WARNING!
Cerpen ini mengandung unsur horor!
*
"Even so, I still want to believe that she was happy."
- Silent Hill 2
*
Masih jam satu dini hari. Julia sendirian di kamar tidurnya. Kegelapan kamar dirayapi bayang-bayang panel jendela berbentuk rangka hitam tak bernyawa. Dia berpaling pada kalender dinding di samping kasurnya. Tanggal delapan November dilingkari merah dan bertulis: Penjualan Tiket Dimulai!
"Tiket konser Dean Alvarez!" Julia bersorak sendiri. "Aku harus mendapatkan tiket itu!"
Julia segera menyambar ayam jago keramiknya dari meja belajar. Dia melesat turun, ke garasi. Meraih sebatang palu dari kotak peralatan, dia menghantam ayam jago. Keramik pecah beribu serpih. Senyum mengembang pada bibir Julia. Tergesa, dia meraup recehan dan lembaran kumal uang kertas yang tadi dikandung si ayam keramik.
Mata gepengnya berkilat-kilat, mematut-matut uang dalam tangkupan kedua tangannya. Jumlahnya cukup untuk membeli tiket paling murah konser Dean Alvarez. Meski dia akan mendapatkan kursi paling belakang, dan menonton Dean Alvarez seperti sedang menonton seekor semut, dia tidak akan menyesal. Dean Alvarez adalah pianis favoritnya!
"Julia!"
Julia terperanjat, dan buru-buru menjejalkan uang ke dalam saku dasternya. Dia berbalik, memasang wajah ngeri bukan main. Orangtuanya berdiri di ambang pintu garasi.
"Kau sedang apa, Sayang?" ibunya, yang berbadan bulat gempal, bertanya dengan cemas dan menghampiri putrinya.
Julia menggaruk kepalanya. "Memecah celengan."
"Kau ingin membeli sesuatu?" ayahnya gantian bertanya.
Julia terdiam. Mungkin dia bisa meminta bantuan kepada orangtuanya untuk membeli tiket, jadi dia tidak perlu mengantre sepanjang satu kilometer, berdesakan dengan orang-orang bau tengik, dan tentunya tidak perlu menahan kencing agar antreannya tidak diserobot selagi pergi ke toilet. Julia paling benci mengantre. Apalagi berada di tengah keramaian. Rasanya seperti sedang dikerubungi jutaan makhluk berbulu hijau dan bercakar kotor. Jijik.
"Tiket konser Dean Alvarez," jawab Julia. "Dean akan konser di kota kita!"
"Tidak ada konser untukmu, Julia!" ayahnya menimpali ketus. Mata cokelatnya menonjol melebihi batas wajar. Kerutan pada wajah lembeknya terlihat semakin jelas meski keadaan garasi remang-remang berkat satu bohlam telanjang di langit-langit. "Kau tinggal di rumah, dan harus selalu tinggal di rumah!"
"Oh," Julia berkacak pinggang, "jadi aku bisa melihatmu memukul Ibu, dan membiarkanmu menampar wajahku hingga lebam?"
Ayahnya tersentak. "Jaga ucapanmu, Julia! Itu semua masa lalu. Tidak seharusnya kau mengungkit masa lalu yang telah ditinggalkan!"
"Kau Monster!"
Ibunya segera menarik lengan Julia erat-erat. "Julia, dengar, rumah adalah tempat paling aman di seluruh semesta. Dan bagimu, itu sangat benar. Kau harus di rumah saja, Sayang."
"Tapi ...."
Ibunya tersenyum samar. "Kembalilah tidur, Julia. Ibu akan menemanimu."
Julia membiarkan ibunya menggiring dirinya kembali ke dalam rumah. Matanya menelisik mata ayahnya, yang terpaku, dengan menghina dan kecewa. Ayahnya adalah Monster. Monster yang telah melahirkan berbagai Monster lain penghuni jalanan.
***
Julia bangun. Ibunya tidur di sebelahnya, masih lelap. Dia melirik kalender lagi. Matanya enggan beralih dari angka delapan dan lingkaran merah di sana. Dia sangat ingin pergi ke konser itu bagaimana pun caranya. Musik klasik yang mengalun bagai air mengalir adalah hal terindah bagi pendengaran dan jiwanya. Walaupun itu berarti dia harus berada dalam keramaian, satu tanah dengan para Monster seperti ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New World
Short StoryKumpulan cerita pendek #1 New World ((Cerita ini diikutsertakan dalam tantangan menulis dari Mbak Asri Tahir yang bertema 'kebebasan.' Disponsori oleh theWWG.)) Claire sudah lelah dengan pekerjaan lamanya, jadi dia putuskan untuk berhenti dan...