya, tapi tidak disini dan tidak sekarang, Jean. Sebaiknya sekarang kita menyelesaikan pekerjaan kita, nanti di makan siang aku akan memberi tahu Mu." yang di ajak bicara paham dan menangkap maksud omongan Shawn. "Baiklah shawn.".

***

Shawn dan Jean melenggang memasuki cafè yang cukup mewah, mereka memilih meja yang terletak di dekat jendela dan agak sedikit terpojok tersebut.

Mereka duduk berhadapan, seorang waiters datang dan mencatat pesanan mereka. Jean mengamati suasana jalanan dari balik kaca cafe yang bernuansa prancis tersebut, tampak tak begitu ramai. Hanya 3 atau 4 kendaraan yang melintasi jalanan. Dia memperhatikan dua orang anak kecil yang berjalan beriringan, seulas senyum terpampang di wajah Jean. Shawn yang sedari tadi memperhatikan Jean, melihat ke arah dua orang anak kecil yang sedang di lihat oleh Jean.

"Persis seperti kita dulu ya?" kata Shawn membuka pembicaraan, "Ya, persis sekali. Rasanya aku seperti bernostalgia." Jawab Jean tanpa menoleh ke arah Shawn. "Sudah empat belas tahun berlalu, rasanya cepat sekali." Kata Jean lagi lalu menoleh ke arah Shawn. Ia membenarkan posisi duduk nya dan memperhatikan wajah Shawn dengan seksama, Shawn merasa jantung nya berdegup kencang ketika Jean menatap nya seperti itu. Shawn berdeham, "Ku rasa sekarang aku akan memberi tau mu tentang kemana, dan untuk apa aku menghilang empat belas tahun yang lalu."

Jean langsung memfokuskan pada apa yang akan di ucapkan shawn, "Empat belas tahun yang lalu, aku pergi untuk pengobatan ke cina. Aku mengidap kanker paru-paru stadium 3. Sebenarnya jauh sebelum aku bertemu dengan mu, aku telah mengidap penyakit itu." Jean menutup mulut nya dengan kedua tangan nya, ia benar-benar tak percaya. Bagaimana seorang anak seperti Shawn bisa menderita penyakit itu.

"Jean!" panggil seseorang, seketika Jean menoleh dan mendapati sosok pria yang sangat di kenali nya itu. "Cameron?".

To be continue.---

Light in the darkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang