Sihir Lola

17 3 0
                                    



"Alex, kau mau tidur sampai kapan? Sampai matahari berkembangbiak?!"

Alex mendelik dan bangkit dari tempat tidurnya cepat-cepat. Kedua kakinya berayun turun. Di lantai, selop merah jambu dengan kepala beruang menyembul di ujungnya siap menerima kakinya. Wah, Alex tidak ingat dia punya selop boneka.

Dia melangkah malas ke kamar mandi. Cermin memantulkan wajah seorang gadis bermata biru bulat dan rambut cokelat berpotongan bob sepanjang dagu. Dia manis, apalagi ketika sedang menunjukkan deretan giginya yang besar-besar dan tidak rata. Ada lesung pipit di sisi kanan mulut mungilnya.

Lantas Alex sadar dia sedang memandang cermin. Lantas dia sadar, itu pantulan dirinya sendiri. Seorang gadis manis berlesung pipit. Wah, bukankah Alex ....

"MOMMA!!"

Momma berdebum masuk ke kamar mandi. Dia memandang anaknya dengan mata melebar sempurna. "Ada apa, Alex? Ada tikus? Kecoa? Buaya di lubang kloset?"

Kedua lutut Alex berguncang. Dia mundur sejurus, menuding cermin seolah sedang menuding setan. "Itu ... itu .... Demi Tuhan, apa itu aku?"

Momma memandang cermin. "Ya, itu kau, Alexia sayang. Apa anehnya?"

"Itu perempuan! Aku kan laki-laki!"

***

"Nah, Alexia ... err, maksudku, Alexander, kita mulai dengan pertanyaan sederhana."

Alex memerhatikan kakinya. Gila. Dia mengenakan sandal kuning dengan bunga matahari besar di ujungnya. Kenapa pula dia mau mengenakan summer dress selutut berwarna kuning cerah dengan motif bunga-bunga, dipadu dengan kardigan rajut merah? Dia merasa benar-benar sudah menjadi perempuan! Maksudnya, dia ini laki-laki!

"Kapan Anda menyadari ... err, keanehan ini?" tanya dokter psikolog itu-lelaki tua berhidung bengkok, berkacamata sebesar lingkar cangkir kopi, dan bersenjata pulpen dan buku tulis.

"Pagi ini," jawab Alex. "Aku bangun tidur, dan mendadak aku jadi perempuan."

"Jadi Anda ingat Anda aslinya laki-laki?" tanya sang dokter.

"Aku laki-laki sejak dilahirkan. Maksudku, coba saja tanyakan pada orangtua dan teman-temanku."

Sang dokter mencatat. "Ini sungguh .... Bagaimana mengatakannya, ya? Ini aneh. Anda tidak punya riwayat penyakit ... jiwa?"

Alex tidak menjawab.

Dokter berdeham. "Maaf, lupakan saja pertanyaan itu. Masuk ke bagian selanjutnya, apakah Anda ingat melakukan sesuatu kemarin?"

Alex mengingat-ingat. Kemarin Jumat, pelajaran olahraga di sekolah diajar oleh Ms. Rita. Dia main sepak bola dengan cowok-cowok beringas, tersungkur saat berusaha menggocek bola, siku dan lututnya lecet. Ms. Rita meminta salah satu murid cewek mengantarnya ke UKS, dan cewek itu adalah Lola.

"Aku ke UKS bersama Lola."

"Itu saja?" tanya dokter, menurunkan kacamatanya hingga ke ujung hidung.

"Ya, itu saja .... Kurasa."

Lola seorang penyihir. Begitu yang dikatakan semua murid. Dia bisa mengubah cangkir jadi kodok, kodok jadi buku, buku jadi kursi, dan akhirnya kursi jadi sesosok makhluk pendek berhidung besar dengan bisul-bisul kemerahan di permukaannya. Gosip.

"Lola seorang penyihir," kata Alex.

Dokter mencatat dengan serius. "Anda pergi ke UKS bersama seorang penyihir bernama Lola. Menarik. Apakah menurut Anda, penyihir itu yang mengubah jenis kelamin Anda?"

Alex terdiam. Kepalanya kembali terisi penuh dengan ingatan tentang kemarin.

Lola mengantarnya ke UKS. Kalau saja tidak ada gosip mengenai Lola itu penyihir, dia bisa saja jadi cewek populer di sekolah. Gadis itu cukup manis dengan mata cokelat sebesar jeruknya, dan rambut hitam bergelombang sepanjang pinggul. Andai dia juga mau berkumpul dengan orang lain, mengobrol, dan berteman, dia pasti akan semakin populer.

Di UKS itu, Lola mengambilkan obat lecet untuk Alex. Gadis itu menungguinya selama beberapa detik, kemudian beranjak ke pintu UKS.

"Trims!" Alex berseru kepadanya.

Lola hanya mengangguk.

"Kau harus lebih sering bersosialisasi," kata Alex.

Kali ini Lola tidak mengangguk. Dia keluar dari UKS dan membanting pintu di belakang punggungnya.

"Yah, mungkin Lola marah padaku," kata Alex kepada dokter. "Katanya dia itu penyihir."

"Mengejek penyihir, lantas disihir." Dokter mencatat.

"Jadi bagaimana?"

"Saya sarankan Anda pergi menemui Lola si penyihir ini. Saya yakin dialah satu-satunya yang bisa menyembuhkan Anda."

Alex tidak tahu mengapa dia mau menghamburkan uang untuk dokter tak ahli yang mengaku ahli ini.

***

Rumah Lola terletak di pinggiran kota. Rumah itu menguarkan hawa suram mencekik dari setiap sudutnya. Halamannya gersang, cat putih dinding rumah telah ternoda kuning tanda usia, dan gentingnya dihinggapi gagak-gagak.

Alex menekan bel rumah itu. Sejenak berlalu, pintu dibuka oleh si gadis bermata jeruk.

"Hai," sapa Alex.

Lola menutup pintu cepat-cepat.

Menggedor pintu, Alex berteriak, "Lola, buka pintunya! Ada yang ingin kutanyakan padamu!"

Pintu terbuka sejengkal. "Apa?" tanya Lola.

Alex meringis seramah mungkin, walau dahinya berkerut-kerut. "Lihat aku? Aku perempuan!"

Lola mengernyit. "Kau memang perempuan, Alexia."

"Bukan, bukan!" Alex melirik sekeliling. Sepi. Bagus. Dia berbisik, "Apakah kau menyihirku dari yang tadinya laki-laki menjadi perempuan?"

Pintu dibanting tertutup.

"Lola! Lola!!"

Pintu dibuka sedikit. Hanya mata besar Lola yang terlihat. "Pergilah, Alexia. Kau membuatku takut!"

"Seharusnya yang takut itu aku!" Alex menggebu-gebu. "Aku mendadak berubah jadi perempuan setelah kau mengantarku ke UKS! Demi planet ini, Lola, kembalikan diriku yang lama! Aku suka menjadi laki-laki, aku suka punya jenggot kambing, dan aku suka main sepak bola dengan cowok-cowok beringas itu!"

Lola gemetaran. "Alexia, kau ini memang perempuan. Semua orang di kota ini juga tahu kau seorang perempuan dari lahir hingga segede ini. Mungkin otakmu sudah kecemplung got, jadi kau berpikir kau aslinya laki-laki. Kau cewek tomboi, suka main sepak bola dengan cowok-cowok, dan akhirnya tersungkur kemarin. Siku dan lututmu lecet. Kata Ms. Rita, dia tidak mau kehilangan atlet putri terbaiknya cuma karena cedera-padahal cuma lecet ringan!-jadi dia menyuruhku mengantarmu ke UKS untuk mengobati lecetmu. Ingat?"

Itu gila! Alex memutar ingatannya. Ya ampun, dia memang perempuan!

"Kau seharusnya bersyukur pada dirimu apa adanya," ujar Lola pelan-pelan. "Aku selalu bersyukur pada diriku apa adanya, walaupun semua orang menganggapku penyihir karena sifat tertutup dan kesukaanku pada ... buku cerita."

Alex meneguk ludahnya sendiri. "Terima ... kasih?"

"Tidak masalah," balas Lola. "Sampai jumpa." Pintu tertutup lembut.

Alex berbalik cepat-cepat. Kepalanya pening memikirkan apa yang baru saja terjadi. Rasanya sebentar lagi dia harus tidur panjang sampai hari berganti, dan bangun dengan otak segar dan normal. Apa pula yang dia pikirkan, sehingga ingin menjadi laki-laki, padahal dia seorang gadis cantik yang pandai bersosial bahkan dengan cowok-cowok beringas. Jadi perempuan itu bukan halangan untuk berteman dengan cowok-cowok atau bermain sepak bola. Yang membedakan manusia satu dengan manusia lain adalah hati mereka, bukan jenis kelamin.

Astaga! Alex benar-benar ingin tidur panjang.

New WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang