Kelas Satu : Hari Pertama, apa aku harus menangis juga?

6.4K 652 185
                                    

Bandar Lampung, Juni 1996

Hari ini adalah hari pertama aku jadi anak SD. Kalau aku bercermin di cermin besar di kamar Ome—mamaku— maka aku melihat seorang anak kecil dengan potongan rambut sedagu yang kata Tante Salon namanya potongan rambut bob. Aku belum sempat tanya kenapa dinamai potongan rambut bob. Apa penciptanya adalah Om Bob, yang pertama berambut itu adalah Bob, atau bagaimana. Kalau rambutku memanjang dan harus potong rambut, aku akan bertanya pada Tante Salon.

Anak kecil di cermin itu memakai kemeja warna putih berkantong dan ia memakai dasi warna merah. Anak kecil di cermin itu juga memakai rok selutut yang berlipat-lipat berwarna merah. Karena kalau sekolah tidak boleh pakai sandal, jadi anak kecil itu memakai sepatu hitam dengan kaus kaki putih. Anak kecil itu aku. Namaku Biru Bumi Rinjani dan aku sering dipanggil Omku dengan anak kecil karena aku masih anak-anak dan anak-anak itu masih kecil.

Sebenarnya, aku lebih suka sekolah di TK daripada harus pindah ke SD. Tetapi, Ome memaksaku untuk masuk TK. Ome bilang, kamu berangkat sendiri aja kalau mau sekolah TK. Padahal, dari rumahku ke TK, kalau naik motor atau mobil itu jauh. Kata Ode—papaku—dari rumah ke TK sekitar setengah jam. Padahal, aku lebih suka seragam TK-ku. Dress warna putih selutut yang kerahnya kayak kerah nahkoda, kalau enggak tahu, nahkoda itu yang nyupir kapal. Udah gitu, di TK boleh pakai sepatu apa aja. Dru malah pernah pakai sepatu yang ada lampunya, kedip-kedip gitu kayak lampu mau rusak.

"Udah, enggak usah ngaca terus. Ayo sarapan dulu," sahut Ome. Aku memandang Ome yang sudah berganti baju dengan dress selutut warna cokelat. Aneh, harusnya Ome tidak memakai baju seperti itu. Seharusnya Ome memakai setelan rok berwarna biru.

"Ome kenapa baju itu yang dipakai?" tanyaku. Aku berjalan mendekati Ome yang langsung merapikan rambutku yang kurasa sudah rapi.

"Hari ini Ome izin enggak masuk untuk mengantarkan Bi dan Langit ke sekolah baru. Yaudah yuk, sarapan," jawab Ome sambil menarik tanganku. Kuikuti langkah Ome sampai di depan meja makan, sudah ada Ode dan Langit yang duduk dengan tenang.

Langit adalah kembaranku dan dia laki-laki. Kata Ome, kembar adalah saat di mana Ome hamil dan langsung ada dua atau lebih bayi di perutnya. Ini semacam diskon yang sering ada di mall, satu gratis satu, mungkin begitu kembar itu. Tuhan memberi Ome anak dan mengratiskan satu lagi karena mungkin sedang promo anak. Nah, yang anak gratisan itu aku atau Langit, aku tidak tahu.

Aku duduk di samping Langit yang menatap piring kosong dengan bersemangat. Tangan Langit terlipat di atas meja, aku menirunya. Eyang sangat menyayangi Langit karena Eyang bilang dia penurut dan sopan. Aku tidak tahu apakah Eyang sayang padaku atau tidak karena dia suka marah-marah kalau aku bermain boneka dan lupa membereskannya. Aku kan lupa dan benar-benar lupa.

"Dihabiskan ya!" sahut Ome sambil menyendokkan nasi goreng ke piringku dan meletakkan telur mata sapi setengah matang di atasnya. Aku mengangguk dan mengambil sendok. Di sebelahku, Langit sedang memotong-motong telur dadarnya menjadi delapan.

Langit suka telur dadar, yaitu telur yang sebelum digoreng dikocok dulu, diberi bumbu dan irisan bawang. Untuk membuat telur khusus Langit memang merepotkan dan dia memang senang bersusah-susah. Aku hanya perlu empat sampai lima kali mengunyah sesendok nasi goreng, tetapi Langit tidak. Dia mengunyah dengan pelan seperti siput jalan.

Aku pernah melihat siput berjalan di halaman belakang rumah Eyang. Aku enggak tahu sih itu siput bukan, tetapi jalannya begitu lamban. Binatang-yang-kukira-siput itu punya cangkang dan di dalam cangkang itu ada benda yang terlihat lembut dan kenyal. Benda kenyal itu yang berjalan dan membawa cangkang yang kelihatannya berat sekali.

"Ayo dimakan nasi gorengnya, Bi. Jangan melamun," suara Ome terdengar disertai tepukan halus di tanganku. Ah, ya. Aku belum memasukkan satu sendok pun dan kulihat Langit masih mengunyah dengan gaya siput. Lihat ya, dengan kecepatan tinggi aku akan mengalahkan Langit. Kumasukkan sesendok nasi dengan cepat ke mulut, kukunyah sebentar dan kujejalkan lagi. Beberapa butir nasi jatuh ke meja yang bertaplak putih dengan bordiran bunga-bunga.

6 [Langit & Biru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang