Melupakannya? Tak Akan!

16K 1.1K 43
                                    

"Liat apa, Sayang? Liat apa?"

"Ahh!!"

Tatapanku tertuju ke arah telunjuknya, aku melihat lampu kamar Kak Scarla. Aku terkekeh lalu kembali menatap bocah kecil berusia setahun setengah yang tak lain adalah keponakanku, anak pertama Kak Scarla dan Kak Avram.

"Itu lampu, Sayang," kataku.

Kenzio mengamati bola lampu sambil menunjuk dengan tangan mungilnya. Karena gemas, aku menarik Kenzo ke dalam gendongan lantas berdiri di dekat ranjang. Tangan Kenzio tetap terangkat menuju lampu dan sesekali berteriak.

"Lampu," kataku ke Kenzio.

Cekrek!

Terdengar pintu terbuka. Tatapanku tertuju ke pintu kamar mandi dan melihat Kak Scarla keluar dengan handuk melilit kepalanya. Saat tatapanku dan Kak Scarla bertemu, ia tersentak.

"Zahya, Kenzio kamu gendong? Nggak berat? Kakimu nggak apa-apa kan?"

Aku terkekeh mendengar ucapan Kak Scarla yang selalu panik jika aku menggendong atau membawa barang berat. Aku tahu Kak Scarla masih mengkhawatirkan kakiku, tapi aku merasa baik-baik saja.

"Nggak apa-apa, Kak. Gendong Kenzio nggak bakal bikin kakiku lumpuh lagi."

"Zahya jangan ngomong gitu!!"

Aku meringis mendengar teriakan itu. Buru-buru kualihkan tatapanku saat melihat raut kemarahan Kak Scarla. Lebih memilih menatap Kenzio yang menatapku dengan kening mengernyit.

"Apa, Sayang? Kamu mengerti obrolan kami?" tanyaku ke Kenzio yang tentu saja tak dijawab oleh bocah itu.

Tubuh Kenzio tertarik, aku menoleh dan melihat Kak Scarla berjalan ke ranjang lalu duduk di sana dengan Kenzio di pangkuan.

"Kakak hanya khawatir ke kamu, Zahya. Kamu tahu kan akibatnya kalau kakimu kena benturan lagi?"

Aku menarik napas panjang, lantas mendekat duduk di sebelahnya sambil memeluk pundaknya. Kak Scarla bersikap seperti ini karena tak ingin aku kenapa-napa, aku tahu itu. Namun, aku seperti dibatasi gerak-gerikku seolah aku gadis penyakitan yang boleh banyak tingkah.

Sebenarnya aku tahu apa pantangan agar kakiku tak lumpuh seperti dulu. Aku selalu menyempatkan istirahat cukup. Sebisa mungkin aku tak terlalu memforsir kakiku, seperti berjalan jarak jauh, melompat-lompat atau berlarian. Aku sangat sayang kakiku, dan tak ingin kakiku lumpuh lagi.

"Maaf kalau omongan Zahya bikin Kak Scarla kesal. Aku tahu batas kemampuanku, Kak. Gendong Kenzio nggak berimbas ke kakiku," ucapku memberi pengertian.

Kak Scarla menatapku sambil berkaca-kaca. Ia terlihat bersalah karena meneriakiku seperti tadi. "Maafin Kakak juga. Kakak hanya khawatir."

"Tenang saja, Kak."

Tatapanku tertuju ke jam di dekat foto pernikahan Kak Scarla. "Yah udah jam segini," kataku kecewa.

"Kenapa?"

Aku mengerucutkan bibirku. Waktu seolah berjalan cepat, tak terasa sekarang sudah jam setengah tujuh malam. Itu artinya sore ini aku tak bisa melihat cahaya kemerahan. Sebenarnya aku tadi ingin pergi ke taman, tapi karena Kak Scarla meminta tolong agar menjaga Kenzio akupun mengurungkan niatku. Pikirku aku bisa pergi setelah Kak Scarla selesai dengan urusannya, yaitu mandi.

"Nggak bisa lihat senja," jawabku.

Kak Scarla menarik napas panjang lalu geleng-geleng. Mungkin Kak Scarla mengira aku telat pergi atau melakukan suatu hal.

"Nggak bosen duduk di taman sambil ngeliat senja?"

Aku menggeleng tegas. Tak akan pernah bosan melihat senja dan mengenang Ahmar. "Ya sudah, Kak. Zahya ke kamar dulu ya," pamitku.

AfterglowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang