Chapter 4 - Alex?

136 18 1
                                    

Aku menaikkan sebelah alisku, tidak mengerti apa yang sedang pria ini lakukan. Kepalaku menoleh ke kanan dan kiri namun tidak ada orang lain melainkan kami di lift ini. Apakah ia bisa melihat hantu? Tidak, tidak mungkin. 

"Apa?" tanyaku kasar.

"Tidak apa-apa, maaf." ia memungut ponselnya yang terjatuh dilantai lift, theme sound Candy Crush Saga memenuhi setiap sudut ruangan persegi ini. Pria itu menatap tombol-tombol lantai di dinding lift satu persatu lalu mengernyitkan alisnya.

"Kau belum menekan tombolnya?" ia menolehkan kepalanya kepadaku sembari menaruh ponselnya disaku celana.

"Aku tidak mempunyai kartu akses." ujarku.

"Kau bisa memakai kartuku, kamarmu dilantai berapa?"

"Delapan." dan lagi-lagi ia membelalakan matanya.

"Kau serius? lantai delapan itu ballroom, apa yang kau lakukan di ballroom?"

"Apa? Kau mengejekku ya?" ia membuka mulutnya untuk mengatakan seseuatu namun terhenti olehku.

"Tidak, cukup. Kau tahu? hari ini adalah hari terburuk didalam hidupku. Aku tidak butuh seseorang untuk membuatnya lebih buruk untukku." lanjutku sembari melipat kedua tanganku di dada. "Ethan Holmes-"

"Ethan Holmes? Maksudmu Ethan-" ia memotong kalimatku.

"Aku belum selesai!" aku menatapnya sinis kemudian melanjutkan ceritaku tentang betapa sialnya aku hari ini dikarenakan Ethan yang menolak wawancara ku. Wajahnya terlihat seperti menyembunyikan seseuatu ketika aku bercerita tentang Ethan. Aneh. Mata coklatnya terus menatap mata biruku, mulutnya masih tidak mengeluarkan sepatah katapun dan suasana lift menjadi sangat sunyi. Aku menatapnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Rambutnya terkesan berantakan namun tidak menghilangkan sisi kerennya, rahangnya kokoh and damn look at that pink kissable lips! 

Tunggu, tunggu, apakah ia mengenakan mantel Saint Laurent? Sialan.

Aku berusaha untuk menutupi rasa kagetku. Seingatku tidak ada satu orang  pun di Union Plaza yang bisa membeli mantel Saint Laurent yang harganya setara dengan harga sewa apertemen selama 6 bulan. Aku juga tidak pernah melihatnya disekitar Union Plaza, apa mungkin ia baru pindah? Aku melirik dinding lift untuk mengecek tombol lantai yang ia tekan. Lantai 46. Wow, dia pasti baru- What the hell? Am I lost? Union Plaza hanya memiliki 10 lantai! Ekor mataku menjelajahi setiap sudut demi sudut lift sampai aku menemukan sebuah tulisan. The Atelier. Aku terkejut bukan main ketika melihatnya. 

"Apa?!" dan detik berikutnya perutku terasa mual dan ingin muntah lagi. Aku membekap mulutku lalu salah satu tanganku berpegangan pada dinding lift.

"Kau tidak apa?" pria itu berusaha untuk membantuku berdiri tegak. Aku mengangguk lemah dan mencoba untuk tidak memuntahkan isi perutku tetapi ketika aku hendak kembali berdiri tegak, semua vodka yang kuminum keluar dari mulutku. Kepalaku terasa pening dan- 

"What the fuck?!" hal terakhir yang kulakukan adalah memuntahkan isi perutku yang masih tersisa. Lebih tepatnya, memuntahkan semua isi perutku ke mantel pria itu. Ya, mantel Saint Laurent yang harganya setera dengan harga sewa apertemen. Yang lebih mengejutkan, tangannya masih melingkar di bahuku, malahan ia merogoh saku celananya dan memberikanku sebuah sapu tangan dengan design khas Burberry. Even his handkerchief is a fucking Burberry. Dengan berat hati, aku menarik sapu tangan itu dan mengusapnya ke mulutku. 

"Apa yang kau lakukan?" aku mendorong tubuhnya ketika aku menyadari tangannya masih berada dibahuku.

"Hey! kau seharusnya berterima kasih kepadaku." 

Aku membuka mulutku untuk berbicara namun tubuhku terlalu lemas untuk melakukannya, mataku mulai terasa sayup dan tubuhku benar-benar terasa sangat lelah, ia menyentuh lenganku namun aku dengan cekatan menangkis tangannya. 

"Ya Tuhan, kenapa aku selalu berurusan dengan orang mabuk." gumamnya.

Ting.

Pintu liftnya terbuka dan menunjukkan lobi mewah bernuansa hitam dan putih. Sebuah meja kaca besar berada ditengah ruangan, dilengkapi dengan vas bunga besar diatasnya. Dibelakangnya terdapat sepasang pintu bercat putih. Lukisan dan foto-foto yang menempel di dinding mengelilingi ruangan ini. 

DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang