Kelas Satu : Apa itu Pekerjaan Rumah? Semacam menyapu, ya?

2.7K 476 55
                                    

Harusnya sih, saya ngerjain PR. Tapi kok malah nulis, nulis Bi, lagi. 

Selamat menikmati, kalau tak nikmat, cek toko sebelah.


Aku enggak suka magrib. Aku enggak suka magrib karena Ome bilang, aku tidak boleh main di halaman rumah kalau sudah magrib. Ome selalu menutup pintu rumah kalau azan magrib mulai terdengar. Kalau aku tanya, katanya biar setan enggak masuk. Padahal, di film-film, setan bisa nembus dinding. Tapi Ode bilang, kita harus menutup pintu saat magrib karena sekarang sering ada pencurian waktu orang sedang solat. Katanya, rumah Om-Gendut-Berkumis yang enggak jauh dari rumahku habis kemalingan. Motornya hilang pas ditinggal solat. Pencurinya pasti enggak solat magrib.

Ome biasanya akan memanggilku keras-keras dan menyuruh kami berwudu. Aku suka berwudu, karena wudu sama dengan main air. Ome sering marah-marah kalau aku mainan selang air, dan wudu bisa jadi alasanku main air. Langit terlihat serius membaca doa sebelum wudu yang ditempel di dinding. Ode yang menempelnya biar kalau kami lupa, bisa baca. Kuhidupkan keran air, menampung air dengan tanganku dan menyipratkannya ke wajah Langit.

"Ish, apaan sih?" omel Langit yang tak lama kemudian membalas menyipratkan air ke wajahku. Aku terkikik geli, dan tepat saat itu Ome datang. Matanya agak melotot dan mulai mengomel.

"Kalau besok tiap wudu masih main air, kamu tayamum aja!" kata Ome ketika kami sudah ada di ruang musola.

"Apa itu?"

"Wudu tapi pake pasir," jawab Langit. Dari mana Langit tahu soal tayamum?

"Aku enggak mau tayamum, Ome. Aku enggak mau wudunya pake pasir pupnya kucing," sahutku. Rasanya begitu menjijikkan kalau aku berkumur dengan pasir bau. Aku menggeleng-gelengkan kepala tanda tidak mau, dan Ome malah memelototiku.

"Bukan pakai pasir pup kucing juga, Biru. Nanti Ode jelasin. Ayo cepat dipakai mukenanya," ujar Ode. Aku mengangguk, aku memang harus segera memakai mukena agar Ode memulai solat. Kalau menunggu lama-lama, bisa-bisa aku kentut duluan dan terpaksa wudu lagi. Aku sih senang-senang aja wudu lagi, tapi Langit pasti sengaja nuduh kalau aku sengaja kentut biar bisa main air. Mana ada orang sengaja kentut.

"Allahu Akbar!" Ode memulai takbir, aku merapatkan tubuhku ke Ome, semoga Ode enggak bacain surat panjang-panjang.

***

Hal yang paling kusukai setelah solat magrib adalah makan malam. Aku paling suka makan di ruang televisi. Ada meja bundar besar yang cukup menampung makanan yang enggak banyak-banyak amat dan yang paling penting, aku bisa duduk di karpet. Duduk di kursi makan sangat tidak nyaman. Cuma, Ome selalu enggak bolehin kami makan sambil nonton tv. Soalnya, aku bakal enggak selesai-selesai makannya.

Sekarang, aku sudah kenyang dan duduk-duduk santai di sofa. Mataku mulai berat dan aku mengantuk. Aku sebal kenapa kalau habis makan aku jadi mengantuk. Lebih sebal lagi kalau aku dimarahi kalau habis makan langsung tidur, dan sekarang dengan mata yang berat, aku melihat Si Rajin Langit membawa tas sekolahnya dari kamar. Ia terlihat duduk di meja makan dan mengeluarkan semua peralatan perangnya. Buku, kotak pensil, dan segelas air putih. Si Rajin Langit memang senang belajar.

