Bi datang lagi!
Btw, di sini ada yang udah baca 24?
***
Akhirnya, aku pulang sama Magnolia dan Dru. Mereka baik hati sekali mau nungguin aku meskipun anak-anak lain udah pulang semua. Bu Nana juga ikutan menunggu aku selesai menulis jadwal pelajaran sambil membaca koran. Katanya, baca koran bagus untuk menambah pengetahuan. Kalau gitu, kenapa aku harus sekolah? Kenapa nggak di rumah aja duduk manis sambil baca koran tiap pagi?
Udah gitu, aku kesal banget sama Langit. Pasti dia nggak mau pulang sama aku tuh karena jalan aku lama kayak siput. Ya, tapi biar aku lama kayak siput kan aku tetap jalan. Lebih baik kayak siput dong daripada kayak batu. Batu kan ga bisa pindah kalau nggak dipindahkan.
Aku jalan bareng Magno dan Dru. Kita jalan kaki bersama sambil nyanyi lagu Lihat Kebunku.
Nggak nyambung, sih. Soalnya kebun yang dilewati itu kebun pohon-pohon yang nggak ada mawar, melati, dan nggak semua indah."Kenapa Langit tadi duluan?" tanya Magnolia.
"Tanya aja sama Langit. Aku gak tahu. Lapar kali."
Magnolia mengangguk, lalu bertanya, "Dia beneran nangis pas disiram pasir?"
"Iya, aku lihat. Dia nangis sedih gitu. Olan, sepupunya Bi juga nangis. Soalnya, uang jajan si Olan dipotong karena nakal." Dru yang menjelaskan.
"Kasian Langit."
"Oh, nggak perlu kasihan, Mano. Langit memang perlu megang pasir. Dia kan takut pasir. Masa' buat rumah pasir pakai sarung tangan?"
"Mungkin Langit jijik, Bi. Kayak aku takut sama kecoa," kata Magnolia lagi.
Aku mengingat-ingat apa yang aku takuti. Lalu wajah Bu Lukita melayang-layang di kepalaku. Seram deh tiap lihat Bu Luk pakai lipstik merah. Kayak drakula perempuan."Aku juga takut sama Bu Luk, sih," sahutku lagi.
Kudengar, Dru juga setuju kalau Bu Lukita menyeramkan. Sepanjang jalan, kita jadi ngomongin Bu Lukita, sampai Mano belok ke kiri karena rumah kita beda arahnya.
Aku sama Dru terus lomba lari, siapa yang paling cepat sampai rumah. Nggak ada hadiahnya, sih. Lomba biasa gitu aja. Kan, nggak semua lomba ada hadiahnya. Bisa menang aja udah senang. Ome yang bilang begitu waktu aku sama Langit lomba berenang yang nggak ada hadiahnya. Kata Ome, nggak semua orang merasa senang, jadi aku harus bersyukur bisa merasakan senang. Aku nggak tahu maksudnya apa, tapi aku senang kalau lagi bersenang-senang.
Sayangnya, hari ini aku kalah lomba lari sama Dru. Aku jadi mikir, jangan-jangan aku beneran siput kayak yang dibilang Langit. Aku kalah lomba lari, aku jalan lama kayak siput, aku juga lama nulisnya. Apa kalau lama ngapa-ngapain itu memang nggak berguna?
***
"Ganti baju dulu, Mbak Biru...."
"Nggak mau. Aku mau makan sekarang aja. Udah lapar, Mbak Marni. Tadi tuh, aku lomba lari sama Dru. Aku capek. Butuh makan. Mbak Marni masak apa?" kataku sambil membuka tudung saji. Ada ayam goreng dan sayur bayam yang ada jagung sama wortelnya. Stoples kerupuk juga penuh.
Aku berjalan ke rak piring, mengambil piring, sendok dan gelas. Semuanya aku taruh di meja. Lalu, aku buka kulkas dan mengeluarkan sebotol air minum dingin. Kalau lagi panas gini, enak banget minum dingin.
"Ya, tapi sepatunya dibuka dulu, geh. Tasnya juga belum dilepas. Itu belum cuci tangan juga, kan?"
"Iiih. Sabar dong Mbak Marni! Aku haus," sahutku sambil menuang air dari botol ke gelas dan meneguknya. Segaaaaar.
"Ayo, buka dulu sepatu sama kaus kakinya! Cuci tangan, baru makan. Nanti Mbak Marni ambilin makannya!"
Aku sebal sama Mbak Marni, ngatur-ngatur kayak Ome. Pasti Ome yang bilang ke Mbak Marni buat ngatur-ngatur aku. Aku tuh nggak sukaaaaa. Aku kan lapaaaar. Aku jadi memajukan bibirku kesal. Melepas tasku yang kemudian jatuh ke lantai. Lalu, membuka sepatu dan kaus kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
6 [Langit & Biru]
Fiction générale6. Selamat datang di draft 6, kisah tentang Langit dan Biru. Kisah ini dimulai dari usia 6 tahun, dimulai di pertengahan tahun 1996, bercerita tentang 6 tahun mereka duduk di sekolah dasar. Aku nggak tahu kenapa naik ke atas pohon, ngambil rambutan...