Sofia, Romi dan Herman

8.1K 733 22
                                    

Romi melangkah menuju Bleki dan memainkan piece piano yang tak pernah kudengar sebelumnya. Aku menerka bahwa itu adalah lagu Ebony and Ivory yang ia sebutkan barusan.

Bagiku, lagu itu bukan lagu yang membuatku ingin memainkan pianonya. Namun, aku bisa merasakan bahwa aku tidak akan bisa melupakan lagu itu.

Lagu yang, walau liriknya tak menyatakan hal tersebut, seolah berkata bahwa aku dilarang berkecil hati. Karena semua peran sama pentingnya. Tuts hitam atau tuts putih. Ebony atau ivory. Primo atau secondo. Romi atau aku.

Setelah melihatnya menyelesaikan lagu itu, aku mengambil tempat duduk di sampingnya. Aku meletakkan kedua tanganku di atas Bleki dan bertanya, "Slovanic Dances?"

Romi mengangguk.

Tanganku dan tangan Romi perlahan mulai memainkan piece tersebut. Tangan kami masih sering bertubrukan saat tangan kiriku harus berpindah ke "wilayah" tuts Romi dan saat tangan kanannya berpindah ke "wilayahku". Namun, perasaan khawatir yang muncul saat Sabtu lalu mulai memudar dari diriku.

Mataku tak berhenti melihat pergerakan tangan kami yang masih kaku, namun aku tidak merasa gusar ataupun takut. Aku merasa bahwa kami bisa membereskan hal ini. Mungkin pada akhir minggu ini, tangan kami sudah bisa lebih lentur.

Saat kami berhenti pada not terakhir, Romi berseru pelan, "Wih! Udah lancar lho kita!"

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Sisa sore itu kami habiskan dengan mencoba melatih kelenturan tangan kami untuk piece tersebut. Beberapa anak tampak berlari menuju tempat penyimpanan alat olahraga. Dan untuk sekilas, aku tampak melihat seseorang melihat kami dari depan pintu ruang musik.

Aku menoleh pelan dan menemukan Herman ada di depan pintu.

Aku tak bisa menerka raut wajahnya. Apa yang berusaha ia tunjukkan dari raut wajahnya itu? Ia tampak terkejut. Tapi ia juga tampak, entahlah. Kecewa?

Herman akhirnya pergi dari pintu depan ruang musik. Beberapa teman-teman Romi dari kelas Herman yang melewati ruang tersebut juga tampak berhenti di depan ruang musik.

"Woi, ngapain Rom? Bukannya lo main gitar?" salah satu anak kelas Herman, kurasa namanya Indra (jangan salahkan aku jika aku bisa lupa beberapa nama anak-anak angkatanku. Seperti yang Jihan pernah katakan kepadaku, aku agak ansos di sekolah).

"Masih main gue. Cuma ini gue mau ikutan lomba." Romi berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Indra.

"Asli, gue baru tahu lo bisa main piano," celetuk seorang teman Indra yang satu lagi. Ia melongok ke dalam dan melihatku sekilas, namun ia tampak tak begitu peduli.

"Iya, nah gue masuk kategori empat tangan. Sofia jadi partner gue," jawab Romi sambil mengulurkan seluruh tangan kanannya untuk menunjukku yang berada di belakang Bleki.

"Oh, jadi kalian rencana mau ikut lomba piano empat tangan?" Herman kembali muncul di antara kumpulan teman-temannya yang sedang mengobrol dengan Romi. Pada tangan kanannya terdapat sebuah bola futsal.

"Iya, Man. Wih, lo tahu juga piano empat tangan? Hahaha!" tanya Romi sambil tertawa bersama Herman.

"Tahu, dong. Dulu gue pernah beberapa kali baca-baca artikel tentang piano dan nonton-nonton resital juga..." jawab Herman sambil melirik ke arahku dan tersenyum.

Aku tak tahu harus merespon apa. Aku hanya menunduk.

"Oh..." Romi mengangguk-angguk. "Baru tahu gue. Lo nggak mau belajar?"

Recalling the Memory [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang