Chapter 1 - Interview

329 20 0
                                    

"Addie!" aku mendengar suara melengking Drew memanggil, membuat siapapun yang mendengarnya terbangun dari tidur.

"Addie!" ia memanggil lagi, kali ini disertai ketukan pintu.

"Ya aku bangun!" sahutku. Cahaya matahari pagi menelisik masuk di sela-sela tirai jendela yang tidak tertutup rapat, hampir menyinari seluruh bagian kamar tidurku. Dengan segenap kekuatan yang kumiliki, aku mencoba untuk duduk dan mengangkat tubuhku dari tempat tidur, bergegas menuju kamar mandi.

Tetes demi tetes air hangat entah bagaimana mengendurkan otot dan syaraf-syaraf ku setelah kemarin kami —Drew, aku, dan crew lainnya— dikejar oleh deadline yang membuat kami bekerja lembur. Aku sudah menghabiskan waktu hampir 3 tahun sebagai salah satu anggota dari editorial team di American Vogue, salah satu majalah bergengsi di Amerika. Semua nya bermula di Parsons School of Design, kami mengambil jurusan fashion design. Kami bertemu disana. Drew adalah roommate ku, dan tentu saja ia adalah teman baikku, yang terbaik dari yang paling baik —he's gay by the way. Semua orang di Parsons menyukai Drew, dia lucu, asik, dan bonusnya, ia tampan.

Oke, kembali ke Parsons. Bulan bulan terakhir disana sangatlah menyiksa, aku mulai menangis, panik, stres, dan aku merasa seperti aku tidak bisa bahagia lagi. Sejujurnya, aku tidak pernah membayangkan kehidupan setelah kuliah. Semua orang mulai mencari pekerjaan & aku bahkan tidak bisa menyelesaikan tugas terakhir sampai akhirnya Drew mengusulkan sebuah ide, menjadi seorang fashion intern di Vogue. Hari dimana amplop berlogo Condé Nast tergeletak di lantai apertemen, kami sangat terkejut. Suratnya dimulai dengan tulisan 'Congratulations! you have been chosen as a Fashion Intership at Vogue!' dan didetik berikutnya aku menjerit seperti seseorang yang baru saja memenangkan lotre sejumlah 1 miliar dollar, atau lebih. Aku & Drew sangat bahagia, merasa bangga dan puas karena semua kerja keras kami akhirnya terbayar. Bahkan kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk menangis.

Bulan pertama di Vogue sangatlah sulit bagiku, bagaimana tidak? setiap paginya kau harus membeli belasan cangkir kopi & teh untuk atasanmu, mengangkat telfon dari ratusan orang —beberapa dari mereka sangat tidak ramah— membuat salinan dari sebuah artikel, merapihkan pakaian yang berserakan di dressing room dan mengembalikan puluhan pakaian, kosmetik serta aksesoris yang sudah tidak terpakai ke designer masing-masing. Hal positif menjadi seorang fashion intern yaitu aku bisa menyentuh barang-barang bernilai puluhan hingga ratusan juta yang biasanya hanya bisa kulihat dibalik kaca.

"Addie apa yang kau lakukan didalam sana?!" suara Drew menyadarkanku bahwa hari-hari berat itu sudah berakhir.

"I'm coming!" selama itukah aku berada di kamar mandi sampai ia harus meneriaki ku?

Aku menutup keran air dan membalut tubuh basahku dengan sebuah kimono berwarna merah muda kemudian berlari kecil menuju meja rias. Holy shit. Mulutku terbuka lebar ketika kubaca kertas kuning yang menempel di kaca. Meeting with Anna Wintour today 9 am —dan aku hampir melupakannya. Aku memilih bodycon dress berwarna merah yang kupadukan dengan Burberry Trench Coat, memakai makeup senatural mungkin dan menggerai rambut cokelatku.

Kring.... suara bising telfon memenuhi setiap sudut ruangan apertemen ini. Aku berlari menuju ruang TV dan melihat Drew sudah menggenggam telfon di tangannya. Ia mengenakan sweater hitam ditambah jaket kulit hitam yang dipadukan mantel raglan hitam.

"Drew speaking."

"Tunggu," Drew menunjuk selembar kertas dan pulpen yang berada di atas meja, mengisyaratkanku untuk memberikan kertas & pulpen itu padanya. "Yes, please continue."

DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang