[Raya pov]
Untuk kesekian kalinya, gue terduduk di ruang BK dan dihadapan Bu Rani. Kali ini bukan karena gue sering ketiduran atau bolos sekolah, gue diintrogasi. Tapi karena masalah nilai gue yang tiba-tiba anjlok secara drastis.
"Saya nggak mengerti sama kamu, Raya!" Omel Bu Rani. "Kenapa nilai-nilai kamu anjlok seperti ini?"
Gue mengangkat bahu nyantai. "Nggak tau," jawab gue santai.
"Seandainya nilai kamu tetap bagus, Ibu bisa mengirim kamu ke Universitas negeri ternama seperti UI, UGM, atau ITB!!"
"Memangnya sejak kapan guru-guru peduli sama saya?" Gue masih bicara santai.
"Apa maksudmu?" Bu Rani mulai ngotot. "Tentu saja guru-guru di sini peduli sama kamu!"
"Hallah! Nggak usah sok peduli! Mau ranking satu atau ranking terakhir pun, presepsi guru-guru di sini sama saya tetep aja nggak berubah!" Gue mulai ikutan ngotot.
"Kamu ngomong apa sih, Ray? Ibu masih nggak ngerti!"
"Meskipun saya juara satu, guru-guru di sini masih menganggap saya anak yang bandel dan tidak bisa dipercaya. Lalu buat apa saya belajar kalau nggak ada yang menghargai usaha saya, Buk?"
"Siapa yang nggak menghargai kamu? Siapa?"
Gue tersenyum miring. "Sudahlah, Buk! Pasti ibu juga berpikiran seperti itu tentang saya kan?!"
Bu Rani menggeleng. "Enggak! Ibu nggak pernah berpikir seperti itu, Raya!"
Gue menggeleng tak percaya. Rasanya perih sekali mendapati Bu Rani bicara seperti itu seolah-olah dia peduli sama gue. Gue yakin, dia juga seperti mereka tentang gue.
"Raya, bagaimana pun juga......"
Sebelum Bu Rani menyelesaikan kalimatnya, gue sudah melangkah pergi dari ruang BK. Gue muak! Gue jijik! Kenapa? Kenapa harus ada yang dinamakan diskriminasi? Apa mereka nggak tau bagaimana gue belajar berjam-jam untuk mendapatkan juara? Gue bahkan mengabaikan game yang gue suka. Jangankan game! Gue bahkan juga mengabaikan drama korea yang gue suka! Gue nggak percaya! Gue benci mereka! Gue benci!
Gue berlari menuju bukit di belakang sekolah. Untuk apa? Tentu saja untuk menangis. Kesal! Jengkel! Marah! Gue nggak bisa menahan semua ini. Benar kata Arsyaf! Gue nggak perlu sok kuat karena bagaimana pun juga gue ini cewek. Sedikit banyak, hati gue masih rapuh kayak cewek-cewek pada umumnya.
"Raya, lo nangis?" Tanya seseorang dari belakang.
Gue buru-buru mengusap mata. Lalu menoleh. Betapa terkejutnya gue ketika melihat El meloncat dari pohon jambu lalu menghampiri gue.
Gue menggeleng. "Enggak. Gue nggak nangis kok!" Jawab gue bohong.
El kemudian duduk di samping gue sambil menatap gue dengan lekat seperti yang Arsyaf lakukan setahun yang lalu ketika gue dihianati oleh Tantri. Seperti Arsyaf juga dia seolah mencoba menghibur gue di saat gue sedang sedih.
"Lo nggak bisa bohong, Ray!" El mengusap sedikit air mata gue yang masih tertinggal di sudut mata.
Dulu memang hanya dihianati seorang teman. Tapi sekarang gue dihianati nggak hanya satu guru saja! Tapi semuanya nggak percaya sama kemampuan gue!
"Gue punya pundak buat lo, Ray. Jadi kalau lo pengen nangis, nangis aja!" Papar El lembut.
Gue langsung memeluk El. Muka gue mendarat di pundak kanan El lalu gue pun menangis puas. Dia menepuk-nepuk pundak gue ringan.
"Kalau lo ada masalah, lo bisa cerita sama gue," tambahnya lagi.
Setelah puas menangis, gue pun menceritakan semua yang gue alami ke El. Dia adalah pendengar yang baik. Walaupun dia tidak bisa membuat gue tertawa seperti Arsyaf, tapi entah mengapa dia bisa membuat gue tenang dengan kata-katanya yang bijak.
"Jika lo nyerah kayak gini, itu sama saja lo menunjukkan sisi lemah lo ke mereka!" Ucap El.
"Terus gue harus bagaimana, El?"
"Lo harus membuktikan kalau lo itu lebih baik daripada Tantri! Lo juga harus buktikan kalau lo bisa masuk universitas ternama tanpa harus memiliki sertifikat olimpiade!"
Gue tertegun sembari berpikir sejenak. "Lo benar, El! Makasih ya karena lo mau menjadi teman curhat gue!"
El pun mengelus rambut gue sambil tersenyum. Tentu saja gue membalas senyumannya itu.
Note : authornya pengen sama Elbara. Readersnya pengen sama Arsyaf haha
KAMU SEDANG MEMBACA
FEMME FATALE / CEWEK CETAR
Ficção AdolescenteSoraya Aldric, cewek paling cetar di SMA 5 Cendrawasih. Hobinya keluar masuk ruang BK. Dan setelah kejadian menggemparkan di malam diklat, dia kini mempunyai hobi baru, yaitu membully Arsyaf, si the most wanted boy. Pertengkaran mereka lama-kelamaan...