Setiap orang punya kelemahan, dan kelemahan Lucas adalah rasa takutnya. Karena rasa takutnya, dari dulu dia tidak pernah bisa mengungkapkan isi hatinya pada gadis itu.
Ingatan pertamanya tentang gadis itu adalah saat dia menari di panggung dengan tutu[1] merah berhias bulu-bulu angsa putih di pinggang. Rambut hitam selembut jaring laba-laba digelung ke puncak kepalanya. Kakinya jenjang, menyentuh lantai panggung dalam balutan sepatu pointe semerah tutu-nya. Gerakannya ringan, tapi tegas dan penuh perasaan.
"Lucas, makan malam sudah siap!" teriakan memanggil.
Menutup jurnal hariannya, Lucas keluar dari kamarnya. Tidak bisa dibayangkan satu hari tanpa mencurahkan isi hatinya pada lembar-lembar kertas-kendati tulisannya kacau dan tak bisa dipahami oleh orang lain selain dirinya sendiri. Bagi Lucas, setiap hari selalu penuh dengan ingatan tentangnya. Dia dan tutu merahnya.
"Kenapa lama sekali?" tanya ibunya, yang dia panggil dengan sebutan Momma, ketika dia sampai di dapur.
Lucas memipihkan satu tangan selayaknya sehelai kertas, sedangkan satu tangan lainnya bergerak-gerak seolah sedang memegang alat tulis.
Momma mengangguk. "Yah, aku mengerti. Cepat makan. Jangan kebanyakan melamun."
Lucas mengangguk saja. Menu makan malam hari ini adalah steik berlumur saus lada hitam dan kentang goreng. Dia dan ibunya duduk di kursi masing-masing, melahap makan malam dalam hening.
"Mungkin kau bisa berhenti menemui dr. William," ucap Momma, memecah keheningan beberapa menit kemudian.
Lucas menggeleng. "dr. William ... umm, sembuh. Sekali."
Bukan cuma penakut. Lucas juga tidak bisa bicara normal.
"Tidak, dia tidak bisa menyembuhkanmu, Lucas. Sudah berbulan-bulan dia memeriksamu, memberimu ratusan resep obat, bahkan merencanakan terapi-terapi tak masuk akal seperti hydro ... apalah itu! Tapi lihat hasilnya! Tidak ada yang berubah!" sentak Momma.
"Sembuh. Err ... sekali. Momma ...."
Momma membanting garpu dan pisaunya di atas piring. "Lucas, aku tahu ini salahku. Tapi, kumohon, sekali saja dengarkan kata-kataku!"
Kalimat Momma sukses membuat jantung Lucas menggelinding ke lantai ruang makan. Pemuda itu mencoba acuh, menusuki steik dengan garpu dan memilah potongan kentang goreng. Momma punya kepala sangat keras. Begitu keras sampai-sampai benturan dasyat trotoar marmer dua tahun lalu tidak mampu mengoyak isi kepalanya. Tidak seperti Lucas sendiri.
Dua tahun lalu adalah masa-masa paling gila dalam hidup Lucas. Momma dan Daddy baru saja berpisah. Lucas memutuskan ikut Momma, karena Daddy orang tak bertanggungjawab yang minggat demi menikahi wanita berkepala gepeng dan berbadan sebulat semangka, tapi kayanya minta ampun.
Kejadian itu membuat Momma stres, dan Momma bilang ingin menonton pentas balet untuk menghilangkan stresnya. Momma dulu penari balet, tapi pensiun setelah menikah dengan Daddy. Putranya ikut nonton, dan di sanalah dia melihat si tutu merah menari. Dalam perjalanan pulang, Lucas terus memikirkannya. Terus, terus, terus, dan tiba-tiba mobil yang Momma kemudikan selip. Besi beroda itu oleng keluar jalur. Kacanya pecah, pintunya penyok, dan kepala Lucas sangat sakit hingga dia tak sadarkan diri. Begitu siuman, dia sudah tidak bisa bicara normal. Momma kerap menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian itu.
"Afasi Broca[2] tidak bisa disembuhkan, Lucas! Berapa kali aku harus menegaskan kenyataan sialan ini padamu, hah?" Momma berteriak. Matanya basah, bibirnya gemetaran. Untung saja Afasi Broca tidak memengaruhi pemahaman Lucas pada ucapan orang lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/96197827-288-k235924.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
New World
Historia CortaKumpulan cerita pendek #1 New World ((Cerita ini diikutsertakan dalam tantangan menulis dari Mbak Asri Tahir yang bertema 'kebebasan.' Disponsori oleh theWWG.)) Claire sudah lelah dengan pekerjaan lamanya, jadi dia putuskan untuk berhenti dan...