Tidak ada jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kalimat itu melekat dalam benak Jake, seperti sarang laba-laba lengket di sudut kamar. Dia mencoba menjadikan kalimat lengket itu sebagai patokan hidupnya, apalagi soal jatuh cinta. Menurutnya, hanya orang tak berhati jernih yang mampu jatuh cinta pada pandangan pertama. Coba pikir, bisakah kau jatuh cinta tanpa mendalami sifat asli seseorang?
Tetapi rasanya dia harus menendang jauh patokan hidupnya itu. Sosok gadis di hadapannya bagai malaikat dalam lukisan-lukisan karya seniman Italia. Wajah gadis itu tirus, rahangnya lembut seperti pinggiran mangkuk porselin. Matanya secokelat bijih kopi. Jake nyaris karam setiap kali memandang ke dalam mata itu. Rambut gadis itu pirang mentega, dan jatuh lembut di atas bahu sempitnya. Gadis itu berkostum hitam-hitam, bertopi runcing, dan membawa sapu lidi. Keranjang dari tiruan kuali hitam berada di tangan kirinya.
Jake jatuh cinta. Pada. Pandangan. Pertama.
Hal itu seharusnya menjelaskan detakan-detakan bagai tabuhan genderang dalam dadanya saat matanya jatuh pada sosok sang penyihir.
"Hai!" sapa Jake, kaku. Jerit tawa anak-anak bersusul-susulan di sekelilingnya. Mereka berseliweran tanpa lelah seakan mereka adalah gerombolan lebah pekerja. Salah satu dari mereka adalah Sean Cabot, anak tetangga sebelah rumah Jake yang masih berusia tujuh tahun.
"Hai."
Jake tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia seorang tentara anti bioterorisme, berompi gembung, satu holster berisi pistol di paha kanan, dan satu holster lainnya di pinggang. Rambut hitamnya sengaja dicukur plontos demi penampilan maksimal sebagai seorang tentara. Wajahnya yang persegi ditekuk, bibir terkatup rapat. Terima kasih kepada ibunya yang menambahkan coreng lipstik merah di pelipisnya sehingga dia tampak seperti baru saja tertonjok, tapi tidak gegar otak.
"Kau tidak bawa keranjang permen," kata gadis itu. "Bagaimana caramu membawa pulang permen dari orang-orang?"
Jake tertawa lirih. "Aku tidak mau permen. Aku sudah besar. Cukup merayakan Halloween dengan berkostum tentara dan menakut-nakuti setiap anak kecil berkostum zombie, aku sudah cukup puas."
Gadis itu tersenyum mengerti. "Mau cari permen bersamaku? Aku sudah besar, tapi aku masih suka permen. Seharusnya ditemani tentara ...."
"Anti bioterorisme," sambung Jake.
"Ya, ditemani tentara anti bioterorisme bisa melipatgandakan jumlah permen yang kudapat," lanjut si gadis. "Kau tidak keberatan?"
Jake mengedikan bahu. "Tentu tidak."
Keduanya mulai melangkah ke rumah terdekat. Rumah itu berpagar besi hitam dengan labu-labu berukir wajah setan. Lampion-lampion menempel di atas pelat nomor rumah. Jake menekan bel, dan menunggu.
"Omong-omong, namaku Heather," sahut gadis berkostum penyihir itu.
Jake agak terlonjak kaget. "Jake."
"Kau tinggal di sekitaran sini?" tanya Heather. "Aku baru pindah dua hari lalu, dan kupikir bergabung dalam pesta Halloween perumahan bisa membuatku mengenal lebih banyak tetangga."
"Aku tinggal di sekitaran sini." Jake merasa gamang. "Rumah keluarga Monday."
"Monday," Heather memberi dirinya jeda sejenak, "belum pernah dengar."
"Di seberang rumah Nenek Gilda. Kau pasti tahu dia. Semua orang di perumahan tahu dia dan kecintaannya pada kucing.
"Rumah tinggi dengan cat putih dan pohon willow raksasa?"
"Ya, benar. Walaupun semua orang tahu Nenek Gilda, dia tidak tahu semua orang. Katanya, sih, dia sudah pikun. Bahkan nama tetangga di seberangnya saja dia tidak tahu."

KAMU SEDANG MEMBACA
New World
Krótkie OpowiadaniaKumpulan cerita pendek #1 New World ((Cerita ini diikutsertakan dalam tantangan menulis dari Mbak Asri Tahir yang bertema 'kebebasan.' Disponsori oleh theWWG.)) Claire sudah lelah dengan pekerjaan lamanya, jadi dia putuskan untuk berhenti dan...