Ketua Kelas

17 0 0
                                    

A/N: ini cerpen lama yang mengantarkan saya ke Gramedia Writing Project Batch 3 yang diselenggarakan di Jakarta, 22 Juli 2017.

🌹🌹🌹

Harus Cindy akui, dia benci posisinya sebagai ketua kelas. Demi menjaga imejnya, dia harus rela datang paling pagi ke sekolah, pulang belakangan, dan yang terparah, dia harus menjadi pedoman bagi teman-teman sekelas yang selalu heboh bukan main. Belum selesai seluruh kegilaan itu, Cindy juga masih harus mempertahankan prestasi akademiknya agar tidak meninggalkan rangking tiga besar. Kadang, Cindy ingin melampiaskan seluruh kekesalannya dalam bentuk amukan massal yang mampu mengguncang seluruh Jakarta. Sayang sekali, semua itu hanya ada di angan-angan, sebab mengguncang Jakarta adalah istilah yang kelewatan bodohnya. Sebab dia adalah sang ketua kelas yang dijadikan panutan banyak orang.

Seperti pagi ini, Cindy sudah tiba di sekolah bahkan sebelum matahari bersinar terang. Udaranya pun masih dingin, membuat bulu halus di lengan Cindy meremang tak keruan. Gadis itu melangkah cepat-cepat melewati selasar sekolah yang sunyi senyap, mengabaikan pantulan dirinya di kaca jendela kelas yang terlihat agak menyeramkan. Kadang dia berpikir, akan seperti apa jadinya jika dia datang lima menit sebelum bel pelajaran berdering?

Ketika dia kira akan melihat kekosongan kelas dan kegelapan yang tergabung menjadi satu, dia salah. Kelas XI MIA 5 ternyata sudah dihuni oleh seorang cowok asing. Rambut cowok itu agak berdiri seperti habis kesetrum, seragamnya kedodoran di tubuhnya yang kerempeng, dan celana biru keabu-abuannya juga kebesaran.

Untuk sesaat, Cindy mengira cowok itu adalah penunggu kelas yang terusik karena Cindy terus-terusan datang sebelum matahari bersinar. Kemudian, ketika cowok itu menyapanya sambil tersenyum, dia sadar bahwa hantu tidak memiliki senyum semanis itu.

"Eh?" Cindy tergeragap, lalu seperti baru mendapatkan inteligensinya kembali, dia bertanya, "Kamu siapa?"

Cowok itu menaikkan bahu. "Axel. Murid baru di sekolah ini."

Cindy menggaruk kepalanya. "Oh. Baru tahu kelas ini kedatangan murid baru. Sepagi ini pula."

"Aku ngehindarin macetnya Jakarta, juga biar nggak telat. Malu, lah. Udah baru, males pula. Beh." Axel menjulurkan lidah. Lalu, dia meringis dan menampakkan barisan gigi-giginya yang putih dan kecil-kecil. "Kamu?"

Butuh beberapa saat bagi Cindy untuk memahami maksud ucapan Axel. "Aku Cindy, ketua kelas," katanya.

"Asyik! Baru dateng langsung ketemu ketua kelas!" Senyum Axel mengembang melebihi batas.

Cindy tidak tahu apa yang salah dalam kinerja otaknya, tapi dia berani sumpah, Axel adalah cowok terimut yang pernah dia temui. Apalagi saat tersenyum begitu. Axel memenuhi kriteria cowok-yang-pantas-digaet-sekarang-juga.

"Oi, Bu Ketua!" Axel berseru. "Apa aja peraturan di kelas ini? Sebagai murid baru, aku mesti tahu peraturan kelas baruku, kan?"

Cindy menyilangkan tangan di dada. "Peraturannya nggak sulit, kok. Pertama, kamu dilarang duduk di situ."

Axel mengangkat sebelah alis. "Lho, kenapa?"

Setelah menarik napas panjang, Cindy menuding hidung mancung Axel sambil berkata, "Soalnya, itu kursiku!"

Axel kontan melompat dari kursi dan tertawa terbahak-bahak. "Sori, sori. Kukira ini kursi siapa."

Cindy memang tidak suka pada jabatannya. Dia juga benci harus menjadi penanggungjawab atas seluruh perbuatan konyol teman-teman sekelasnya. Dan sekarang ada lagi anggota baru yang menjadi tanggung jawabnya. Benar-benar sempurna. Setidaknya, Axel paham bahwa datang di bawah jam tujuh bukan dosa. Tidak seperti teman-teman sekelas yang lainnya.

New WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang