Botol minumku pecah dan Ome marah-marah. Pertama, Ome marah karena kepala Langit berdarah dan harus dijahit. Kata Ome, empat jahitan. Aku sih nggak tahu, ya, empat jahitan itu empat kali dijahit, empat kali jarum masuk ke kening Langit, atau gimana. Aku nggak ada niat menjadi dokter atau tukang jahit, jadi aku nggak peduli. Kepala Langit juga ditutup perban dan aku nggak boleh membukanya. Padahal kan aku juga pengin tahu kayak apa kepala yang dijahit itu.
Kedua, Ome marah karena botol minum merk Lion Star itu pecah. Harusnya, aku yang marah sama Langit karena kepala Langit, botol minumku pecah. Namun, Ome malah balik marah waktu kubilang begitu. Katanya,"Hei Biru, kepala Langit itu lebih penting daripada botol minum." Menurutku sih, lebih penting botol, ya. Langit kan nggak menghasilkan air selain air keringat dan air kencing. Botol minum jelas lebih berguna. Bentar, ada yang aneh nggak sih. Ome bilang, kepala Langit lebih berharga, tapi dia juga ngomel karena harus beli botol minum baru untukku.
Ah, aku pusing! Dan malam ini, aku jadi nggak bisa tidur. Gimana mau tidur kalau Langit dikit-dikit nangis dan bilang kepalanya sakit. Aku juga jadi mikir soal besok aku bawa minum pakai apa. Aku nggak mau bawa air minum di botol bekas air mineral, kelihatan menyedihkan. Mungkin, aku bisa pinjam botol minum di kulkas, tapi itu besar banget! Atau aku bisa pakai botol bekas sirup Marjan, tapi itu dari kaca dan aku takut pecah.
"Emang sakit banget, tah?" tanyaku. Kesal aja dengar Langit dikit-dikit merengek.
"Sakitlah. Kamu sih, bodoh banget lempar-lempar botol air ke kepala!"
"Iya, sih. Aku kan memang bodoh di kelas."
Langit terdengar menggeram, mungkin kesal, tapi bisa juga kesakitan. "Ini udah malam, loh. Kamu bikin aku nggak bisa tidur karena dikit-dikit kami mengaduh."
"Ya aku nggak akan mengaduh-aduh kalau nggak kamu lempar botol, tolol!"
"Ya... aku memang tolol, sih. Sakit nggak sih dijahit? Tapi kayaknya keren gitu, ya besok ke sekolah ada perban di kepala kamu. Pasti semua anak bakal nanyain, kamu jadi terkenal."
Kudengar Langit berdecak, ia kemudian menarik selimutnya sampai menutupi kepala. Kata Langit dulu, itu tandanya dia nggak mau lagi mengobrol. Baik, aku mungkin harus mulai memejamkan mataku. Karena kalau nggak tidur-tidur, besok aku ngantuk.
***
"Biru, Langit kenapa?"
"Loh, kepala Langit kok diperban?"
"Kok bisa diperban kepalanya?"
"Langit jatuh dari mana?"
Seperti dugaanku, Langit hari ini mendadak jadi artis yang lagi diwawancarai wartawan gosip. Waktu kami sampai di kelas, beberapa anak langsung mengerubungi kami—Langit sih sebenarnya. Mereka mulai bertanya-tanya semacam itu. Namun, Langit nggak menjawab. Dia malah bilang, "Tanya tuh sama Biru." Jadilah, semua yang ada di sana berbalik bertanya kepadaku.
"Kepala Langit berdarah, jadi dijahit. Empat jahitan. Jahitnya di Dokter Rafi. Aku nggak ikut sih, pas jahit. Tapi Langit nggak nangis," jawabku. Bagian Langit nggak nangis itu adalah dusta saudara-saudara. Menguping pembicaraan Ome dan Mbak Marni, Langit menangis tanpa suara dan badannya dingin waktu mau dibius. Dia juga menangis sambil memeluk Ome waktu dijahit.
"Keren, nggak nangis. Aku waktu disunat aja nangis waktu disuntik. Sakit," sahut Akbar. Kulihat Langit hanya meringis.
"Terus, berdarahnya kenapa?" tanya Zora.
"Nah, itu ... itu sebaiknya nggak usah diceritakan. Nanti Langitnya malu," sahutku.
"Langit nggak bunuh diri kan?" tanya Sandy.
KAMU SEDANG MEMBACA
6 [Langit & Biru]
General Fiction6. Selamat datang di draft 6, kisah tentang Langit dan Biru. Kisah ini dimulai dari usia 6 tahun, dimulai di pertengahan tahun 1996, bercerita tentang 6 tahun mereka duduk di sekolah dasar. Aku nggak tahu kenapa naik ke atas pohon, ngambil rambutan...