Chapter 3

150 10 1
                                    

Bisma terduduk di atas ranjangnya. Di tanganya ada pena pemberian (sebutnamakamu)­ empat tahun lalu. Sedari tadi ponselnya terus berdering tapi Bisma mengabaikannya.­ Padahal ia tau siapa penelponnya tapi, justru itu yang membuatnya enggan mengangkat dering ponselnya.

"Kamu dimana sih bi?" Gue melirik jam tangan gue sambil terus mencoba menghubungi Bisma namun hasilnya nihil. Padahal setengah jam lagi pesawat gue take tapi, batang hidung Bismapun gue belum liat.
"Gimana sayang? Bisma jadi dateng?" Mama bangkit dari kursi tunggunya menghampiri gue yang terus menghubungi Bisma. Dengan lemah gue menggeleng dan memutuskan berhenti menelpon Bisma.

"Gak di angkat mah sama dia" sahut gue lesu
"Tapi, kamu sudah pamitkan sama dia?" Kali ini papa ikut buka suara
"Udah sih Pah, tapikan..."
"Ya sudahlah nak, mungkin Bisma sekarang sedang terjebak macet. Kita tunggu saja yah? Lagipula pesawatmukan belum berangkat" nasihat mama. Gue mengangguk lalu memilih duduk di sebelah papa. Dimana Ilham? Ilham berada tak jauh dari tempat gue duduk, tentunya dengan keluarganya juga.

"Semoga kamu datang" Gue memasukan ponsel gue ke dalam saku setelah mengirimkan pesan singkat pada Bisma. Sementara itu masih tetap stay di atas ranjangnya, Bisma menatap kosong pada pena di tangannya.
"Nyatanya juga gue lemahkan (sebutnamakamu)­" batinnya.

Bip bip bip bip siiing bip bip bip bip...

Bisma melirik ponselnya. Satu pesan dari (sebutnamakamu)­ tertera di layarnya. Entah kenapa kali ini hatinya tergerak untuk meraih ponselnya walaupun awalnya ia enggan.

From: sese
Bi kamu dimana? Kurang lebih 30 menit lagi pesawat aku take. Kamu anter akukan bi? Aku tunggu kamu sampe 30 menit ke depan di Bandara. Aku harap kamu cuma terjebak macet dan datang sebelum aku berangkat. Miss you bi :*

"Hhhh... Sms loe cuma buat gue... Arggha!" Bisma bangkit dari ranjangnya dengan tergesa-gesa. Diliriknya jam dinding kamarnya. Pukul 16.26 itu artinya dia hanya punya waktu 29 menit untuk sampai di bandara. Meskipun mungkin dia tak akan sampai pada gadisnya itu.

***

"Mah..." Gue mulai berkaca-kaca saat petugas bandara mengumumkan lewat pengeras suara bahwa pesawat gue akan berangkat dalam waktu 10 menit dan itu artinya gue harus menuju kabin pesawat sekarang. Tampak Ilham mulai berpelukan sebentar dengan keluarganya. Gue mengalihkan pandangan gue pada mama dan papa. Seolah mengerti, papa angkat bicara.

"Nanti kalau Bisma ke rumah, papa akan menyuruhnya menelponmu secepatnya" ujar beliau menenangkan. Yap, tepat! Sampai detik ini Bisma belum juga datang. Bahkan setelah gue nungguin dia selama ini. Apa kemacetan Bandung melebihi kemacetan Jakarta? Sampe ke bandara pun setengah jam dia belum dateng-dateng!

"Iya, lagian nantikan kamu bisa telpon dia dan tanyain kenapa gak dateng. Jangan cengeng gini aah" tambah mama. Gue mengangguk mencoba tak meneteskan airmata gue.
"Permisi om, tante. (Sebutnamakamu)­ kita harus masuk sekarang" Ilham menghampiri gue dan keluarga gue.
"Iya nak, hati-hati di Jakarta dan tante tolong titip (sebutnamakamu)­ sama kamu yah" pesan mama
"Pasti tan, (sebutnamakamu)­ aman kok sama saya. Om sama tante bisa jamin itu" ujar Ilham tegas.

"Baiklah om dan tante percaya sama kamu. Anak papa di Jakarta jangan nakal ya" papa mengusap rambut gue lalu menciumnya. Gue membalasnya dengan anggukan.
"Inget pesan mama di rumah tadi" mama memeluk gue sebentar dan lagi-lagi gue hanya mengangguk.

"Ma, Pa kalo gitu (sebutnamakamu)­ berangkat dulu ya." Gue menyalimi kedua telapak tangan orang tua gue.
"Hati-hati"
"Ayo (sebutnamakamu)­ gue mengangguk lalu menarik koper gue menuju kabin pesawat beriringan dengan Ilham. Saat hendak mnyerahkan tiket pesawat, mendadak gue menoleh kembali ke belakang. Berharap Bisma datang dan melepas gue seperti empat tahun lalu.
"Ternyata cuma perasaan gue doang" gue menunduk lesu

"Ayo (sebutnamakamu)­ kita bisa ketinggalan pesawat ini" seru Ilham. Gue menganggukinya lalu kembali menarik koper gue memasuki kabin pesawat.
"Jangan cengeng! Gue gak pernah jauh dari loe, selalu ada di deket loe bahkan tanpa loe sadari" kalimat-kalimat­ Bisma dulu kembali terngiang di telinga gue.
"Aku yakin kamu pasti ada di deket aku Bis" batin gue lesu.

Sementara itu di balik tiang bermotiv coklat jati tak jauh dari kabin pesawat, Bisma mengepalkan tangannya kuat.
"Sorry bukan gue gak mau nganter loe. Tapi gue takut ngga bisa ngelepas loe"

***

Gue menarik koper gue mengikuti Ilham memasuki sebuah penginapan yang akan kita huni selama dua pekan ini. Ilham tampak berjalan menuju meja reception sementara gue sibuk dengan ponsel gue sendiri. Tepatnya pada Bisma.

"Bisma angkat telponnya sih!" gue ngedumel dalam hati sambil terus mencoba menghubungi Bisma tapi, hasilnya nihil. Bisma ngga juga ngangkat telpone gue.
"kamu kenapa sih? Angkat telpone aku bi"
"terimakasih ya mba. Ayo (sebutnamakamu)­"

Ilham memalingkan wajahnya ke arah gue sambil memegang dua buah kunci kamar kami. Sedangkan gue yang belum sadar akan Ilham masih terfokus dengan layar ponsel gue. Ilham menghela nafas, dia tau (sebutnamakamu)­ sedang menghubungi Bisma karna sejak tadi (sebutnamakamu)­ terlihat bingung sendiri.

"hei" Ilham menepuk bahu gue pelan membuat gue terlonjak.
"eeh iya Ham kenapa?" gue menoleh pada Ilham.
"hhh...nih kunci kamar loe. Gue kamar 270 loe kamar 271" Ilham menyerahkan kunci bergantungan kayu berwarna coklat dengan tulisan latin.

"ooh-eeh iya thanks!" gue menerima kunci dari Ilham
"ya udah ayo kita ke kamar masing-masing. Loe ngga mungkin berdiri di sini teruskan sambil nunggu Bisma angkat telpon loe?" sindir Ilham lalu berjalan melewati gue.
"iih, Ilham tungguin"

***

gue suka dia, mungkin ini karma gue karna dulu bilang kalo gue gak punya perasaan...

Bisma menghentikan aktivitasnya mengetik di laptop. Dia menatap tulisan kesal lalu menghapusnya. Ini sudah ketiga kalinya ia menghapus kata-kata tokoh wanita dalam novelnya.
"ngehe lah. Daritadi gue ngetik ngga ngena di otak! Shit damn it!" Bisma menutup laptopnya kesal. Enggan melanjutkan ketikan novelnya. Padahal ia tahu, seminggu lagu novelnya harus selesai. Bisma di kejar deadline!

"gue ngga bisa, gak ada loe yang jadi penyemangat gue buat nulis. Gak ada loe yang selalu gue jadiin tokoh gue. Gue gak bisa? Shit! Deadline gue kacau sekarang. Arrgghh..."

***

Usai makan malam di restoran Hotel. Gue dan Ilham kembali ke kamar masing-masing. Mengistirahatka­n tubuh juga fikiran untuk pameran besok.
"Bisma kenapa gak nelpon juga? Sms juga ngga ada" gue menatap layar ponsel gue sedih.

Perlahan jemari gue mulai menari lincah di atas keypad. Setelah apa yang gue ketik selesai, gue mencari kontak name Bisma lalu mengirimnya.
"semoga ngga cuma di baca aja, tapi juga di balas" batin gue berharap.

**

Bisma memetik senar gitarnya asal. Jemarinya berhenti bermain saat dering ponsel di kantong celananya mengusik aktivitasnya kini. Bisma merogoh sakunya mencari ponsel Blackberrynya. Dilihatnya sebuah pesan dari kekasihnya. Bisma menghela nafas sejenak lalu membuka pesan tersebut.

From: Sese
kamu dimana? Aku telpone sejak aku berangkat sampai tiba di jakarta sekarang kamu gak bales sms aku. Kamu marah sama aku? Aku ada salah apa? Bilang sama aku bi, tapi jangan diemin aku kaya gini. Kalo kamu baca, bales sms aku.

Bisma menghembuskan nafas berat. Di liriknya laptopnya di atas meja lalu pandangannya beralih pada kalender.
"gue butuh loe buat nulis."gumamnya­. Bisma melihat handphonenya. Di carinya sebuah perekam atau voice note. Bisma berniat mengirimnya pada (sebutnamakamu)

***

baru saja gue hendak memejamkan mata ponsel gue berbunyi. Cepat-cepat gue bangun dan berjalan menghampiri meja rias. Dahi gue berkerut. Bisma ngirim voice note?

"hei, gimana Jakarta? Apa macetnya sama kaya Bandung? Tentu lebih macet Jakartakan? Hari ini loe cantik (sebutnamakamu)­. Gue suka sama dress putif soft yang loe pake. Apalagi sekarang di tambah kalung dari gue. Loe manis" gue mengernyit. Darimana Bisma tau gue pake itu semua hari ini?

"loe jelek tadi. Apalagi pas muka loe merah nahan tangis. Dasar cengeng. Berapa kali sih gue harus bilang? Jangan cengeng! Gue selalu ada di deket loe bahkan tanpa loe sadari itu"
"ja..jadi Bisma dateng tadi? Tapi, kenapa gak temuin gue?" batin gue bertanya-tanya

"gue tebak, sekarang loe pasti lagi ngomong sendiri 'darimana Bisma tau semua itu?' hhh... Gue dateng, gue gak lupa apalagi kejebak macet buat ke bandara. Gue... gue cuma takut" ucapnya lirih. Gue masih diam menyimak perkataan Bisma.

"gue takut gak bisa nahan diri gue buat cegah loe ke Jakarta. Gue takut gue malah meluk loe dan ngga akan ngelepasnya. Gue takut loe marah nantinya. Jadi, gue lebih milih merhatiin loe dari jauh. Sekarang loe ngertikan?" gue tersenyum lalu mengangguk.

"gue benci sama diri gue yang ga bisa profesional sekarang" lanjut Bisma.
"gue di kejar deadline sama Felix. Dan gue harus serahin naskah novel gue minggu depan. Shit! Setengah dari novel itu pun gue belum selesai" ujarnya emosi.

"itu semua gara-gara loe" gue terbelak mendengar kata-kata Bisma.
"gara-gara loe yang kali ini gak ada buat nemenin gue ngetik. Gak ada loe tokoh utama gue. Dan gak ada loe... semangat gue" lirih Bisma lalu pip. Voice note itu berakhir di situ.

Gue menarik nafas berat. Tiba-tiba ponsel gue berbunyi. Bisma calling. Dengan ragu gue menekan tombol berwarna hijau dan mendekatkannya ke telinga.
"ha..halo bi"
"..."
"maaf, aku gak maksud buat kamu kacau. Ga maksud buat ka.."

Aku yang pernah...
Engkau kuatkan...
Aku yang pernah, kau bangkitkan
Aku yang pernah, kau beri rasa....

Saatku terjaga...
Hingga ku terlelap nanti
Selama itu aku akan selalu
Mengingatmu....

Kapan lagi ku tulis untukmu
Tulisan-tulisan­ indahku yang dulu
Pernah warnai dunia puisi terindahku hanya untukmu

Saat ku terjaga
Hingga ku terlelap nanti
Selama itu aku akan selalu
Mengingatmu...

Kapan lagi ku tulis untukmu
Tulisan-tulisan­ indahku yang dulu
Pernah warnai dunia puisi terindahku hanya untukmu

Mungkinkah kau kan kembali lagi
Menemaniku menulis lagi
Kita arungi bersama
Puisi terindahku hanya untuk...mu
(Jikustik-Puisi­)

Bisma menghentikan nyanyiannya. Dia memang lemah, tapi selalu berpura-pura kuat dan dia... manja...
"Bisma... aku..."

"tidur sana udah malem" Bisma memotong perkataan gue.
"maaf..."
"hhh... Ngapain minta maaf? Loe ngga salah. Gue aja yang terlalu bergantung sama loe" bantah Bisma.
"maaf ya bi..."
"berapa kali gue harus ngomong? Tidur sana" suruh Bisma.

"aku belum ngantuk." sahut gue cepat. Bisma diam.
"bi..."
"jangan deket-deket sama Ilham. Aku gak suka!" gue tertawa kecil mendengarnya.
"kamu tuh aneh! Gak deket-deket gimana sih orang aku sama dia temen baik. Apalagi kita ke Jakartakan buat tujuan yang sama. Kamu itu berle..."

"berlebihan maksud loe? Cemburu sama pacar berlebihan?" protes Bisma
"apa apa? Kamu bilang apa? Cemburu? Sama Ilham? Hahaa :D ciyee yang cemburu :p" ledek gue
"intinya gue gak suka loe sama Ilham titik!"

"hahaa iya-iya."
"aku serius (sebutnamakamu)­. Tatapan mata dia ke kamu itu beda, aku bisa rasain itu" ucap Bisma serius.
"iya Bisma bawel. Kamu kaya mama aku aja iih ceramah mulu"
"gue ngasi tau buat kita berdua" elaknya.

"huh apa kata kamu aja deh ya. Aku udah ngantuk nih Bis, kamu juga besok harus kuliah kan? Nice dream yaa bi. Good night" ucap gue panjang lebar.
"eeh (sebutnamakamu)­ jangan di matiin" cegah Bisma.
"apalagi Bis? Serius deh aku ngan.."

"ik hou van jov, alleen jij en alleen jij" potong Bisma cepat. Gue tersenyum mendengarnya.
"ik hou van jov juga Bisma" balas gue.
"ya udah istirahat. Mimpiin gue, jangan mimpiin Ilham -_-"
"iya-iya. Udah aah, gak tidur-tidur aku. Good night!" klik. Gue memutuskan telpone.

***

Gue meraba-raba mencari ponsel gue yang berbunyi pagi ini. Setelah dapat, gue menekan tombol hijau dan menempelkannya pada telinga.
"belum bangun?" sapaan pagi dari sebrang sana membuat gue sedikit menggeleng
"belum. Telpon nanti aja ya" ujar gue dengan mata tertutup.

"ckck. Bangun yang, udah pagi" bisik Bisma lembut
"iya ma ntar (sebutnamakamu)­ bangun. Lima menit aja yah ma" kata gue belum sadar. Lihat Bisma, dia menggelengkan kepalanya menahan gemas.
"aku Bisma bukan mama kamu"


To be Continue

Stay Close, Dont Go!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang