Author: helloiamx
***Mereka bilang, saat kamu mengalami koma, kamu tetap bisa mendengar suara-suara orang terkasihmu yang sedang mengharapkan matamu segera terbuka.
Mereka juga bilang bahwa kamu tetap merasakan kerinduan. Ingin sekali rasanya membuka mata, ingin sekali mengatakan bahwa kamu baik-baik saja. Namun, semua itu tak bisa sebelum Tuhan menghendakimu untuk sadar.
Sekarang pertanyaannya adalah : apa itu benar?
Jawabannya adalah ya. Nyatanya ia mengalaminya sendiri. Saat mengalami koma selama hampir tiga minggu. Ia merasakan semua yang orang katakan saat koma. Ia merasakan rindu yang hebat di hatinya. Terpendam dalam. Jauh. Tak terucapkan.
***
Lagi-lagi pria itu mengambil posisi yang sama. Pria itu menggenggam tangan gadis yang masih tak kuasa membuka mata di hadapannya.
Ia mengelus tangan gadisnya lalu membisikkan kalimat yang sama, "Cepet bangun, princess."
"Arkan," sapa seseorang dari balik pintu, "udah sampe aja," lanjutnya.
"Eh, iya, Tante." Pria itu menoleh lalu tersenyum.
Wanita paruh baya itu berjalan ke arah Arkan—pria itu—lalu duduk di sebelahnya. "Apel pagi ya?"
"Anggep aja gitu, Tan," sahut Arkan tertawa kecil. "Kangen Lidya, Tan," katanya lagi.
"Tante juga, Ar. Kondisi Lidya membaik kok, semoga aja cepet bangun. Udah hampir tiga minggu," jelas wanita itu.
Lidya—gadis itu—tetap memejamkan matanya.
"Semoga ya, Tan. Gara-gara tabrakan itu jadi gini. Mobilnya yang nggak hati-hati, Lidya yang jadi korban."
"Doain aja, Ar."
Arkan merasakan ponsel di saku celananya bergetar. Ia mengeluarkan ponselnya.
"Waalaikumsalam," ucap Arkan saat menempelkan ponselnya ke telinga.
Wanita yang ada di sebelah Arkan—ibu dari Lidya—memilih menatap wajah Lidya.
"Tan, aku pamit bentar ya, Tan. Nganter mama mau arisan," pamit Arkan.
Ibu Lidya menoleh lali mengangguk. "Iya, hati-hati."
"Tan, titip ini. Kali aja Lidya bangun aku belum sampe sini, hehe." Arkan menyerahkan satu amplop yang memang ia bawa setiap kali ia berkunjung.
"Oke."
"Makasih ya, Tan."
Arkan keluar dari kamar inap Lidya.
***
Lidya merasa lelah dalam komanya. Rindunya memuncak. Ia masih dapat mendengar tangisan ibunya yang tiba-tiba menjadi setelah menerima telepon.
Lidya memaksa membuka mata. Lemah. Itu yang ia rasakan. Namun, berhasil. Matanya terbuka sayu.
"LIDYA!" Ibunya langsung memeluknya.
Lidya terdiam. "Mama panggilin dokter dulu." Lidya menggeleng pelan.
"Lidya, mama seneng banget kamu udah bangun tapi mama juga sedih." Lidya menyimak.
"Di saat kamu kuat, Arkan...," ibunya menghela napas, "Arkan meninggal, kecelakaan." Ibunya kembali menangis.
"Ini." Ibunya meletakkan amplop di tangan Lidya. Lidya membuka pelan amplop titipan Arkan.
Ia membacanya.
Wake up, princess. I miss you.
Love,
Arkan.***