Episode 8

245 21 6
                                    

     Aku digiring Viyo menuju sebuah rumah besar yang tak kutahu pemiliknya. Luas halamannya mungkin sama dengan luas rumahku sendiri.

"Kamu mau ngajak aku ngrampok disini?"

"Ngomong apa sih lo! Gue mau ngajak lo ketemu nyokap gue."

"Buat apa?" tanyaku bingung.

"Kali aja lo mau daftar jadi calon mantu keluarga ini?" tawar Viyo sambil mengedipkan sebelah matanya menggoda.

"Nggak akan!" Lalu tanpa menunggunya aku mengetuk pintu rumah.

       Harus kuakui aku kagum dengan desain rumah ini. Sederhana tapi terlihat mewah. Saat aku hendak mengetuk pintu, ternyata seorang wanita empat puluhan tahun keluar dengan sangat anggun. Dia tampak terkejut melihatku bersama dengan Viyo.

"Ini siapa, Yo?"

"Temen, bu."

"Yaudah yuk masuk."

     Dengan itu ibu Viyo menggiringku masuk ke dalam rumah. Aku dengan kagum melihat seisi rumah. Aku tak percaya jika rumah semewah ini memiliki ruangan yang sangat sangat tradisional. Sekat antar ruang dengan ukiran kayu antik, juga jangan lupakan lukisan abstrak serta patung kayu yang tersebar di seluruh ruangan. Demi Tuhan aku menyukai ini,

"Namamu siapa, nak?" Ibu Viyo menanyakan namaku.

"Namaku Frieska, tan."

"Panggil aja ibu. Nama ibu Sri Lintang, ibunya Viyo." aku hanya tersenyum.

      Tak tahu kemana aku diarahkan karena akupun tahu bahwa kami telah melewati ruang tamu sedari tadi. Akhirnya ibu berhenti didepan pintu antik yang bahkan mempuanyai lebar dua kali pintu biasa.

"Ini adalah ruang makan keluarga kami. Mari masuk." ajak ibu Viyo sambil membuka lebar pintunya. Aku ternganga melihat keindahan didalamnya. Semua serba tradisional, kental sekali kejogjaannya.

"Kamu orang pertama lho yang diajak Viyo kerumah." Aku orang pertama yang kesini? Sungguh suatu kesenangan tersendiri. Apalagi Viyo sendiri yang mengajakku kemari. Bagaimana bisa itu terjadi?

"Kita makan dulu ya." Ajak Viyo sambil menuntunku masuk ke dalam ruang makan. Tanpa sadar Viyo menggenggam erat tanganku dan aku tak menolaknya. Entah sejak kapan perasaan hangat ini muncul. Aku bahkan tak tahu kapan aku mulai membuka hati selain kepada Ghai.

     Kami makan dengan perbincangan kecil yang mewarnai. Tak banyak memang, tapi menurutku sangat berarti. Ternyata ibu Sri sangat menyukai sesuatu berbau kuliner, tak bisa kupungkiri aku pun sama. Kami banyak nyambung dibeberapa pembicaraan.

      "Yaudah bu, aku mau ajak Frieska ke Andong dulu." andong? Alat transportasi itu? Mana ada andong disini. Yang ada becak, iya. Viyo benar-benar aneh.

     Selesai berpamitan aku diajak Viyo lagi ke sebuah sawah yang sangat jauh dari rumahnya. Aku kira ini sudah tidak di Jakarta lagi. Diperjalanan yang kulihat hanya pohon-pohon besar dipinggir jalan.

        Viyo memarkirkan motornya didepan pondok tengah sawah. Mana andongnya kalau seperti ini? Jangankan kereta andongnya, kudanya saja tak ada.

"Dimana andongnya?"

"Ini andong."

"Hah?"

"Iya. Sawah ini punya banyak cerita sedari dulu. Makanya sama bapak ibu dikasih nama andong. Aneh ya?"

"Gak juga. Enak disini, udaranya masih segar." entah keberanian darimana tiba-tiba saja aku berputar seakan-akan ini adalah kebebasanku.

       "Yuk masuk. Lo bakal lihat kerennya andong waktu malem." Viyo langsung mengajakku masuk kedalam pondok luas itu.

STAND UP!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang