[Raya pov]
Di ujung koridor, El sama sekali tidak menyapa gue. Dia langsung berjalan menuju tempat parkir. Gue langsung mengikutinya dari belakang menuju tempat parkir.
"Tunggu, El! El!" Panggil gue.
El masih tetap berjalan cepat menuju tempat parkir tanpa bicara sepatah kata pun. Dia berubah seperti El yang pertama kali gue kenal. Entah mengapa dia menjadi pendiam lagi.
"El, lo kenapa sih El?" Gue memegang lengannya. "Lo marah sama gue?"
El tidak menjawab pertanyaan gue. Dia memakai helmnya dan bergegas gue. Gue memegang lengannya lagi untuk menghentikannya.
"El, lo harus jawab pertanyaan gue, El!" Gue masih memohon.
Dia tidak berkata apa-apa dan memberikan sebuah helm untuk gue pakai. Matanya memberi syarat agar gue ikut dia ke suatu tempat. Gue pun menyambar helm yang disodorkannya dan duduk di jok belakang. Motornya melaju sangat cepat. Dari laju motornya itu, gue dapat merasakan kalau saat ini dia sedang marah sama gue.
***
"Ini di mana, El?" Gue melepas helm lalu memberika helm tersebut ke El.
Mata gue menyisir ke sekeliling. Gue sekarang berada di tempat pemakaman elite. Di sini sangat sepi. Hanya ada satu atau dua orang saja yang tampak berkunjung. El pun memegang tangan gue erat menuju suatu makam di tengah puluhan atau bahkan ratusan makam yang berbaris rapi.
"Ini makam mama gue." El akhirnya bicara juga. Itu sudah cukup membuat gue merasa lega.
"Dia meninggal tiga tahun lalu," lanjut El tampak sedih. "Sejak mama meninggal, gue nggak punya siapa-siapa lagi yang gue sayang."
Gue hanya terdiam bisu mendengarkan apa yang dikatakan El. Gue baru tau kalau dia nggak punya seorang ibu. Pasti hidupnya terasa sangat berat karena memang remaja seperti kami membutuhkan seorang ibu yang bisa menuntun kami.
"Dan sejak mama meninggal, gue jadi ugal-ugalan. Merokok, minum-minuman keras, balapan liar, sampai tawuran. Semua itu gue lakukan untuk menghilangkan stess." Tambah El sambil mengelus-elus rerumputan yang tumbuh subur di atas gundukan tanah itu.
Gue masih berdiri di samping El sambil melihat tangan El yang dengan lembut mengelus makam mamanya.
"Papa gue sering pulang malam dan membawa pelacur ke rumah. Hidup gue jadi tambah berantakan. Gue muak! Gue marah!" Papar El lagi.
Gue pun duduk di sampingnya lalu menepuk-nepuk pindakanya pelan untuk menenangkan kesedihannya.
El menoleh ke arah gue. "Tapi sejak ada lo, beban-beban itu terasa bertambah ringan setiap harinya, Ray!" Dia menatap gue lekat.
"El........" gue tercekat.
"Gue sayang sama lo, Ray! Plis jangan abaikan gue demi Arsyaf!"
Mata gue melebar kaget. "Apa?"
"Gue nggak mau menjadi sahabat lo! Gue mau kita menjadi lebih dari sekedar sahabat!"
Gue terlonjak dan langsung berdiri. "Nggak bisa El!" Tukas gue.
"Kenapa?" El ikutan berdiri.
"Maaf! Kita nggak bisa menjadi lebih dari sekedar sahabat!" Gue menolak tegas.
El memang baik. Dia juga tampan, kaya, dan keren. Tapi tidak ada yang gue cinta selain Arsyaf. Gue sayang sama El tapi hanya sebatas sayang sebagai sahabat dan nggak lebih!
"Kenapa? Kenapa lo nggak bisa jadi pacar gue, Ray?!" Nada bicara El mulai meninggi.
"Sebenarnya....." gue masih bimbang. "Sebenarnya, gue sudah punya pacar, El!"
Mata El melebar. "Siapa?"
Note : bagaimana kelanjutannya? Stay tune!!
KAMU SEDANG MEMBACA
FEMME FATALE / CEWEK CETAR
Ficção AdolescenteSoraya Aldric, cewek paling cetar di SMA 5 Cendrawasih. Hobinya keluar masuk ruang BK. Dan setelah kejadian menggemparkan di malam diklat, dia kini mempunyai hobi baru, yaitu membully Arsyaf, si the most wanted boy. Pertengkaran mereka lama-kelamaan...