Dari kejauhan kulihat Si Rajin Langit menggeret Ome yang baru selesai mencuci piring dan bertanya. Ia menunjuk-nunjuk bukunya dan mereka mengobrol tentang angka. Seakan tidak ada obrolan lain yang lebih menyenangkan seperti kapan Nobita naik kelas?

Aku bertopang dagu, memandangi mereka sampai Ome tiba-tiba memandangku dan berjalan mendekat. Oh, tidak Tuhan! Jangan sampai Ome menyuruhku belajar! Cukup Langit saja. Biar Langit jadi anak yang suka belajar dan aku suka bermain.

"Langit bilang ada PR. Tuh, dia lagi ngerjain. Kamu enggak ngerjain PR?" tanya Ome.

"PR? Apa itu?"

"Pekerjaan Rumah. Ayo, kerjakan. Kamu juga pasti dapat PR, kan?"

Aku mengerutkan dahiku. "Pekerjaan Rumah itu... semacam menyapu? Mencuci? Ome, aku kan masih kecil! Tugasku cuma mengelap kaca dan memberi makan hewan. Masak aku harus membersihkan rumah, sih."

Ome berdecak. Ia terlihat menarik-narik rambutnya. Sejenak, Ome memejamkan mata dan mengembuskan napas. Seakan-akan yang kukatakan tadi begitu berat.

"PR itu, tugas dari Bu Guru yang harus dikerjain di rumah, Biru. Coba ambil tasmu! Ome tunggu di meja makan," ujar Ome. Jarinya memegang dahi, memijat-mijatnya, seakan-akan aku sudah membuat Ome pusing. Aku berjalan ke kamar dan kudengar Ome berkata 'Kelakuan anakmu, Gatra!' Aku senang mendengarnya karena Ode itu keren!

Sampai di kamar, aku menemukan tasku. Tasku warnanya biru karena namaku biru. Terima kasih sudah memberi nama itu karena aku enggak mau tasku warnanya pink gara-gara namaku Merahmuda. Aku tidak suka warna pink. Warna pink adalah warna yang terlalu lembut dan terlalu manis dan itu enggak bagus karena semua yang berlebihan tidak baik.

Aku duduk di atas kasurku yang agak berantakan karena boneka-boneka memilih untuk tidur secara berpencar. Gembrot si beruang, memilih tidur tengkurap di kasurku daripada tidur dan pojok lemari. Dia sangat memenuhi tempat tidur sampai kadang kutendang-tendang saat tidur. Sepertinya Gembrot memanggil. Aku mengambil Gembrot. Si Gembrot ini adalah kado ulang tahun dari Mamanya Olan. Kata Olan, ini boneka Teddy Bear, tapi menurutku, dia tak lebih dari beruang cokelat yang gembrot dan berpita di leher. Gembrot selalu dicuci Ome tiap dua minggu sekali jadi dia wangi.

"Ome nyuruh Bi ambil tas dan turun ke bawah. Bukan bermain sama Gembrot. Ayo turun!"

Sejak tadi aku meniup-niup poniku dengan malas. Ome habis mengomel karena aku enggak tahu ada PR, bukuku sudah lepas sampulnya padahal baru sekolah dua minggu, dan kotak pensilku yang sudah kosong.

Gara-gara Langit, aku terpaksa harus mengerjakan lima soal penjumlahan. Untungnya soalnya menggambar. Jadi, ada gambar satu apel ditambah satu apel, sama dengan, aku harus menggambar dua apel. Aku tadinya mau mewarnai apel-apel itu, tapi kata Ome, itu menghabiskan waktu.

"Sudah sana, cuci kaki dan tidur!" kata Ome setelah aku memasukkan semua peralatan sekolahku ke tas.

"Ome, kenapa satu ditambah satu jawabannya dua? Kenapa enggak tiga?" tanyaku. Ome mendesah dan kembali berteriak," Gatra... anakmu!"

<<<-->>>

6 [Langit & Biru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang