Author: evazsl
–––––––Gadis itu tersenyum lembut menatap sepucuk surat yang baru tiba di genggamannya, surat yang selalu ia nantikan. Sejenak ia terpaku, sungguh sampul surat yang sangat cantik. Sangat!
"Kau gila?" Dera menatap sepupunya itu penuh tanya.
"Diamlah Dera, aku sedang merindukannya," sahut Melda dengan mata yang tak tertarik sedikitpun menengok ke sepupunya.
"Sedang apa kau di sana? Cepat pulang," sementara Dera hanya memutar malas kedua bola matanya sambil lalu.
Perlahan ia membuka surat cinta dari kekasihnya yang amat jauh dari tempatnya berada. Senyumnya kian merekah kala membaca setiap kata yang tertulis rapih di permukaan kertas putih itu. Sungguh, dia sangat bahagia. Sudah hampir dua tahun kekasihnya pergi merantau mencari peruntungan di kota metropolitan. Melda beruntung karena tak pernah satu kali pun pujaan hatinya absen mengirim surat. Seperti ia akan mendapat energi baru di setiap bulannya di tanggal yang sama dengan resminya Melda dan Rian bersama.
"Terimakasih! Terimakasih!"
Itulah kata yang selalu terucap di benak Melda, ia tahu betul kekasihnya tidak akan melupakan dirinya.
Hanya bermodal kepercayaan, pengertian dan rasa kasih yang akan selalu ia ingatkan pada dirinya sendiri.
Namun ia terhenyak saat membaca satu bait kecil di balik surat itu.
"Jangan marah, ini adalah pesan terakhirku untukmu. Jangan salah paham dan mengira yang bukan-bukan. Aku tetap milikmu. Namun maaf, ini adalah terakhir kali aku mengirim surat."
Apa ini? Baru saja Melda serasa melambung tinggi, jauh terbawa angan, tapi ia harus merasakan sesuatu yang tidak ia ketahui maksudnya. Apakah kekasihnya menyatakan berpisah? Tapi bukankah ia mengatakan mencintai Melda dalam suratnya?
Ingin menangis, tapi untuk apa? Hey! Rian mencintai Melda! Melda mengerang frustasi, sebagai gadis desa yang amat sangat polos ia tidak cukup pandai mengartikan maksud tersembunyi dari kekasihnya yang kini telah berpendidikan di kota seberang.
Kini gadis berambut tergerai menjuntai indah itu hanya mampu melipat kembali kertas itu dalam diam.
°°°°
Sudah satu bulan tepat dari terakhir kali surat itu dikirim, tapi tak ada surat lagi. Biasanya akan ada pengantar surat yang berbaik hati menjangkau desanya hanya untuk memberikan surat dari pengirim yang sama untuknya pada pagi hari.
Melda menunggu, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu.
Sungguh, Melda jenuh kali ini.
Surat terakhir.. terakhir kali mengirim surat
Apa maksudmu? Kau mencoba menipuku? Sebentar lagi suratmu datang 'kan?Kira-kira seperti itulah rapalan-rapalan yang selalu menggema dalam hati Melda. Setidaknya sampai detik ini.
Entah sudah berapa lama ia berada di bilik itu, Melda tidak tahu apa yang membawanya hingga kakinya terasa amat ringan hingga berakhir di pemberhentian angkutan umum di pinggir desanya. Jalan yang sempit, berbatu dan berkerikil. Sudah beberapa bebatuan kecil itu menjadi korban dari kaki mungil Melda. Ia hanya sedang berspekulasi, apakah Rian akan pulang?
Lama ia tertunduk meneror kerikil-kerikil kecil di bawahnya. Bahkan suara langkah yang perlahan mendekatinya pun tidak ia hiraukan.
"Merindukanku?"
Melda merasa gila, bahkan di saat seperti ini bisa-bisanya ia mendengar suara aneh di kepalanya.
"Hey."
Tapi, dia tidak gila. Suara itu nyata.
"Merindukanku?"
Melda mendongak dan menemukan sosok itu sudah mendekapnya erat. Sangat erat. Surat itu tak akan pernah datang lagi.