Quiet people have the loudest minds
-Stephen Hawking
Gita
Gita's to do list
Finalisasi revisi proposal mata kuliah research (Deadline Jam 00:00)
Gita merenggangkan jari-jarinya. Suara kenalpot bising motor yang beberapa menit lalu ditumpanginya berubah samar hingga hilang sepenuhnya saat bersatu bersama kebisingan kota Jakarta.
Lengan Gita pegal bukan main karena keharusan memeluk buku di depan dada sambil menjaga keseimbangan di atas motor Rama.
Saat pemuda itu menghilang dari pandangan, Gita baru berani menyunggingkan senyuman yang sejak tadi ditahannya.
Berdebat dengan Rama memang tidak ada habisnya, tapi anehnya Gita tidak lagi keberatan akan hal itu.
Awalnya, Gita yakin Rama sama saja dengan pemuda-pemuda lain yang berusaha mendekati dirinya karena rasa penasaran. Bagi Gita, dengan terus bersifat ketus, lama-lama mereka akan sadar bahwa Gita memang "berbeda" dan pergi dengan sendirinya.
Namun hal tersebut tidak bekerja dalam menghadapi Rama. Semakin ketus Gita, maka semakin lebar senyuman di wajah pemuda nyentrik itu.
Gita kesal bukan main dengan kenyataan itu. Kemudian melihat Rama tetap tidak berniat meninggalkannya bahkan saat Gita berteriak mengeluarkan semua isi kepalanya tanpa saringan, Gita mulai menerima kenyataan bahwa mungkin ada sesuatu yang salah di otak Rama dan membuat pria itu bertahan di sisinya.
Rama jelas berbeda dengan kawanan pemuda berandalan yang dikenalnya sejak ia pindah ke Jakarta.
Rasanya menyenangkan punya seseorang yang siap menampung semua keluhan serta kesinisan yang selama ini Gita simpan sendiri di dalam kepalanya. Kehadiran Rama memberikan kesempatan untuk menyuarakannya keras-keras sampai hanya rasa lega yang tersisa.
"Maaf saya terlambat," ucap Gita saat memasuki ruangan dengan empat meja dengan komputer berjejer rapi.
Ruangan yang diperuntukkan pada proof reader memang jauh dari kesan glamour. Sebaliknya, ruangan bernuansa putih ini bebas dari perabotan selain meja, kursi, komputer, dan pendingin ruangan. Mungkin disengaja untuk menjaga konsentrasi dalam memeriksa surat kabar yang akan naik cetak pada malam yang sama.
"Belum datang, kok, naskahnya," jawab seorang wanita berblus putih di balik mejanya.
Gita sempat bertukar pandang sejenak dengan Bu Lasmi, supervisornya, sebelum wanita itu kembali mengarahkan pandangan ke layar komputer.
Ruangan kembali sunyi senyap. Penghuni lain, Jessica, yang seperti biasa tidak repot-repot menyapa Gita, juga tampak sibuk memperhatikan layar komputer di hadapannya.
Suara pintu di belakang Gita terdengar lagi.
"Selamat sore semuanyaaaaa!"
Seruan itu terdengar bersamaan dengan kemunculan gadis dengan helm pink.
Bu Lasmi dan Jessica hampir bersahutan saat menjawab salam gadis bernama Lala itu dan kini mereka bertiga tengah mentertawai hal itu. Wajah Bu Lasmi berubah cerah, ia bahkan bangkit berdiri untuk mendekat ke meja Lala.
Gita terkadang mengagumi Lala, kehadirannya dalam sekejap dapat membuat suasana menjadi lebih hidup dan nyaman. Rasanya seperti selalu ada matahari, pelangi, awan warna-warni yang menyertai kehadiran gadis tingkat pertama di bangku kuliah itu.
"Kak Gita! Aku melihatmu di depan tadi. Aku berusaha memanggilmu, tapi sepertinya kamu tidak mendengar," seru Lala sambil sibuk melepaskan helm dari kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Side by Side [SUDAH TERBIT]
ChickLit"Tapi apa sebenarnya yang harus kamu lakukan untuk memenangkan taruhannya?" "Gampang. Kita hanya harus berpacaran." Bagi Rama, masa kuliah adalah masa-masa penuh kebebasan dan waktu untuk bermain-main sepuasnya. Sementara bagi Gita justr...