Part 2

164 16 6
                                    

Aku bangkit dari tempatku terduduk sementara Alex mengusap-usap tanah lembab yang masih menempel di permukaan tengkorak itu. Sekarang bentuk dan warnanya lebih jelas. Saat aku mencabutnya, bagian yang menghadap ke wajahku adalah tempurungnya. Akar tumbuhan itu menempel pada tengkorak di sisi pelipis sebelah kanan.
Alex mengetuk-ngetuk akar yang menempel pada tengkorak itu. Ia mengambil pisau yang kuletakkan di samping lubang tempat tanaman tengkorak itu dicabut. Ia mengiris akar yang menempel pada tengkorak itu.
"Lex, jangan dipotong!"
"Apa?" Ia masih sibuk dengan pisaunya.
"Jangan di potong akarnya!"
"Tidak bisa dipotong. Ini keras sekali. Sama seperti tulang kerasnya."
"Mana? Lihat."
Ia menyerahkan tengkorak itu padaku. Aku enggan menerimanya. Aku memilih untuk hanya menyentuh akarnya. Memang keras sekali. Alex kembali menarik tengkorak itu pada perhatiannya. Ia menelusuri setiap lekukan akar yang menempel pada tengkorak itu. Lama-lama aku penasaran juga pada tengkorak itu. Kuambil tengkorak itu dari tangannya, tetapi ia menolak.
"Ini milikku."
"Aku yang menemukannya. Enak saja!"
"Kamu kan tidak mau tadi."
"Sekarang aku menginginkannya."
"Tidak!" Alex lari sekencang-kencangnya dan aku mengejarnya di belakang. Ia berlari sangat cepat, membuatku tidak bisa mengejarnya. Aku terpaksa kembali ke hutan untuk mencari tanaman lain untuk kubawa besok. Akhirnya, aku mencabut tanaman lain kemudian kembali ke rumah dengan perasaan jengkel.
Malam ini saat aku berbaring di kasur, aku teringat pada tanaman tengkorak itu. Aku penasaran sekali bagaimana rupanya. Sebenarnya aku masih merasa kesal pada Alex. Seharusnya tanaman itu menjadi milikku dan aku bisa mengamatinya lalu menyimpannya menjadi sebuah koleksi. Tanaman seperti itu benar-benar langka. Bagaimana bisa sebuah tanaman dapat tumbuh dan akarnya mengikat sebuah tengkorak? Siapa tahu aku bisa memperoleh uang banyak dengan menjualnya.
Aku terus memikirkan tanaman itu. Tetapi jauh di dalam hati aku merasa ngeri juga. Bagaimanapun, tengkorak manusia tidak boleh dijadikan koleksi atau simpanan pribadi. Dan lagi, siapa pemilik tengkorak itu? Jika aku menyimpannya, bisa saja aku terkena masalah di keesokan harinya. Tetapi jika aku membiarkannya tumbuh menjadi pohon, tidakkah ada kemungkinan pohon itu menjadi sarang hantu? Ah, sudahlah. Aku tidak ingin memikirkan hal yang tidak-tidak. Aku mau tidur.
Di sekolah aku bertemu dengan Alex. Ia membawa sebatang tanaman pohon. Aku mendekati lalu merebutnya dari tangannya. Saat kuamati ternyata itu bukan tanaman yang sama seperti yang kutemukan di hutan kemarin. Ia menyeringai padaku dan merebut kembali tanaman yang kupegang.
"Mana tanamanku yang kamu bawa kemarin?"
"Kusimpan di sebuah tempat. Itu milikku."
"Milikku. Kamu merampasnya dariku."
"Haha..."
Ia tertawa dan menyeringai lagi, lalu pergi meninggalkanku. Aku muak sekali dengan seringainya. Ini pertama kalinya aku melihatnya begitu. Rasanya ingin kupukul wajahnya.
Kegiatan menanam telah selesai. Aku ingin pulang langsung setelah ini. Kurasa aku harus mengambil kembali tanamanku. Aku akan mampir ke rumah Alex. Siapa tahu ia menaruh tanamannya di luar rumah. Saat aku sampai di depan rumah Alex, aku celingukan memastikan tidak ada orang di rumahnya. Aku mengendap di halamannya dan mencari di pojokan diantara semak-semak namun tidak kutemukan. Kemudian aku mencari di bawah pepohonan dan di belakang rumahnya. Tetapi masih tidak dapat kutemukan. Aku pun memutuskan untuk kembali pulang.
Saat melewati samping rumahnya, aku melihat daun tumbuhan itu. Itu ada disana, di dalam rumah. Tepat diletakkan di dekat jendela. Jendela itu terbuka. Kurasa itu pasti kamar Alex. Aku menjulurkan tangan diantara teralis jendelanya. Kuraih batang tanaman itu, Lalu kutarik perlahan- lahan. Tumbuhan itu bisa melewati teralis jendela, tetapi aku harus mencari celah terbaik untuk meloloskan bagian tengkorak yang lebih besar. Setelah beberapa kali mencoba, aku berhasil meloloskannya. Aku kemudian pergi sesegera mungkin.
Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa was-was. Kuambil langkah yang lebih besar daripada biasanya agar lebih cepat sampai rumah. Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar dan menutup pintunya. Kuletakkan tasku begitu saja, lalu berkutat pada tanaman tengkorak itu. Kuperhatikan, tengkorak itu sudah lebih bersih. Kurasa Alex sudah membersihkanya karena sudah tak bersisa lagi bekas tanah. Kutelusuri urat akar yang menempel pada tengkorak itu. Bentuknya sangat tegas dan permukaannya keras. Akar-akar itu seolah mencuat dari permukaan tulang. Kurasa tanaman ini tumbuh begitu saja dari tengkorak ini. Aku yakin sekali. Tetapi bagaimana bisa?

The Sprouting FleshTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang