VIII. Cinta

98 2 0
                                    

Ruang kuliah. Mika sedang tak bisa berkonsentrasi untuk menerima kuliah dari dosen. Pikirannya masih berkutat dengan suatu pilihan antara menjaga perasaan sahabatnya atau memilih egonya untuk bersama dengan Raffi.

Ketika kuliah selesai, Mika menghembuskan nafasnya kasar. Baru kali ini, dia punya masalah yang sungguh mengganggu belajarnya. Mika pun segera membereskan buku-buku kuliahnya. Tepat saat itu hp-nya berbunyi. Mika melihat nama Raffi di layar hp-nya dan dengan ragu-ragu ia membuka pesan dari Raffi.

Mika, kita harus ketemu. Ada hal penting yang harus aku katakan. Aku tunggu kamu nanti jam 3 sore di taman gereja. Aku mohon kamu datang. Aku akan tunggu kamu sampai kamu datang.

Membaca pesan dari Raffi, perasaannya semakin tak karuan. Sungguh dia tidak ingin melihat Lena terluka, tapi dia jua tidak bisa membohongi perasaannya pada Raffi.

***

Jam tiga sore. Mika ada di kamar sambil memandang air hujan yang turun dengan derasnya. Dia pun berpikir kalau Raffi tak akan datang karena hujan. Namun, pemandangan berbeda di taman gereja. Seorang laki-laki dengan bodohnya membiarkan air hujan membasahi tubuhnya. Raffi ternyata  datang dan tengah duduk di bangku taman gereja menunggu Mika.

Satu jam berlalu. Mika masih belum beranjak dari kamarnya. Ia hanya terus memandang hujan dan sesekali melihat jam.

Dua jam berlalu. Mika telah membulatkan tekadnya. Ia memutuskan untuk menahan perasaannya pada Raffi dan memilih menjaga persahabatannya dengan Lena.

Di taman gereja, Raffi masih  setia menunggu Mika, meski dia sudah menggil kedinginan karena guyuran hujan. Matahari mulai tenggelam dan hujan mulai reda. Tinggal rintik-rintik air hujan yang masih belum mau berhenti membasahi bumi.

Mika memang telah memantapkan hatinya untuk memilih sahabatnya, namun di pikirannya, wajah Raffi selalu muncul. Tiba-tiba terbersit dipikrannya untuk pergi ke gereja, sekedar untuk memastikan Raffi benar-benar tidak datang.

Akhirnya, Mika berjalan menuju taman gereja. Sesampainya di sana, mata Mika menyapu setiap sudut taman dan tidak menemukan siapapun di sana. Ada sedikit kelegaan dihatinya karena pikirannya tepat bahwa Raffi tidak datang. Setelah meyakinkan diri bahwa Raffi benar-benar tidak datang, Mika pun bermaksud untuk pulang. Namun, sebelum kakinya beranjak, terdengar suara samar-samar memanggil namanya.

"Mi... ka...."

Mika membalikkan badan dan mencari sumber suara itu. Tak lama, muncullah Raffi dari samping taman dekat bangunan gereja dengan badan yang basah kuyub dan wajah yang begitu pucat. Mika dan Raffi saling berpandangan. Mika dengan wajah yang penuh kekhawatiran, sedangkan Raffi dengan seulas senyum menandakan kelegaan. "Akhirnya... kamu... datang...," ucap Raffi dengan suara yang semakin tak terdengar.Tiba-tiba, brukk... jatuhlah Raffi. Pingsan. Mika begitu terkejut dan segera berlari ke arah Raffi, mengguncang tubuhnya, mencoba menyadarkan Raffi, tapi tidak bisa.

***

Di sebuah kamar rumah sakit, Mika tengah menemani Raffi yang belum sadar. Mika sungguh tak habis pikir, ternyata Raffi menepati janjinya. Raffi datang dan menunggu sampai ia datang. Perasaan bersalah kini melingkupi hati Mika dan tak sadar ternyata air mata telah jatuh membasahi pipinya. Mika bermaksud menghapus air matanya, tapi tangannya sudah lebih dulu digenggam erat oleh Raffi. Raffi sadar dari pingsannya dan ia menghapus air mata Mika dengan menunjukan senyum lemah di wajah pucatnya.

"Akhirnya kamu datang... ."

"Kenapa kamu senekad ini Fi?! Sekarang lihat akibatnya!" suara Mikaa bergetar.

"Aku cuma mau nepatin janjiku. Aku akan menunggu sampai kamu datang."

"Iya, tapi kenapa kamu sebodoh ini ha?!" air mata Mika tak bisa terbendung lagi.

"Mika..." Raffi menggenggam tangan Mika semakin erat dan matanya menunjukan cinta yang teramat besar. "Aku mencintai kamu."

Mendengar pernyataan Raffi, semakin deraslah air mata Mika mengalir. Sejenak dia hanya terdiam. Ketika pikirannya kembali normal, mulailah ia berbicara. "Raffi, kenapa kamu bilang seperti itu? Seharusnya kamu nggak bilang hal itu ke aku."

"Kenapa? Kenapa aku nggak boleh bilang cinta sama kamu? Apa aku nggak boleh cinta sama kamu? Apa rasa cintaku ini salah?"

"Bukan. Tapi keadaanlah yang salah," sejenak Mika berpikir tentang Lena, tapi sungguh kali ini dia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Dia juga ingin mendapatkan cintanya, maka ia memberanikan diri untuk mengakuinya. "Aku... Aku... juga cinta kamu."

Seulas senyum terlukis di wajah Raffi. "Benarkah? Benarkah kamu juga mencintaiku?"

"Iya... Aku mencintaimu ketika perasaan ini datang tanpa ku minta. Tapi... aku nggak bisa meneruskan perasaan ini."

"Kenapa? Kenapa nggak bisa?" Senyum Raffi menghilang.

"Lena. Lena lebih dulu memiliki perasaan untuk kamu. Aku nggak mau melukai hati Lena dan merusak persahabatanku dengannya. Maafkan aku, Fi." Raffi sungguh tak menyangka ternyata Lena punya perasaan untuknya.

Mika sudah merasa lega telah mengutarakan perasaannya dan kini saatnya dia melupakan perasaan itu. Mika pun bermaksud keluar dari kamar Raffi, tapi tiba-tiba, Lena masuk ke kamar Raffi. Sebenarnya, Lena sudah cukup lama  ada di luar kamar Raffi dan mendengar semua pembicaraan antara Mika dan Raffi.

"Hai, Mik..." sapa Lena dengan senyuman. Mika dan Raffi pun terkejut dengan kedatangan Lena.

"Lena..." ucap Mika tak percaya.

Lena bisa ada di rumah sakit ini karena ketika hendak ke rumah Mika tadi sore, Lena melihat ada kerumunan orang dan ambulans di gereja. Kanera penasaran, Lena mendekat mencari tau apa yang sedang terjadi dan dia melihat Mika yang menangis masuk ke dalam ambulans. Melihat keadaan sahabatnya itu, Lena pun memutuskan untuk mengikuti Mika. Dan sampailah dia di rumah sakit ini.

"Mika, kali ini kamu nggak perlu memikirkan aku. Aku tau kamu dan Raffi punya cinta yang sama. Kamu udah terlalu banyak mengalah demi aku. Tapi untuk kali ini, nggak akan aku biarkan kamu berkorban perasaan lagi demi aku."

"Tapi Len..."

"Mika, aku rela. Aku ikhlas kamu dan Raffi menjalin hubungan. Aku bahagia kalau melihat sahabatku juga bahagia." Lena menggandeng tangan Mika lalu mendekat pada Raffi. Lena menyatukan tangan Mika dan Raffi. "Kalian pasangan yang serasi."

Mika sungguh terharu pada sikap Lena yang begitu dewasa. Mikapun memeluk Lena, sahabatnya, dengan erat dan Lena meyakinkan bahwa persahabatan mereka tidak akan rusak hanya karena seorang laki-laki bernama Raffi. Sambil terus memeluk Lena, tangan Mika pun masih dalam genggaman tangan Raffi. Raffi pun bisa kembali tersenyum karena cintanya terbalaskan.

***

Begitulah cinta menurut Mika. Cinta yang seperti cokelat. Terkadang terasa manis, namun tak jarang juga terasa pahit. Namun, setelah segala kepahitan terlewati, akhirnya manisnya cinta pun tercipta dan kebahagian meliputi mereka yang penuh dengan cinta.

-SELESAI-

Terimakasih untuk semua yang sudah membaca "Cokelat Cinta".
Ini adalah cerita pertama yang saya buat di tahun 2009 . Jadi, kalau sangat sederhana dan banyak kekurangan di sana-sini, mohon dimaafkan.

Mohon coment dan votenya ^_^

Dan.... baca juga cerita-cerita saya selanjutnya ya "Brother " dan "Tetragon".... Semoga di cerita berikutnya bisa lebih baik... Fighting!!!

Cokelat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang